Entri Populer

Senin, 05 Maret 2012

IKHTILAF Bag-7


Pendapat Para Ahli Tentang Ikhtilaf


Pendapat Imam Malik

وَقَالَ أَشْهَبُ : سُئِلَ مَالِكٌ عَمَنْ أَخَذَ بِحَدِيْثٍ حَدَّثَهُ ثِقَةٌ عَنْ أَصْحَابِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَتَرَاهُ مِنْ ذَالِكَ فِي سَعَةٍ ؟ وَقَالَ : لاَ, وَاللهِ حَتَّى يُصِيْبُ الْحَقُّ مَا الْحَقُّ إِلاَّ وَاحِدٌ, قَوْلاَنِ مُخْتَلِفَانِ يَكُوْنَانِ صَوَابًا جَمِيْعًا ؟ مَا الْحَقُّ وَالصَّوَابُ إِلاَّ وَاحِدٌ. (صفة الصلاة النبي : 40). 
“Ashab berkata : Imam Malik pernah ditanya tentang seorang yang mengambil hadits dari Nabi yang tsiqat (dapat dipercaya), apakah menurut pendapatmu bebas memilih yang mana saja (jika terjadi berbeda pendapat). Beliau menjawab: Tidak! Sehingga ia mendapatkan yang hak, tidaklah hak (kebenaran) itu kecuali satu, apakah mungkin dua pendapat yang berbeda dua-duanya benar? Tidaklah hak dan kebenaran itu kecuali satu”. (Shifatu as-Shalati an-Nabi, hal: 40).

Keterangan tersebut menunjukkan prinsip Imam Malik bahwa hak dan kebenaran itu Cuma satu, tidak mungkin dua pendapat yang berbeda dua-duanya benar, tetapi mesti dicari mana yang paling kuat sekalipun itu datang dari sahabat-sahabat Nabi.

 

Pendapat Muhammad Abduh

قَالَ الشَّيْخُ مُحَمَّدُ عَبْدُهُ : وَذَالِكَ ِلأَنَّ الْحَقَّ وَاحِدٌ لاَ يَتَعَدَّدُ فَيَجِيْبُ الْبَحْثُ عَنْهُ بِإِخْلاَصٍ وَعَدَمِ تَخَيَّرٍ وَلاَجِدَالٍ حَتَّى إِذَا مَا ظَهَرَ الْحَقُّ إِتَّفَقُوْا عَلَيْهِ وَأَغْلِقُوْا بَابَ الشَّيْطَانِ . (مالا يجوز فيه الخلاف :106).
“Yang demikian itu karena hak itu (kebenaran) hanya satu, tidak banyak jumlahnya. Oleh karenanya wajib mencari hak itu dengan ikhlas, tidak fanatik dan tidak berdebat kusir, dan jika telah jelas mana yang hak itu, hendaklah semuanya sepakat mengambil yang hak dan menutup pintu syaithan”. (Ma la Yajuzu Fihi al-Khilaf, hal: 106).
Muhammad Abduh menyatakan dengan tegas, bahwa hak itu hanya satu tidak banyak, dan kita mesti berupaya mencari hak dengan hati yang ikhlas, pikiran yang jernih, tidak berusaha menentang pendapat yang lain atau mempertahankan pendapat sendiri.

 

Pendapat Para Ahli Mantiq

Para ahli Mantiq dalam menjelaskan Tanaqudh menyatakan:
تَنَاقُضُ خُلْفُ الْقَضِيَّتَيْنِ فِى كَيْفٍ وَصِدْقُ وَاحِدٍ أَمْرٌ قُفِى .
“Tanaqudh itu adalah pertentangan dua qadhiyyah (masalah) dalam ijab dan salab (positif & negatif) dan yang benar itu pasti satu”.
Tanaqudh, artinya pertentangan antara dua qadhiyyah, diman yang satu menyatakan (A) umpamanya, sedang yang lainnya menolaknya atau menyangkalnya, contoh:
Ali itu sakit - Ali itu tidak sakit, Ahmad itu muslim - Ahmad itu bukan muslim.
Dua qadhiyyah seperti tersebut diatas, saling berlawanan, yang satu menyatakan sakit sementara lainnya menyatakan tidak sakit. Yang demikian disebut tanaqudh dalam ilmu Mantiq atau Ta’arudh dalam Ushul Fiqih atau kadang juga disebut Ikhtilaf.
Ketika terjadi tanaqudh, tidak mungkin pernyataan yang saling berlawanan itu dua-duanya benar, yang benar pasti satu, apakah pernyataan; “Ali itu sakit”, atau pernyataan bahwa “Ali itu tidak sakit”.
Begitu pula jika terjadi pertentangan dalam masalah fiqih. Yang satu menyatakan halal sementara lainnya menyatakan haram. Tidak mungkin kedua-duanya benar; ya halal ya haram. Pasti salah satunya yang benar, dan kita berkewajiban untuk mencari mana yang benar.

Adab Dalam Mensikapi Ikhtilaf


Kita dituntut untuk mencari kebenaran dimanapun dan dari siapapun. Sebagai pencari hak dan kebenaran, tentu saja harus memiliki jiwa terbuka dan lapang dada untuk menerima kebenaran dari siapa saja datangnya, sekaligus memiliki keberanian untuk menyampaikannya kepada siapa saja dan dimana saja. Imam Ghazali memberikan petuah dalam masalah ini:
قَالَ الْغَزَالِي : أَنْ يَكُوْنَ كُلُّ طَرَفٍ مِنْ طَرَفَيْ الْمُنَاظَرَةِ فِى طَلَبِ الْحَقِّ كَنَاشِدِ ضَآلَةٍ لاَ يُفَرِّقُ بَيْنَ أَنْ تَظْهَرَ الضَّآلَةُ عَلَى يَدِهِ أَوْ عَلَى يَدِ مَنْ يُعَاوِنُهُ فَهُوَ يَرَى فِى رَفِيْقِهِ مُعِيْنًا وَمُسَاعِدًا فِى الْوُصُوْلِ لِلْحَقِّ لاَ خَصْمًا وَلِذَالِكَ يَشْكُرُهُ إِذَا نَبَّهَهُ لِمَوْضِعِ الْخَطَإِ وَأَظْهَرَ لَهُ الْحَقَّ .


 “Hendaklah masing-masing pihak dari kedua pihak yang bermunazharah(berdiskusi) dalam upaya mencari kebenaran, seperti halnya orang yang mencari barabg yang hilang (kepunyaanya), ia tidak membeda-bedakan oleh siapa barang yang hilang itu dditemukan, apakah oleh tangannya sendiri atau oleh tangan orang yang membantu mencarikannya. Dia akan menganggap temannya itu sebagai pembantu dan penolong dalam mencari kebenaran dan tidak menganggapnya sebagai lawan atau musuh. Oleh karenanya, ia akan bersyukur kepada temannya jika temannya itu mengingatkan kesalahan dan menunjukkan kebenaran kepadanya”.
كَمَا لَوْسَلَكَ طَرِيْقًا خَطَأً فِى طَلَبِ ضَآلَتِهِ فَنَبَّهَهُ صَاحِبُهُ إِلَى أَنَّ ضَآلَتَهُ سَلَكَتْ الطَرِيْقَ اْلآَخِرَ فَإِنَّهُ يَسُرُّ بِهِ وَيَشْكُرُهُ . (مالا يجوز فيه الخلاف :109).
:”Sebagaimana jika seseorang menempuh jalan yang salah dalam mencari barangnya yang hilang, kemudian temannya mengingatkan dia, bahwa (untuk mendapatkan) barang yang hilang itu menempuh jalan yang lain, tentu saja ia akan bergembira (menerima sarannya) dan bersyukur kepadanya”.

Demikian fatwa Imam Ghazali yang begitu menarik dan indah untuk dijadikan bekal oleh setiap orang yang mencari serta merindukan kebenaran.

Cara Menyelesaikan Nash-Nash Yang Nampak Bertentangan

Adalah satu kenyataan, timbulnya aneka ragam pendapat, pengamalan ibadah yang berbeda, fatwa ulama yang berlainan. Hal ini bukan berarti agama yang tidak sempurna, petunjuk agama yang tidak cukup, tetapi akibat dari pemahaman dan persefsi yang berbeda, di samping latar belakang dan motivasi yang tidak sama.
Perbedaan pendapat di kalangan ummat tersebut tentunya bukan untuk diabadikan dan dilestarikan, apalagi untuk diwariskan, melainkan untuk diselesaikan. Minimalnya ada usaha untuk mencoba mencari mana pendapat yang arjah (paling kuat) dari sekian banyak pendapat yang rajih (kuat).
Allah SWT berfirman :
قَالَ اللهُ تَعَالَى : ...فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْئٍ فَرُدُّوْهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُوْلِ..... . (النساء : 59). 
“…kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (sunnahnya)……. (Q.S. An-Nisa: 59).

Para ulama telah membuat berbagai rumusan untuk menyelesaikan dalil-dalil yang tampak bertentangan, yaitu :

1.   Thariqatu Al-Jam’i
Thariqatu Al-Jam’i adalah menggabungkan dua dalil yang nampak bertentangan, sehingga kedua-duanya bisa dipakai dan diamalkan.
Thariqatu Al-Jam’I hanya menggabungkan dua dalil yang sama-sama shahih dan kuat.
Adapun bila dari dua dalil itu yang satu shahih dan yang lainnya dhaif, maka tidaka digunakan Thariqatu Al-Jam’i, tetapi diambil yang shahih dan yang dhaif ditinggalkan.

2.   Thariqatu At-Tarjih
Thariqatu At-Tarjih adalah upaya menyelesaikan dua dalil yang nampak berlawanan dengan jalan mencari, mana yang lebih kuat dari kedua hadits tersebut dengan melihat berbagai seginya, baik dari segi sanad dan matannya, sedikit atau banyaknya yang meriwayatkan atau segi-segi yang lainnya yang menunjang salah satu dari keduanya.

3.   Thariqatu An-Nashkhi
Thariqatu An-Nashkhi adalah penyelesaian dengan jalan menggugurkan salah satu dari kedua dalil yang nampak bertentangan. Apabila diketahui tarikhnya, mana yang lebih dahulu dan mana yang kemudian.
Cara inipun dilakukan apabila upaya dengan Thariqatu al-Jam’I dan Thariqatu at-Tarjih sudah tidak mungkin ditempuh.
Para ahli Ushul telah membuat rumusan :
مَتَى أَمْكَنَ الْجَمْعُ لاَ يَجُوْزُ النَّسْخَ
 “Apabila masih mungkin digabunh, maka tidak boleh mengambil jalan Nashkh”.

4.   Thariqatu At-Tawaqquf
Thariqatu At-Tawaqquf adalah upaya menangguhkan penyelesaian atau keputusan akhir dari dua dalil yang nampak berlawanan karena sulit ditempuh dengan ketiga cara di atas.
Cara ini sebenarnya bukan penyelesaian, tetapi penangguhan dulu, sementara belum didapatkan keterangan atau alasan-alasan lain yang menunjang atau menguatkan salah satunya. Dan dalam hal ini belum ditemukan contohnya.
 Contoh ; Dalam hal menyentuh dzakar.
Ada dua dalil yang nampak berlawanan, yaitu :
Dalil Pertama :
عَنْ طَلْقِ بْنِ عَلِيٍّ قَالَ : قَالَ رَجُلٌ : مَسَسْتُ ذَكَرِيْ أَوْ قَالَ الرَّجُلُ : يَمَسُّ ذَكَرَهُ فِى الصَّلاَةِ أَعَلَيْهِ الْوُضُوْءُ ؟, فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لاَ , إِنَّمَا هُوَ بَضْعَةٌ مِنْكَ . (رواه الخمسة)
Artinya :” Dari Thalq bin ‘Ali r.a, ia berkata; seorang laki-laki telah bertanya : Aku menyentuh dzakarku, (dalam ungkapan lain), Ia berkata : seorang laki-laki menyentuh dzakarnya di waktu shalat, apakah ia mesti berwudhu ?. Nabi saw. menjawab,”Tidak ! sesungguhnya dzakar itu bagian dari tuguhmu”. (HR. Al-Khamsah).
وَصَحَّحَهُ بْنُ حِبَّانَ وَقَالَ ابْنُ الْمَدَنِي : هُوَ أَحْسَنُ مِنْ حَدِيْثِ بُسْرَةَ . (بلوغ المرام : 27).
Artinya: “ Dan dikatakan shahih oleh Ibnu Hibban. Dan menurut Ibnu al-Madini,”Hadits ini lebih bagus (kuat) daripada hadits Busrah (yang menyatakan harus berwudhu dengan sebab menyentuh dzakar)”. (Bulughu al-Maram : 27).

Dalil Kedua :

عَنْ بُسْرَةَ بِنْتِ صَفْوَانَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : مَنْ مَسَّ ذَكَرَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ .(أَخْرَجَهُ الْخَمْسَةُ وَصَحَّحَهُ التِّرْمِذِيُّ وَابْنُ حِبَّانَ , وَقَالَ الْبُخَارِيُّ : هُوَ أَصَحُّ شَيْئٍ فِى هَذَا الْبَابِ . ( سبل السلام 1 : 67).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar