Sebab-Sebab
Timbulnya Ikhtilaf / Perbedaan Pendapat ( lanjutan Bag-4)
1.
Perbedaan Pemahaman atau
Persefsi dalam memahami nash yang telah disepakati keshahihannya.
Sebagaimana telah
diketahui, bahwa tidak selamanya isi kandungan hadits itu Qhat’iyyu ad-Dilalah,
tetapi banyak juga yang Zhanniyu ad-Dilalah. Maka dalam mengambil kesimpulan
dari yang Zhanniyu ad-Dilalah sering terjadi perbedaan pendapat. Kadang sepihak
berpegang kepada zahir nashnya, sementara sepihak lainnya berpegang pada
illatnya.
Contoh :
Masalah wanita haidh
tinggal di masjid. Ada yang berpendapat bahwa wanita haidh tidak boleh tinggal
di masjid, berpegang pada zhahir nashnya, ada juga yang berpendapat bahwa
wanita haidh dilarang tinggal di masjid jika sekiranya mengotori masjid. Adapun
jika mampu menjaganya dan tidak akan mengotori masjid, maka boleh saja ia
tinggal di masjid.
Contoh lain, seperti hadits di bawah ini :
إِذَا نَهَضَ فِى الرَّكْعَةِ الثَّانِيَةِ اسْتَفْتَحَ
الْقِرَاءَةَ بِـ ( الْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ) وَلَمْ يَسْكُتْ . (ر.
مسلم).
“Jika Nabi bangkit pada raka’at kedua, Nabi memulai
bacaannya dengan ; Alhamdu lillahi rabbil Alamin, dan tidak diam dulu”.
(H.R. Muslim).
Dari hadits ini, ada
yang berkesimpulan bahwa membaca Al Fatihah pada raka’at kedua tidak mesti
membaca Bismillah, berdasar zhahirnya hadits tersebut. (Mengartikan Alhamdu
Lillahi Rabbil Alamin, dengan arti lafazh; Alhamdu Lillahi Rabbil Alamin,
itu sendiri). Sementara pihak lain berpendapat bahwa yang dimaksud dengan Alhamdu
Lillahi Rabbil Alamin di sini adalah surat Al Fatihah termasuk Bismillah
di dalamnya.
Menanggapi perbedaan
pendapat dalam masalah ini, tentu saja tidak berarti bebas memilih pendapat
yang mana saja, tetapi harus mencari mana yang arjah (lebih kuat) dari keduanya
dengan memperhatikan alasan-alasan lain yang menguatkan salah satunya.
2.
Perbedaan Rumusan.
Apakah
itu rumusan Musthalah Hadits, Ushul Fiqh atau rumusan lainnya, misalnya
:
Tentang
Al Quran
a.
Jika terjadi pertentangan antara Al Quran dan Hadits,
mana yang mesti didahulukan, apakah Al Quran atau Hadits? Dalam hal ini ada
yang berpendapat bahwa hadits harus didahulukan, karena tidak ada yang lebih
tahu akan isi kandungan Al Quran kecuali Nabi saw. Sedangkan pihak lain
berpendapat bahwa Al Quran harus didahulukan karena Al Quran lebih kuat dari
hadits.
b.
Masalah Nasikh Mansukh, belum ada kesepakatan
di kalangan ulama.
c.
Dalam memahami ayat-ayat Mutasyabihat, ada yang
menggunakan ta’wil, ada yang menggunakan tafwid. Ada yang
mengartikan “Yadun” dengan arti kekuasaan, ada yang mengartikan “Yadun” dengan
arti tangan, tetapi ليس كمثله شيئ .
d.
Kedudukan sunnah dalam tasyri’ Islami, apakah
berfungsi untuk menetapkan hukum atau hanya sebagai bayan saja terhadap Al
Quran. Oleh karenanya, ada yang berpendapat bahwa Aqiqah itu tidak
disyari’atkan karena tidak terdapat dalam Al Quran ayat yang menyinggung urusan
aqiqah. Sementara yang lainnya berpendapat bahwa aqiqah itu disyari’atkan
berdasarkan hadits yang shahih tentang aqiqah.
e.
Adanya tafsir bi al Ma’tsur dan tafsir bi ar Ra’yi.
f.
Beraneka ragamnya tafsir dari sahabat.
Tentang Hadits
a. Mengenai qaidah :
َاْلأَحَادِيْثُ
الضَّعِيْفَةُ يُقَوِّى بَعْضُهَا بَعْضًا
Artinya :
“Hadits-hadits dhaif itu satu sama lain adalah saling menguatkan”.
b. Mengenai qaidah :
اَلْحَدِيْثُ
الضَّعِيْفُ يُعْمَلُ فِى فَضَائِلِ اْلأَعْمَالِ
Artinya : “Hadits dhaif dapat diamalkan dalam hal keutamaan amal”.
c. Mengenai berhujjah dengan hadits hasan.
d. Mengenai fungsi sunnah.
e. Mengenai mursal shahabi dan hadits mauquf.
f. Mengenai kedudukan mursal tabii’
g. Mengenai kaidah :
اَلْجَرْحُ مُقَدَّمٌ
عَلَى التَّعْدِيْلِ
Artinya : “Anggapan
jarah (cacat terhadap seorang perawi) harus didahulukan dari pada anggapan adil
/ tsiqat”.
h.
Mengenai
qaidah :
اَلصَّحَابَةُ
كُلُّهُمْ عُدُوْلٌ
Artinya : “Sahabat-sahabat Nabi itu semuanya dinilai adil
(periwayatannya).
Dalam hal
ini, khususnya syi’ah menolak rumusan ini.
i. Mengenai riwayat orang yang tadlis
Rumusan-rumusan tersebut di atas
belum disepakati bersama. Ada pihak yang menerimanya, ada juga pihak yang
menolaknya. Dalam hal ini, masih perlu diadakan kaji ulang oleh para ahli
dengan memperhatikan alasan-alasan, mengapa menolak dan mengapa menerimanya.
Dalam Berijtihad
a.
Tentang kedudukan ijma’, ijma’ yang mana yang bisa
dijadikan hujjah.
b.
Tentang Qiyas, bisakah diterima Qiyas dalam masalah
ibadah mahdhah?
c.
Apabila terjadi musbit (dalil yang menetapkan ada) dan
naïf (dalil yang menetapkan tidak ada). Mana yang didahulukan, Mutsbit atau
Nafi?
d.
Tentang kedudukan istihsan, maslahat mursalah,
dan masalah-masalah lainnya yang masih jadi perbincangan di kalangan ulama.
Dalam
rumusan-rumusan yang tersebut tadi belum ada kesepakatan di kalangan para
ulama. Untuk itu diperlukan penelitian yang lebih mendalam lagi, kajian yang
lebih akurat dan meyakinkan disertai keikhlasan dan keterbukaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar