Mensikapi
Perbedaan Pendapat
Timbulnya perbedaan
pendapat, khususnya dalam masalah fiqh dan pengamalan ibadah mahdhah, membuat
pelaksanaan ibadah umat menjadi beraneka ragam.
Bahkan tidak jarang
perbedaan pendapat disikapi dengan cara negatif sehingga timbul perpecahan dalam
tubuh ummat sendiri, dan melupakan pokok permasalahan untuk dikaji dan
diselesaikan. Dalam hal ini ada tiga kelompok, yaitu :
1. Kelompok Yang Menutup Diri; Tidak Mau Memperhatikan Masukan-Masukan Dari
Yang Lain :
Mereka meyakini, apa yang telah menjadi
tradisi di kalangan mereka sudah pasti benar, karena telah berjalan sekian lama
dan tentunya telah melewati kajian-kajian di kalangan leluhur mereka dan
tokoh-tokoh yang dapat diandalkan keilmuannya.
Munculnya
pendapat-pendapat baru tidak membuat mereka penasaran dan mengadakan kaji
ulang, apalagi untuk mengundang orang-orang yang berbeda pendapat dengan mereka
untuk mengadakan dialog dan muthala’ah bersama. Mereka lebih memilih bersikap
apriori terlebih dahulu.
Sikap seperti ini
tentu saja tidak akan membuka wawasan baru, merangsang berpikir dan menumbuhkan ruh ijtihad.
2. Kelompok Yang Bersikap Apatis (Acuh Tak
Acuh); Tidak Mau Mencari Solusi Atau Penyelesaian:
Mereka meyakini
dua-duanya benar, masing-masing mempunyai alasan yang kuat. Ummat dipersilahkan
mengamalkan mana saja yang ia kehendaki. Hendak melaksanakan qunut silahkan,
tidak qunut juga tidak apa-apa, yang penting menjaga kesatuan dan persatuan
serta ukhuwah Islamiyyah.
Sebab dengan membuka
masalah-masalah khilafiyyah dan soal-soal furu’, akan membuat ummat resah dan
akan mengancam kesatuan dan persatuan serta stabilitas di kalangan ummat Islam
itu sendiri.
Ada sebuah kisah
nyata, ketika sekelompok orang bermaksud melaksanakan shalat tarawih 11 raka’at
dan kelompok lain melaksanakan 23 raka’at.
Timbul pertentangan
di antara mereka dan masing-masing bersikeras dengan pendapatnya sendiri.
Sampai datang seorang ” kiyai “ untuk menyelesaikan pertentangan di antara
mereka dengan mengatakan : “Sudahlah, shalat Tarawih itu sunnat, sementara
bertengkar itu haram. Silahkan kalian pulang ke rumah masing-masing”.
Pada akhirnya,
mereka kembali ke rumah masing-masing dan tidak jadi melaksanakan shalat
tarawih.
Sikap tersebut,
jelas tidak akan menyelesaikan masalah dan membuat seseorang yakin ketika
melaksanakan ibadahnya. Ummat selalu dihantui keraguan dan kebingungan, dan
tidak dididik untuk kritis dalam menanggapi dan menghadapi dalam
masalah-masalah yang muncul di antara mereka.
3. Kelompok Yang Berusaha Untuk Mencari
Penyelesaian; Mana Yang Arjah (Paling Kuat).
Karena tidak mungkin dua hal yang
bertentangan kedua-keduanya benar, dan tidak mungkin dalam satu masalah
terdapat dua hukum yang berbeda; ya halal ya haram, ya sunnah ya bid’ah.
Setidaknya
rumusan-rumusan dan cara menyelesaikannya sudah ada. Baik dengan memakai Thariqathu
al-Jami’, Thariqathu at-Tarjih, dan Thariqathu an-Naskhi.
Tinggal ada usaha
dan keinginan, serta modal keilmuan dan keikhlasan untuk mengkaji
kembali masalah-masalah yang muncul di kalangan ummat. Tentu saja ini adalah
tugas para ulama dan para puqaha.
Para ulama dituntut
untuk mengkaji dan mengkaji lagi serta menambah wawasan keilmuan dan menambah
literatur bacaan. Dengan demikian agama akan tetap terpelihara kemurniannya.
Sikap seperti ini
adalah sikap yang diperintahkan Al-Quran, hadits Nabi, dan juga yang diamalkan
oleh para sahabat Nabi saw.
Keharusan
Menyelesaikan Masalah-Masalah Ikhtilaf
Munculnya perbedaan
pendapat adalah hal yang wajar, tetapi tidak mesti semuanya ditolelir, dan
tidak harus mengakibatkan perpecahan dikalangan ummat.
Allah SWT berfirman:
قَالَ اللهُ تَعَالَى : ...فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي
شَيْئٍ فَرُدُّوْهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُوْلِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللهِ
وَالْيَوْمِ اْلآَخِرِ ذَالِكَ خَيْرٌ وَّأَحْسَنُ تَأْوِيْلاً . (النساء : 59).
Artinya: “…kemudian
jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada
Allah (Al-Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada
Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya”. (Q.S. An-Nisa: 59).
Ayat tersebut
mengandung beberapa pesan, di antaranya :
1. Adalah hal yang wajar timbulnya perbedaan pendapat di kalangan ummat.
2. Upayakan mencari penyelesaian dengan mengembalikan persoalan itu kepada
Allah dan Rasul-Nya (Al Quran dan Sunnahnya).
3. Jiwai usaha tersebut dengan iman yang benar-benar kepada Allah dan hari
akhir.
4. Upaya tersebut adalah cara yang paling utama dan lebih baik akibatnya.
Demikian petunjuk
Al-Quran dalam mensikapi perbedaan pendapat. Dalam ayat lain, Allah swt.
berfirman :
قَالَ اللهُ تَعَالَى : وَلَوْ شَآءَ رَبُّكَ لَجَعَلَ
النَّاسَ أُمَّةً وَّاحِدَةً وَلاَ يَزَالُوْنَ مُخْتَلِفِيْنَ . إِلاَّ مَنْ
رَّحِمَ رَبُّكَ ...(هود : 118 – 119).
Artinya : “Jika
Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia ummat yang satu, tetapi
mereka senantiasa berselisih pendapat. Kecuali orang-orang yang diberi rahmat
oleh Tuhanmu…” (Q.s. Hud : 118-119).
Ayat tersebut
mengandung beberapa pesan, di antaranya:
1. Allah tidak menjadikan manusia ini satu
ummat dan tentu di dalamnya terkandung hikmah ilahiyyah.
2. Manusia dimanapun dan kapanpun senantiasa berselisih pendapat.
3. Orang yang mendapatkan rahmat dari Allah tentu akan berusaha untuk
menghindari perselisihan dan mencari jalan penyelesaian.
Allah swt. berfirman
:
قَالَ اللهُ تَعَالَى : إِنَّمَا الْمُؤْمِنُوْنَ
إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوْا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوْا اللهَ لَعَلَّكُمْ
تُرْحَمُوْنَ . (الحجرات : 10).
Artinya :
“Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah
(perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah,
supaya kamu mendapat rahmat”. (Q.s. Al-Hujurat : 10).
Ayat ini juga
memberikan pesan :
1. Orang-orang mukmin satu sama lain adalah saudara, mereka telah berada
dalam bingkai aqidah yang kuat.
2. Jika terjadi perselisihan atai silang pendapat, bereskanlah di antara
mereka dan jangan dibiarkan berlarut-larut.
3. Bertaqwa kepada Allah adalah satu-satunya usaha untuk mendapatkan
rahmat-Nya.
Nabi saw. bersabda :
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَمْسَحُ مَنَاكِبَنَا فِي
الصَّلاَةِ وَيَقُوْلُ : اِسْتَوُوْا وَلاَ تَخْتَلِفُوْا فَتَخْتَلِفُ
قُلُوْبُكُمْ . (ر. مسلم).
Artinya : “Adalah
Rasulullaj saw. suka mengusap pundak kami di waktu (hendak) shalat, seraya
mengatakan : “Luruskanlah (shafnya) dan jangan berselisih (renjul), akibatnya
akan berselisih juga hati kamu”. (H.R. Muslim).
Hadits ini juga
menunjukkan, betapa kuatnya perhatian Nabi agar shalat itu seragam, lurus
shafnya, rapat barisannya dan seragam pelaksanaannya. Hal itu sebagai gambaran
dari kesamaan hati. Sebaliknya praktek shalat yang renjul, shaf yang tidak
lurus, itu pertanda bahwa hatinya belum seragam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar