Entri Populer

Senin, 05 Maret 2012

IKHTILAF Bag-4


Sebab-Sebab Timbulnya Ikhtilaf / Perbedaan Pendapat


Adalah satu kenyataan yang kita saksikan dan kita rasakan, bahwa umat Islam tidak seragam dalam pelaksanaan ibadahnya. Sebagai contoh; dalam pelaksanaan shalat, ada yang memakai talafuzh biniyyat, ada juga yang tidak, ada yang qunut dalam shalat shubuh ada juga yang tidak.
Hal ini perlu mendapat perhatian. Apakah semuanya benar sehingga umat bebas memilih pendapat yang mana saja ? atau contoh dari Nabi yang tidak sempurna sehingga perlu adanya penambahan atau pengurangan ? atau apakah semuanya berlandaskan dalil yang kuat sehingga tidak perlu diadakan kaji ulang lagi ? atau semua pendapat  berhak ditolelir ?
Dalam hal ini, perlu diketahui dulu sebab-sebab timbulnya perbedaan pendapat, khususnya dalam fiqih.

Adapun Sebab-Sebab Timbulnya Perbedaan Pendapat / Ikhtilaf, ialah :


1.   Perbedaan Data dan Informasi Yang Diterima.

Perbedaan data, mengingat fasilitas dan koleksi hadits yang berbeda, serta literatur yang belum merata.
Contoh :
Perbedaan pendapat dalam hal menyimpan tangan di dada waktu shalat. Imam Hanafi berpendapat Irsal (lepas tangan) karena beliau tidak mendapatkan hadits yang mesti bersedekap, sementara yang lainnya bersedekap karena menerima haditsnya. Ini adalah hal yang wajar, karena pada masa itu belum ada pembukuan hadits.
Contoh lain :
Di Zaman Shahabat Nabi, pernah ada seorang Shahabat yang mau bertamu kepada Umar bin Khaththab Radiyallahu ‘Anhu, kemudian ia membacakan salam sampai tiga kali, setelah tiga kali membacakan salam, Umar tidak juga keluar, kemudian ia pulang, lalu Umar keluar dan melihat dia pulang, lalu Umar memanggilnya seraya menegur dia, mengapa pulang ?, lalu Shahabat itu menjawab,”Saya telah meminta izin untuk masuk rumah sebanyak tiga kali dan ternyata tidak ada jawaban, lalu saya pulang mengingat ada sabda Nabi saw. :

" إِذَا اسْتَأْذَنَ أَحَدُكُمْ ثَلاَثًا فَلَمْ يُؤْذَنْ لَهُ فَلْيَرْجِعْ . (رواه مسلم)

Artinya,”Jika salah seorang di antaramu telah meminta izin (untuk masuk rumah) sebanyak tiga kali (salam) dan tidak juga dipersilahkan masuk, maka pulanglah”. (HR. Muslim).

Setelah mendengar jawaban Shahabat tersebut, lalu Umar minta untuk dibuktikan saksi, bahwa Rasulullah saw. benar-benar telah mengatakan demikian, kemudian didatangkan saksi dan Umar baru menerimanya.
Perisriwa di atas menunjukkan bahwa di kalangan shahabat saja tida sama mendapatkan informasi tentang hadits, ada shahabat yang banyak meriwayatkan hadits, seperti Shahabat Abu Hurairah r.a, namun ada juga yang sedikit. Hal itu tergantung kedekatan seorang shahabat dengan Nabi saw. atau kesempatan belajar bersama beliau.

2.   Perbedaan Data Yang Diterima Tentang Keshahihan atau Kedhaifan Satu Hadits

Perbedaan ini terjadi mengingat literatur yang belum merata sehingga mungkin saja seseorang meyakini satu hadits itu shahih berdasarkan kitab yang ada padanya, sementara data tentang ke-dhaifannya belum datang kepadanya karena terdapat dalam kitab yang lain.
Contoh :
Hadits-hadits tentang qunut shubuh dengan do’a : Allahumma Ihdini Fiman hadait….. Sepihak mendapatkan hadits tersebut dengan derajat yang shahih, sementara data ke-dhaif-annya belum didapatinya. Sedangkan pihak lain telah menemukan data yang akurat tentang ke-dhaif-annya. Maka tentu saja akan timbul perbedaan pendapat karena tidak meratanya informasi yang diterima tentang kedudukan hadits tersebut. Hal itu terjadi akibat referensi dan koleksi kitab-kitab hadits yang belum merata di kalangan ulama.





Contoh lain :
Dalam kitab al-Muhadzdzab 1 : 26, dinyatakan :
وَلاَ يَجُوْزُ ِللْمُتَيَمُّمِ أَنْ يُصَلِّيَ بِتَيَمُّمٍ وَاحِدٍ أَكْثَرَ مِنْ فَرِيْضَةٍ .

“ Tidak boleh bagi yang tayammum, shalat dengan satu kali tayammum untuk beberapa kali shalat fardhu”.

Hal ini didasarkan kepada hadits berikut :

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : مِنَ السُّنَّةِ أَنْ لاَ يُصَلِّيَ الرَّجُلُ بِالتَّيَمُّمِ إِلاَّ صَلاَةً وَاحِدَةً ثُمَّ يَتَيَمُّمُ لِلصَّلاَةِ اْلأُخْرَى .(رواه الدّارقطني 1 : 185).

Dari Ibnu Abbas r.a, ia berkata,”Adalah sunnah Nabi ; seseorang tidak melakukan shalat dengan satu kali tayammum kecuali untuk satu kali shalat (fardhu), kemudian hendaklah ia bertayammum lagi untuk shalat (fardhu) yang lainnya”. (HR. ad-Daruquthniy).

Orang yang berpegang dengan hadits tersebut, tentu saja akan berpendapat tidak boleh satu kali tayammum digunakan untuk beberapa kali shalat fardhu, padahal hadits tersebut dhaif sekali, sebagaimana dijelaskan dalam kitab Bulugh al-Maram : 28 :
رَوَاهُ الدَّارُقُطْنِي بِإِسْنَادٍ ضَعِيْفٍ جِدًّا
“ Hadits tersebut diriwayatkan oleh ad-Daruquthniy dengan sanad yang dhaif sekali”.

3.   Perbedaan Titik Tolak Dalam Mengambil Satu Kesimpulan.

Dalam masalah agama, hendaklah bertitik tolak dari nash, yaitu al-Quran dan hadits yang shahih, jangan bertitik tolak dari madzhab, tempat, organisasi, akal, perasaan atau tradisi. Perbedaan titik tolak dalam hal ini, tentu saja akan mengakibatkan perbedaan pendapat.
Contoh :
Tambahan lafadz “ Sayyidina “ dalam bacaan shalawat dalam at-Tahiyyat. Sepihak berpendapat bahwa lebih utama memakai “Sayyidina”, karena kita mesti berlaku sopan kepada Nabi saw.. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam I’anatu ath-Thalibin 1 : 169.
َاْلأَوْلَى ذِكْرُ السِّيَادَةِ ِلأَنَّ اْلأَفْضَلَ سُلُوْكُ اْلأَدَبِ .
 “Yang utama (dalam membaca shalawat) adalah dengan menyebut sayyidina, karena harus berlaku sopan (kepada Nabi saw)”.

Pendapat seperti ini terjadi, karena bertitik tolak dari akal dan perasaan. Sementara pihak lain berpendapat tidak boleh memakai sayyidina, karena sepanjang nash yang ada, tidak terdapat tambahan sayyidina (bertitik tolak dari dalil).
Demikian juga, jika sepihak bertitik tolak dari madzhab, akal, atau tradisi, sementara yang lainnya bertitik tolak dari dalil.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar