Sebab-Sebab
Timbulnya Ikhtilaf / Perbedaan Pendapat
Adalah satu kenyataan yang kita
saksikan dan kita rasakan, bahwa umat Islam tidak seragam dalam pelaksanaan
ibadahnya. Sebagai contoh; dalam pelaksanaan shalat, ada yang memakai talafuzh
biniyyat, ada juga yang tidak, ada yang qunut dalam shalat shubuh ada juga yang
tidak.
Hal ini perlu mendapat
perhatian. Apakah semuanya benar sehingga umat bebas memilih pendapat yang mana
saja ? atau contoh dari Nabi yang tidak sempurna sehingga perlu adanya
penambahan atau pengurangan ? atau apakah semuanya berlandaskan dalil yang kuat
sehingga tidak perlu diadakan kaji ulang lagi ? atau semua pendapat berhak ditolelir ?
Dalam hal ini, perlu diketahui
dulu sebab-sebab timbulnya perbedaan pendapat, khususnya dalam fiqih.
Adapun Sebab-Sebab Timbulnya Perbedaan Pendapat /
Ikhtilaf, ialah :
1.
Perbedaan Data dan
Informasi Yang Diterima.
Perbedaan data,
mengingat fasilitas dan koleksi hadits yang berbeda, serta literatur yang belum
merata.
Contoh :
Perbedaan pendapat
dalam hal menyimpan tangan di dada waktu shalat. Imam Hanafi berpendapat Irsal
(lepas tangan) karena beliau tidak mendapatkan hadits yang mesti bersedekap,
sementara yang lainnya bersedekap karena menerima haditsnya. Ini adalah hal
yang wajar, karena pada masa itu belum ada pembukuan hadits.
Contoh lain :
Di Zaman Shahabat
Nabi, pernah ada seorang Shahabat yang mau bertamu kepada Umar bin Khaththab
Radiyallahu ‘Anhu, kemudian ia membacakan salam sampai tiga kali, setelah tiga
kali membacakan salam, Umar tidak juga keluar, kemudian ia pulang, lalu Umar
keluar dan melihat dia pulang, lalu Umar memanggilnya seraya menegur dia,
mengapa pulang ?, lalu Shahabat itu menjawab,”Saya telah meminta izin untuk
masuk rumah sebanyak tiga kali dan ternyata tidak ada jawaban, lalu saya pulang
mengingat ada sabda Nabi saw. :
" إِذَا اسْتَأْذَنَ أَحَدُكُمْ ثَلاَثًا فَلَمْ
يُؤْذَنْ لَهُ فَلْيَرْجِعْ . (رواه مسلم)
Artinya,”Jika salah seorang di antaramu
telah meminta izin (untuk masuk rumah) sebanyak tiga kali (salam) dan tidak
juga dipersilahkan masuk, maka pulanglah”. (HR. Muslim).
Setelah mendengar
jawaban Shahabat tersebut, lalu Umar minta untuk dibuktikan saksi, bahwa
Rasulullah saw. benar-benar telah mengatakan demikian, kemudian didatangkan
saksi dan Umar baru menerimanya.
Perisriwa di atas
menunjukkan bahwa di kalangan shahabat saja tida sama mendapatkan informasi
tentang hadits, ada shahabat yang banyak meriwayatkan hadits, seperti Shahabat
Abu Hurairah r.a, namun ada juga yang sedikit. Hal itu tergantung kedekatan
seorang shahabat dengan Nabi saw. atau kesempatan belajar bersama beliau.
2.
Perbedaan Data Yang Diterima
Tentang Keshahihan atau Kedhaifan Satu Hadits
Perbedaan ini terjadi mengingat literatur
yang belum merata sehingga mungkin saja seseorang meyakini satu hadits itu
shahih berdasarkan kitab yang ada padanya, sementara data tentang ke-dhaifannya
belum datang kepadanya karena terdapat dalam kitab yang lain.
Contoh :
Hadits-hadits
tentang qunut shubuh dengan do’a : Allahumma Ihdini Fiman hadait…..
Sepihak mendapatkan hadits tersebut dengan derajat yang shahih, sementara data
ke-dhaif-annya belum didapatinya. Sedangkan pihak lain telah menemukan
data yang akurat tentang ke-dhaif-annya. Maka tentu saja akan timbul
perbedaan pendapat karena tidak meratanya informasi yang diterima tentang
kedudukan hadits tersebut. Hal itu terjadi akibat referensi dan koleksi
kitab-kitab hadits yang belum merata di kalangan ulama.
Contoh lain :
Dalam kitab
al-Muhadzdzab 1 : 26, dinyatakan :
وَلاَ يَجُوْزُ
ِللْمُتَيَمُّمِ أَنْ يُصَلِّيَ بِتَيَمُّمٍ وَاحِدٍ أَكْثَرَ مِنْ فَرِيْضَةٍ .
“ Tidak boleh bagi yang tayammum, shalat dengan satu kali tayammum untuk
beberapa kali shalat fardhu”.
Hal ini didasarkan kepada hadits berikut :
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : مِنَ
السُّنَّةِ أَنْ لاَ يُصَلِّيَ الرَّجُلُ بِالتَّيَمُّمِ إِلاَّ صَلاَةً وَاحِدَةً
ثُمَّ يَتَيَمُّمُ لِلصَّلاَةِ اْلأُخْرَى .(رواه الدّارقطني 1 : 185).
Dari Ibnu Abbas r.a,
ia berkata,”Adalah sunnah Nabi ; seseorang tidak melakukan shalat dengan satu
kali tayammum kecuali untuk satu kali shalat (fardhu), kemudian hendaklah ia
bertayammum lagi untuk shalat (fardhu) yang lainnya”. (HR. ad-Daruquthniy).
Orang yang berpegang
dengan hadits tersebut, tentu saja akan berpendapat tidak boleh satu kali
tayammum digunakan untuk beberapa kali shalat fardhu, padahal hadits tersebut
dhaif sekali, sebagaimana dijelaskan dalam kitab Bulugh al-Maram : 28 :
رَوَاهُ
الدَّارُقُطْنِي بِإِسْنَادٍ ضَعِيْفٍ جِدًّا
“ Hadits tersebut
diriwayatkan oleh ad-Daruquthniy dengan sanad yang dhaif sekali”.
3.
Perbedaan Titik Tolak Dalam
Mengambil Satu Kesimpulan.
Dalam masalah agama,
hendaklah bertitik tolak dari nash, yaitu al-Quran dan hadits yang shahih,
jangan bertitik tolak dari madzhab, tempat, organisasi, akal, perasaan atau
tradisi. Perbedaan titik tolak dalam hal ini, tentu saja akan mengakibatkan
perbedaan pendapat.
Contoh :
Tambahan lafadz “ Sayyidina
“ dalam bacaan shalawat dalam at-Tahiyyat. Sepihak berpendapat bahwa lebih
utama memakai “Sayyidina”, karena kita mesti berlaku sopan kepada Nabi
saw.. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam I’anatu ath-Thalibin 1 : 169.
َاْلأَوْلَى ذِكْرُ
السِّيَادَةِ ِلأَنَّ اْلأَفْضَلَ سُلُوْكُ اْلأَدَبِ .
“Yang utama (dalam membaca shalawat) adalah
dengan menyebut sayyidina, karena harus berlaku sopan (kepada Nabi
saw)”.
Pendapat seperti ini
terjadi, karena bertitik tolak dari akal dan perasaan. Sementara pihak lain
berpendapat tidak boleh memakai sayyidina, karena sepanjang nash yang
ada, tidak terdapat tambahan sayyidina (bertitik tolak dari dalil).
Demikian juga, jika
sepihak bertitik tolak dari madzhab, akal, atau tradisi, sementara yang
lainnya bertitik tolak dari dalil.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar