Entri Populer

Jumat, 16 Maret 2012

KAIFIYAT SHALAT



كيفية الصّلاة
KAIFIYAH S H A L A T
(Bagian Ke-1)

A.   Makna Shalat Secara Bahasa

1.    Dan do’akanlah mereka, sesungguhnya do’amu menentramkan mereka. Dan Allah itu Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.

1.    ....وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلاَتَكَ سَكَنٌ لَّهُمْ وَاللهُ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ.(ألتّوبة <9> : 103)
}
2.    Apabila seseorang di antara kamu diundang, hendaklah ia datang, jika ia sedang
shaum, do’akanlah, dan jika tidak shaum, hendaklah ia makan.

2.    إِذَا دُعِيَ أَحَدُكُمْ فَلْيُجِبْ فَإِنْ كَانَ صَائِمًا فَلْيُصَلِّ وَإِنْ كَانَ مُفْطِرًا فَلْيَطْعَمْ .(ر. مسلم)

B.   Makna Shalat Secara Istilah/Menurut Syara’

Shalat adalah ibadah yang mencakup perkataan dan perbuatan tertentu (yang) dimulai dengan dengan takbir kepada Allah Ta’ala dan diakhiri dengan salam. (Fiqhu Sunnah 1 : 78).

اَلصَّلاَةُ : عِبَادَةٌ تَتَضَمَّنُ أَقْوَالاً وَأَفْعَالاً مَخْصُوْصَةً مُفْتَتَحَةٌ بِتَكْبِيْرِ اللهِ تَعَالَى ، مُخْتَتَمَةٌ بِالتَّسْلِيْمِ .(فقه السّنة 1 : 78 ).

Ibadah ialah : “Mendekatkan (diri) kepada Allah Ta’ala, dengan cara mengerjakan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya, serta beramal sesuai dengan kewenangan (idzin) syara”.
(Pendapat lain) : Ibadah ialah : “Tha’at kepada Allah, dengan (cara) melaksanakan segala perintah Allah melalui ucapan para Rasul”.
(Pendapat lain : Fat-hul Majid : 14) : Ibadah ialah : “Mencakup segala bentuk yang dicintai serta diridlai Allah, baik ucapan, maupun perbuatan, yang nyata atau yang tersembunyi.

اَلْعِبَادَةُ هِىَ التَّقَرُّبُ اِلَى اللهِ تَعَالَى بِامْتِثَالِ اَوَامِرِهِ وَاجْتِنَابِ نَوَاهِيْهِ وَالْعَمَلِ بِمَا اَذِنَ بِهِ الشَّارِعُ.
وَقِيْلَ : اَلْعِبَادَةُ هِىَ طَاعَةُ اللهِ بِامْتِثَالِ مَا اَمَرَاللهُ بِهِ عَلَى اَلْسِنَةِ الرُّسُلِ.
وَقِيْلَ : اَلْعِبَادَةُ اِسْمٌ جَامِعٌ لِكُلِّ مَا يُحِبُّهُ اللهُ وَيَرْضَاهُ مِنَ اْلأَقْوَالِ وَاْلأَعْمَالِ الظَّاهِرَةِ وَالْبَاطِنَةِ .(فتح الماجد: 14).

 “ Sesungguhnya pekerjaan-pekerjaan dan perkataan-perkataan Rasulullah saw. dalam shalat itu merupakan penjelasan atas perintah shalat yang mujmal dalam Al-Quran ”. (Subulus-salam 1 : 386). 

أَنَّ أَفْعَالَهُ (صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ) فِى الصَّلاَةِ وَأَقْوَالَهُ بَيَانٌ لِمَا أُجْمِلَ مِنَ اْلأَمْرِ بِالصَّلاَةِ فِى الْقُرْآَنِ.(سبل السّلام1: 386).

 

C.   Kedudukan Shalat Dalam Islam


1.    Rasulullah saw. bersabda,” Pokok urusan (agama) ini adalah Islam dan tiangnya adalah shalat ………“.(HR. At-Thabrani – al-Mu’jamul Kabir 20: 55 no. 96 dari Muadz).

1.    قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : رَأْسُ هذَا اْلأَمْرِ اَْلإِسْلاَمُ وَعُمُوْدُهُ الصَّلاَةُ ..... (ر. الطبرانى).

2.    Dari Abu Umamah, ia berkata; Rasulullah saw. bersabda,” Sesungguhnya akan terlepas ikatan-ikatan (panji-panji kebesaran) Islam satu persatu. Setiap kali satu ikatan lepas, manusia akan tergantung pada ikatan yang berikutnya. Ikatan yang paling awal terlepas adalah hukum dan yang terakhir adalah shalat”. (HR. Ibnu Hibban – al-Ihsan : 6680, Shahih Ibnu Hibban 15 : 111 no. 6715).

2.    عَنْ أَبِى أُمَامَةَ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لَتَنْتَقِضَنَّ عُرَى اْلإِسْلاَمِ عُرْوَةً عُرْوَةً فَكُلَّمَا انْقَضَتْ عُرْوَةٌ تَشَبَّتَ النَّاسُ بِالَّتِى تَلِيْهَا فَأَوَّلُهُنَّ نَقْضًا الْحُكْمُ وَآَخِرُهُنَّ الصَّلاَةُ . (ر. إبن حبّان )


















































3.    Dari Tamin ad-Dari, ia berkata; Rasulullah saw. bersabda,” Yang pertama (amal) yang akan dihisab dari seorang hamba adalah shalat, kemudian (setelah itu) seluruh amal lainnya.”(HR. At-Thabrani- al-Mu’jamul Kabir : 1255).

3.    عَنْ تَمِيْمٍ الدَّارِي قَالَ : رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : أَوَّلُ مَا يُحَاسَبُ بِهِ الْعَبْدُ اَلصَّلاَةُ ثُمَّ سَائِرُ اْلأَعْمَالِ . (ر. الطبرانى).

4.    Nabi saw. bersabda,” Yang mula-mula dihisab dari seorang pada hari qiyamat adalah shalat. Jika shalatnya beres, maka bereslah seluruh amalnya dan jika shalatnya rusak, mak rusaklah seluruh amalnya.” (HR. At-Thabrani – al-Mujamuul Autsat 2 : 240 no. 1859).

4.    قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : أَوَّلُ مَا يُحَاسَبُ عَلَيْهِ الْعَبْدُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ اَلصَّلاَةُ فَإِنْ صَلُحَتْ صَلُحَ سَائِرُ عَمَلِهِ وَإِنْ فَسَدَتْ فَسَدَ سَائِرُ عَمَلِهِ . (ر. الطبرانى).

5.    Dari Abu Hurairah bahwasanya ia mendengar Rasulullah saw. bersabda,” Bagaimana menurut kamu bila sebuah sungai berada di depan rumah seorang dari kamu kemudian orang itu mandi sehari lima kali, apa yang kamu katakana, tersisakah dari daki-dakinya ?. Mereka (para sahabat) menjawab,”Tidak akan tersisa dari daki-dakinya sedikitpun”. Sabda Beliau,”Maka itulah perumpamaan shalat fardlu yang lima (lima kali dalam sehari semalam). Allah menghapus segala kesalahan-kesalahan (dosa-dosa). (HR. Al-Bukhari).

5.    عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّهُ سَمِعَ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ : أَرَأَيْتُمْ لَوْ أَنَّ نَهْرًا بِبَابِ أَحَدِكُمْ يَغْتَسِلُ فِيْهِ كُلَّ يَوْمٍ خَمْسًا مَا تَقُوْلُ ذلِكَ يَبْقِي مِنْ دَرَنِهِ , قَالُوْا : لاَ يَبْقِي مِنْ دَرَنِهِ شَيْئًا ، قَالَ : فَذلِكَ مِثْلُ الصَّلَوَاتِ الْخَمْسِ يَمْحُوْا اللهَ بِهِ الْخَطَايَا . ( ر. البخارى).

6.    Dari Jabir, ia berkata ; Rasulullah saw. bersabda,” Perumpamaan shalat yang lima itu seperti sebuah sungai (yang) airnya mengalir dengan banyak di pintu (rumah) seseorang, ia mandi darinya setiap hari lima kali”. (HR. Muslim  : 668).  

6.    عَنْ جَابِرٍ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَثَلُ الصَّلَوَاتِ الْخَمْسِ كَمَثَلِ نَهْرٍ جَارٍ غَمْرٍ عَلَى بَابِ أَحَدِكُمْ يَغْتَسِلُ مِنْهُ كُلَّ يَوْمٍ خَمْسَ مَرَّاتٍ . (ر. مسلم).

7.    Shalat merupakan wasiat terakhir Rasulullah saw. yang diamanatkan kepada umatnya ketika akan meninggalkan dunia – Beliau bersabda ketika melepaskan nafasnya yang terakhir- : (Jagalah) shalat,shalat, dan hamba sahaya wanita yang kamu miliki”. (HR. Ahmad-Musnad Ahmad bin Hanbal 6: 290 no. 26526, 26726, 26699, 26770, Fiqhu sunnah 1 : 78).

7.    وَهِيَ آَخِرُ وَصِيَّةٍ وَصَّى بِهَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُمَّتَهُ عِنْدَ مَفَارِقَةِ الدُّنْيَا ، جَعَلَ يَقُوْلُ – وَهُوَ يَلْفِظُ اَنْفَاسَهُ اْلآَخِيْرَةَ - : اَلصَّلاَةُ – اَلصَّلاَةُ ، وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ . (رز أحمد ).

8.    “ …….Sesungguhnya shalat itu mencegah perbuatan keji dan munkar dan sungguh (shalat) mengingat Allah (dzikir) itu yang paling utama “.(QS. Al-‘Ankabut <29> : 45) 

8.    .... إِنَّ الصَّلاَةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَآءِ وَالْمُنْكَرِ وَلَذِكْرُ اللهِ اَكْبَرُ .... (سورة العنكبوت <29> : 45 ). 

9.    Dari Malik, dari Rasulullah saw.  bersabda,” ….Shalatlah kalian sebagaimana (kalian mengetahui berdasarkan ilmu) aku shalat , apabila datang waktu shalat maka adzanlah salah seorang diantara kalian dan jadi imamlah yang paling tua diantara kalian”. (HR. Al-Bukhari : 631). 

9.    عَنْ مَالِكٍ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : ... وَصَلُّوْا كَمَا رَأَيْتُمُوْنِى أُصَلِّى ، فَإِذَا حَضَرَتِ الصَّلاَةُ فَلْيُؤَذِّنْ لَكُمْ أَحَدُكُمْ وَلْيَؤُمَّكُمْ اَكْبَرُكُمْ .( ر. البخارى).
*****  bersambung  *****







كيفية الصّلاة
KAIFIYAH S H A L A T
(Bagian Ke-2)


A.   Takbiratul Ihram dan Mengangkat Kedua Tangan


Takbir adalah mengucapkan Allohu Akbar  yang artinya menyatakan dan mengakui ke-Mahaagungan Allah. Oleh karena itu belum benar-benar takbir dan sangat berdosa besar bagi orang yang bertakbir tetapi dadanya (hatinya) masih penuh dengan kesombongan apalagi bahwa segala sesuatu itu harus terwujud sesuai dengan keinginan dirinya.

“Dan janganlah kamu berjalan di bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya kamu tidak akan menembus bumi dan tidak akan setinggi gunung”. (QS. Al-Isra’ < 17>: 37)

وَلاَ تَمْشِ فِى اْلأَرْضِ مَرَحًا إِنَّكَ لَنْ تُحْرِقَ اْلأَرْضَ وَلَنْ تَبْلُغَ الْجِبَالَ طُوْلاً . (س. الإسراء <17>:37).

Ihram artinya mengharamkan sesuatu yang asalnya halal. Jadi takbiratul-ihram itu mengucapkan Allohu Akbar untuk menyatakan dan mengakui ke-Mahaagungan Allah yang sekaligus masuk kepada suatu ibadah dan mengharamkan beberapa amalan yang sebelumnya halal. Takbiratul-ihram ini telah menjadi istilah khusus dalam ibadah shalat. Hal ini tidak berbeda pada ihram haji atau kata-kata ihlal haji yang mengharamkan pada beberapa amalan. Oleh karena itu kita dilarang memulai bertakbiratul-ihram kecuali setelah benar-benar menghadap kiblat dan siap segala sesuatunya untuk menerima perubahan hukum beberapa amalan yang tadinya halal kemudian menjadi haram.
Takbiratul-ihram disebut juga takbiratul-iftitah atau takbiratul-ula. Disebut Takbiratul-iftitah, karena ucapan takbir ini merupakan ucapan pertama yang diucapkan untuk memulai shalat, dan disebut takbiratul-ula, karena takbiratul-ihram merupakan takbir pertama pada shalat yang akan diulang dengan takbir-takbir lainnya.  
Wajib hukumnya memulai shalat dengan takbiratul-ihram, bahkan tidak sah shalat dimulai dengan bacaan lainnya, :

1.  Dari Ali Bin Ali Thalib r.a dari Nabi saw., ia bersabda,”Kunci (pembuka) shalat itu bersuci, pengharamnya takbir dan penghalalnya adalah salam”. (HR. Al-Khamsah kecuali At-Tirmidzi).

1.  عَنْ عَلِيٍّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : مِفْتَاحُ الصَّلاَةِ الطُّهُوْرُ وَتَحْرِيْمُهَا التَّكْبِيْرُ وَتَحْلِيْلُهَا التَّسْلِيْمُ . (ر. الخمسة إلاّ الترمذى)

Lebih tegas lagi hadits yang memerintahkan memulai shalat dengan takbir, jika benar-benar telah menghadap kiblat. Dan dalam hal ini Rasulullah saw. tidak mencontohkan bacaan lain, apakah yang panjang bahkan yang pendek sekalipun.

2.  Dari Abu Hurairah, ia mengatakan,”Rasulullah saw. telah bersabda,”Jika kamu telah akan shalat, maka sempurnakan (ratakan) wudlu, kemudian menghadaplah ke kiblat dan langsung takbir”. (HR. Muslim)

2.  عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلاَةِ فَاسْبِغِ الْوُضُوْءَ ثُمَّ اسْتَقْبِلِ الْقِبْلَةَ فَكَبِّرْ . (ر. مسلم)

 

Hadits-hadits ini tegas sekali membantah adanya bacaan-bacaan yang sering diamalkan, seperti ta’awwudz, basmallah apalagi melafadzkan niat. Rasulullah saw. telah bersabda :


3.  “…. Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku shalat”. (HR. Ahmad

3.  ...صَلُّوْا كَمَا رَأَيْتُمُوْنِي أُصَلِّي ..(ر. احمد والبخارى).

 

 







B.    Mengangkat Kedua tangan dan Kaifiyatnya


1.      Dari Abu Hurairah r.a, ia mengatakan “Rasulullah saw. apabila berdiri memulai shalat, beliau mengangkat kedua tangannya tinggi”. (H.R. Al-Khamsah kecuali Ibnu Majah Dari Abu Hurairah r.a.).

1.    عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَامَ إِلَى الصَّلاَةِ رَفَعَ يَدَيْهِ مَدًّا. (ر. الخمسة إلا ابن ماجة).

2.    Dari Ibnu ‘Umar r.a,ia mengatakan, “Keadaan Rasulullah saw. apabila berdiri memulai shalat, beliau mengangkat kedua tangannya sehingga sejajar dengan kedua pundaknya kemudian mengucapkan Allahu Akbar”. (H.R. Muttafaq Alaih dari Ibnu Umar).

2.    عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ :  كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَامَ إِلَى الصَّلاَةِ رَفَعَ يَدَيْهِ حَتَّى يَكُوْنَا بِحَذْوِ مَنْكِبَيْهِ ثُمَّ كَبَّرَ  (متفق عليه).

3.    Dari Malik bin al-Huwairisi r.a, bahwasanya Rasulullah saw. apabila takbir, beliau mengangkat kedua tangannya sehingga sejajar dengan telinganya. (H.R. Ahmad dan Muslim Dari Malik bin Al Huwairits).

3.    عَنْ مَالِكِ بْنِ الْحُوَيْرِثِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا كَبَّرَ رَفَعَ يَدَيْهِ حَتَّى يُحَاذِيَ بِهِمَا أُذُنَيْهِ. (ر. أحمد و مسلم).

4.    Dari al-Barrai r.a, bahwasanya Rasulullah saw. apabila memulai shalatnya, ia mengangkat kedua tangannya mendekati kedua telinganya. (H.R. Abu Daud Dari Al Bara bin Azib).

4.    عَنِ الْبَرَّاءِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا افْتَتَحَ الصَّلاَةَ رَفَعَ يَدَيْهِ إِلَى قَرِيْبٍ مِنْ أُذُنَيْهِ. (ر. أبو داود).

Kesimpulan :
Mengangkat kedua tangan pada takbir itu tinggi, yaitu kedua tangan diangkat sehingga sejajar dengan pundak dan ujung jari sejajar dengan daun telinga dengan kedua tangan didekatkan ke telinga. Dengan demikian keterangan-keterangan di atas diamalkan secara bersamaan (istinbat dengan cara thariqotul jam’i)

5.    Dari Abu Hurairah r.a, ia mengatakan bahwasanya Nabi saw. apabila takbir untuk shalat, ia tidak merapatkan jari-jari tangannya. (H.R. At Tirmidzi).

5.    عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ :أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا كَبَّرَ لِلصَّلاَةِ نَشَرَ أَصَابِعَهُ. (ر. الترمذى).





*****  bersambung  *****










كيفية الصّلاة
KAIFIYAH S H A L A T
(Bagian Ke-3)

A.    Waktu Mengangkat Tangan dan Takbir

Tentang mengangkat tangan dan ucapan takbir terdapat tiga contoh Nabi saw.

Pertama : Mengangkat tangan lebih dahulu daripada takbir

1.  Dari Ibnu Umar r.a, ia mengatakan,”Keadaan Rasulullah saw. apabila berdiri memulai shalatnya, Ia mengangkat kedua tangannya sehingga sejajar dengan kedua pundaknya kemudian mengucapkan Alloohu Akbar”. (HR. Muttafaq ‘Alaih).

1.  عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ : كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَامَ إِلَى الصَّلاَةِ رَفَعَ يَدَيْهِ حَتَّى يَكُوْنَا بِحَذْوِ مَنْكِبَيْهِ ثُمَّ كَبَّرَ . (متّفق عليه)

KeduaMengucapkan takbir lebih dahulu daripada mengangkat kedua tangan.

2.  Dari Abu Qilabah bahwa ia melihat Malik bin Al-Huwairis apabila shalat ia takbir lalu mengangkat kedua tangannya. (HR. Muslim).

2.  عَنْ أَبِي قِلاَبَةَ أَنَّهُ رَأَى مَالِكَ بْنَ الْحُوَيْرِثِ : إِذَا صَلَّى كَبَّرَ ثُمَّ رَفَعَ يَدَيْهِ ... (ر. مسلم).

Ketiga  : Mengangkat tangan bersamaan dengan ucapan takbir ( Muqarranah )

3.  Dari Wail bin Hujr, sesungguhnya ia melihat Rasulullah saw. mengangkat kedua tangannya bersamaan dengan ucapan takbirnya. (HR. Ahmad dan Abu Daud).

3. عَنْ وَائِلِ بْنِ حُجْرٍ أَنَّهُ رَأَى رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَرْفَعُ يَدَيْهِ مَعَ التَّكْبِيْرِ.(ر. أحمد وأبو داود)
Keterangan :
Kebanyakan ulama menyatakan lebih cenderung untuk mengamalkan cara yang ketiga, yaitu yang muqarranah. Mereka berpendapat demikian karena pada muqarranah didapatkan beberapa keutamaan, antara lain dinyatakan oleh Imam Asy-Syaukani pada kitab Nailul Authar Juz 2 hal 185, yaitu secara bersamaan terikuti oleh makmum yang tidak melihat atau tidak mendengar bacaan imam.

B.    Tempat Mengangkat Tangan

1.  Dari Salim bin Abdullah dari bapaknya menerangkan,”Sesungguhnya Rasulullah saw. mengangkat kedua tangannya sejajar dengan kedua pundaknya apabila ia memulai shalat dan apabila takbir untuk ruku’, serta apabila mengangkat kepala dari ruku, beliau mengangkat kedua tangannya seperti itu juga.”(HR. Al-Bukhari).

1.  عَنْ سَالِمٍ عَنْ أَبِيْهِ قَالَ : أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَرْفَعُ يَدَيْهِ حَذْوَ مَنْكِبَيْهِ إِذَا افْتَتَحَ الصَّلاَةَ وَإِذَا كَبَّرَ لِلرُّكُوْعِ وَإِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ الرُّكُوْعِ رَفَعَهُمَا كَذَلِكَ أَيْضًا . (ر. البخارى)

2.  “Adalah Rasulullah saw. apabila berdiri dari dua raka’at (setelah tahiyyat yang pertama) beliau bertakbir dan mengangkat kedua tangannya.”(HR. Abu Daud dan dishahihkan oleh Al-Bukhari).

2.  كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَامَ مِنَ الرَّكْعَتَيْنِ كَبَّرَ وَرَفَعَ يَدَيْهِ ...(ر. أبو داود وَصَحَّحَهُ الْبُخَارِىُّ)

3.  Dari Ali bin Abu Thalib dari Rasulullah saw. bahwa apabila berdiri shalat wajib, beliau bertakbir dan mengangkat kedua tangannya sejajar dengan bahunya, beliau melakukan seperti itu ketika selesai qiraatnya apabila hendak ruku. Dan melakukan lagi apabila bangkit dari ruku, dan tidak melakukan demikian pada shalatnya ketika duduk. Lalu apabila bangkit dari dua raka’at beliau mengangkat kedua tangannya.” (HR. Ahmad, Abu Daud, dan At Tirmidzi).

3.  عَنْ عَلِىِّ بْنِ أَبِى طَالِبٍ رَضِيَ اللهُ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ كَانَ إِذَا قَامَ إِلَى الصَّلاَةِ الْْمَكْتُوْبَةِ كَبَّرَ وَرَفَعَ يَدَيْهِ حَذْوَ مَنْكِبَيْهِ وَيَصْنَعُ مِثْلَ ذَالِكَ إِذَا قَضَى قِرَاءَتَهُ وَإِذَا أَرَادَ أَنْ يَرْكَعَ، وَيَصْنَعُهُ إِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ الرُّكُوْعِ وَلاَ يَرْفَعُ فِى شَيْئٍ مِنَ صَلاَتِهِ وَهُوَ قَاعِدٌ ، وَإِذَا قَامَ مِنَ السَّجْدَتَيْنِ رَفَعَ يَدَيْهِ كَذَالِكَ.(ر.أحمدوأبوداود والترمذى)

 

 

 

C.     Kaifiyat Memegangkan tangan kanan di atas tangan kiri


1.  Dari Abu Hazim dari Sahl bin Saad, ia berkata, “Keadaan orang-orang diperintah agar menyimpan tangan kanan di atas hasta kirinya. Dan Abu Hazim berkata, ‘Dan saya tidak mengetahui hal itu selain datang dari Nabi saw. (marfu)”. (H.R. Ahmad dan Al Bukhari).

1.    عَنْ أَبِي حَازِمٍ عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ قَالَ : كَانَ النَّاسُ يُؤْمَرُوْنَ أَنْ يَضَعَ الرَّجُلُ الْيَدَ الْيُمْنَى عَلَى ذِرَاعِهِ الْيُسْرَى فِى الصَّلاَةِ, قَالَ أَبُوْ حَازِمٍ : وَلاَ أَعْلَمُهُ إِلاَّ يَنْمِيْ ذَلِكَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. (ر. أحمد و البخارى).
 
2.  Dari Ibnu Masud bahwa ia pernah shalat dan menyimpan tangan kiri di atas tangan kanannya, maka hal itu terlihat oleh Rasulullah saw. Maka Rasulullah saw. menyimpan tangan kanan di atas tangan kirinya. (H.R. Abu Daud, An Nasai, dan Ibnu Majah).

2.    فَوَضَعَ يَدَهُ الْيُسْرَى عَلَى الْيُمْنَى فَرَآَهُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَوَضَعَ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى الْيُسْرَى. (ر. أبو داود والنسائى وابن ماجة).

Jika diperhatikan, ternyata banyak cara yang dilakukan, antara lain ada yang memegangkan tangan kanan di atas tangan kiri di tengah-tengah hasta, ada yang di sikut, ada pula pada pergelangan tangannya, bahkan ada juga yang sekedar menempelkan tangan kanan pada tangan kirinya bukan memegangkan.
Dalam hal ini perlu dicari kejelasan, apakah yang dimaksud itu seluruhnya atau bagian tertentu dari hasta, karena makna hasta adalah dari ujung jari sampai sikut.
Kemudian tentang kata-kata wadha’a yang bermakna menyimpan.
Dalam hal ini kata wadha’a tidak diartikan menyimpan tetapi bermakna memegangkan. Hal ini sebagaimana diterangkan oleh Imam Asy-Syaukani bahwa kawan-kawan Imam Asu-Syafi’i menegaskan :

3.  Ia memegangkan tangan kanan kepada tangan kiri, sebagian pergelangan serta sa’idnya (bagian tangan dekat pergelangan).

3.    وَيُقْبِضُ بِكَفِّهِ الْيُمْنَى كَوْعَ الْيُسْرَى وَبَعْضَ رُسْغِهَا وَسَاعِدِهَا.

4.  Dari Wail bin Hujr, bahwa ia melihat Nabi saw. mengangkat kedua tangannya ketika mulai shalat kemudian melipatkan lengan bajunya dan menyimpan tangan kanan di atas tangan kirinya…” (H.R. Ahmad dan Muslim. Di dalam riwayat lain dari Ahmad dan Abu Daud dikatakan, “Kemudian ia menyimpan tangan kanan di atas tangan kiri, pergelangan, dan sa’id (bagian lengan dekat pergelangannya)”.

4.    عَنْ وَائِلِ بْنِ حُجْرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّهُ رَأَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَفَعَ يَدَيْهِ حِيْنَ دَخَلَ فِي الصَّلاَةِ وَكَبَّرَ ثُمَّ الْتَحَفَ بِثَوْبِهِ ثُمَّ وَضَعَ الْيُمْنَى عَلَى الْيُسْرَى... (ر. أحمد و مسلم) وَفِى رِوَايَةِ ِلأَحْمَدَ وَأَبِي دَاوُدَ, ثُمَّ وَضَعَ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى كَفِّهِ الْيُسْرَى وَالرُّسْغِ وَالسَّاعِدِ.

Pada hadits lain masih dari Sahabat Wail bin Hujr diterangkan :

5.  Ia (Nabi saw.) menyimpan tangan kanan di atas punggung telapak tangan kirinya dekat dari pergelangannya.(HR. Ath-Thabrani)

5.    وَضَعَ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى ظَهْرِالْيُسْرَى فِي الصَّلاَةِ قَرِيْبًا مِنَ الرُّسْغِ .(ر. الطبراني)

Adapun yang tidak memegangkan tangan dilakukan oleh sebagian pengikut madzhab Maliki : Khalifah Al-Mansur memukul kedua tangannya hingga lumpuh. (Ad-Din al-Khalis 2 : 221)



*****  bersambung  *****





كيفية الصّلاة
KAIFIYAH S H A L A T
(Bagian Ke-4)

POSISI  BERSEDEKAP


Tentang meletakkan tangan setelah takbiratul ihram banyak sekali praktek yang telah kita saksikan. Hal ini tidak terlepas dari dalil-dalil yang dijadikan landasan pengamalannya yang bermacam-macam. Ada yang menerangkan di bawah pusar, ada yang diatas pusar atau ada yang di atas dada atau di atas dada dekat leher, bahkan ada yang di samping kiri seolah-olah menutup bagian lambung kiri.

Dari Abu Ju’fah, bahwa Ali r.a, berkata,”Sunat menyimpan telapak tangan (kanan) di atas telapak tangan (kiri) dalam shalat di bawah pusar”. (HR. Abu Daud-Sunan Abu Daud 1 : 201 no. 756 - Aun Al Ma’bud 2 : 255).

عَنْ أَبِي جُحْفَةَ أَنَّ عَلِيًّا رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : اَلسُّنَّةُ وَضْعَ الْكَفِّ عَلَى الْكَفِّ فِى الصَّلاَةِ تَحْتَ السُّرَّةِ . (ر. أبو داود).
Keterangan :

Hadits tersebut dhaif ( lemah) sebab pada sanadnya terdapat rawi yang bernama Abdurrahman bin Ishaq. Tentang rawi ini, Ahmad bin Hanbal dan Abu Hatim menyatakan bahwa Abdurrahman bin Ishaq ini termasuk munkarul hadits. Sedangkan Al Bukhari menyatakan,”Rawi ini (fihi nazhor) terdapat kritikan”. Sedangkan Imam An Nawawi menyatakan,”Rawi ini dhaif berdasarkan kesepakatan (para ahli)”. Menurut Al Baihaqi, “Dia itu Matruk”, dan menurut Al Nawawi,”Ia dhaif”.

Dalam hadits lain diterangkan  :

Dari Wail bin Hujr, ia berkata ; Abu Hurairah berkata,”Meletakkan kaf di atas kaf  dalam shalat di bawah pusar”. (HR. Abu Daud- - Aun Al Ma’bud 2 : 458).

عَنْ وَائِلٍ ، قَالَ أَبُوْ هُرَيْرَةَ : أَخْذُ اْلأَكُفِّ عَلَى اْلأَكُفِّ فِى الصَّلاَةِ تَحْتَ السُّرَّةِ . (ر. أبو داود).

Keterangan :

Hadits tersebut dhaif ( lemah) sebab pada sanadnya terdapat rawi yang bernama Abdurrahman bin Ishaq. Tentang rawi ini telah dijelaskan di atas. Maka hadits (atsar) ini dhaif.
 
Dari Thawus, ia berkata,”Rasulullah saw. menyimpan tangan kanannya di atas tangan kirinya, kemudian mengokohkan/ menekannkan antar keduanya di atas dadanya sedang beliau dalam shalat.” (HR. Abu Daud- - Aun Al Ma’bud 2 : 460).

عَنْ طَاوُسٍ قَالَ : كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَضَعُ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى يَدِ الْيُسْرَى ثُمَّ يَشُدُّ بَيْنَهُمَا عَلَى صَدْرِهِ وَهُوَ فِى الصَّلاَةِ . (ر. أبو داود).

Keterangan :
Dalam kitab Aun Al Ma’bud dinyatakan,”Fala ‘aiba fihi ghaira annahu mursal (tidak ada celaan pada hadits itu, hanya saja ia mursal )”.


Tentang meletakkan tangan setelah takbiratul ihram ini, Al Allamah Abi Thayyib Muhammad Syamsul Haq menyatakan dalam kitabnya ‘Aun Al Ma’bud, bahwa ,” Ada dua hadits yang shahih :

Pertama  :

Saya melihat Rasulullah saw menoleh ke kanan dan ke kirinya, dan saya melihatnya menyimpan ini (tangannya) di atas dada Yahya (salah seorang rawi  hadits ini) beliau mensifati (mempraktekkan) tangan kanannya di atas tangan kirinya di atas mifshal (sambungan antara telapak tangan dengan pergelangannya)-nya. (HR. Abu Daud- - Aun Al Ma’bud 2 : 460). 

رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَنْصَرِفُ عَنْ يَمِيْنِهِ وَعَنْ يَسَارِهِ وَرَأَيْتُ يَضَعُ هَذِهِ عَلَى صَدْرِهِ وَوَصَفَ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى الْيُسْرَى فَوْقَ الْمِفْصَلِ . (ر. أبو داود).





Kedua  :

Dari Wail bin Hujr, ia berkata,”Saya shalat bersama Rasulullah saw. .Maka saya melihat ia menyimpan tangan kanan di atas tangan kirinya pada/di atas dadanya.” (HR. Ibnu Khuzaimah

عَنْ وَائِلِ بْنِ حُجْرٍ قَالَ : صَلَّيْتُ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَوَضَعَ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى يَدِهِ الْيُسْرَى عَلَى صَدْرِهِ . (أخرجه إبن خزيمة)

Makna ‘Alash  Shadri (pada/di atas dada)

Kata ash-shadr artinya dada. Ada yang mengartikan di atas/pada  dada itu dengan leher, entah bagaimana jadinya karena hadits riwayat Abu daud menerangkan :

“…..Kemudian ia (Nabi) menekankan kedua tangan itu”. (HR. Abu Daud).

ثُمَّ يَشُدُّ بِهِمَا . (ر. ابو داود).


Kata-kata ‘alash shadri belum didapatkan keterangan yang lebih spesifik karena dalam pengertian kita, arti dada adalah rongga dada. Oleh karena itu marilah kita perhatikan praktek sahabat yang senantiasa melihat shalat Nabi saw.
Dari Ibnu Jarir Al Dlabi dari ayahnya, ia berkata,”Saya melihat Ali r.a, memegang tangan kirinya dengan tangan kanannya pada rusg-nya di atas pusarnya.” (HR. Abu Daud- - Aun Al Ma’bud 2 : 457).

عَنِ ابْنِ جَرِيْرٍ الضَّبِيِّ عَنْ أَبِيْهِ قَالَ : رَأَيْتُ عَلِيًّا رَضِيَ اللهُ عَنْهُ يُمْسِكُ شِمَالَهُ بِيَمِيْنِهِ عَلَى الرُّسْغِ فَوْقَ السُّرَّةِ . (ر. أبو داود).
Keterangan  :
Pada sanad hadits ini, ada Jarir Al Dhabi. Dalam Mizan al ‘Itidal diterangkan bahwa Jarir Al Dhabi itu la yu’rafu (tidak dikenal).  Tetapi, Al Hafidz berkata dalam kitabnya At Tadrib,”Al Dlabi bin Fudlail bin Ghazwan dapat diterima (maqbul) dari golongan ketiga. Karena itu Asy-Syafi’iyyah menjadikannya sebagai dalil bahwa tempat meletakkan tangan itu di bawah dada di atas pusar.

Hadits di atas menjelaskan bahwa yang dimaksud dada adalah dada bagian bawah alias ulu hati namun bukan lambung (Ikhtishar), sebab Rasulullah saw. melarang Ikhtishar dalam shalat (lihat Al Bukhari 2:482, Abu Daud 1 : 239, At Tirmidzi 2 : 482, dan An Nasai 3 : 8) . Hal ini dapat diterima karena jika dada bagian atas sudah mempunyai nama tersendiri, yaitu tsadyun (susu) dan terlalu bawahpun namanya batnun (perut). Hadits ini berderajat hasan dan benar apabila dijadikan batasan untuk kata ash shadr. Selain itu di dalam Al-Quran apabila didapatkan kata-kata ash-shadr, biasanya artinya adalah hati.Wallahu ‘alam.
 Contoh :

“Yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada (hati) manusia”. (QS. An-Naas : 5).

اَلَّذِى يُوَسْوِسُ فِى صُدُوْرِ النَّاسِ .(سورة النّاس : 5).

Pendapat Para Ulama :
Imam Asy-Syaukani berkata,” Dalam bab ini tidak ada yang lebih shahih dari hadits Wail yang telah disebutkan”. (Nail al-Authar 1 : 204).
Syekh Nashiruddin Al Albani berkata,”Meletakkannya di atas dada adalah yang diterangkan dalam sunnah. Selain itu, kalau tidak dhaif, maka tidak ada dasarnya (la ashla lah), sunnah ini yang diamalkan oleh Imam Ishaq dan Ibnu Rahawaih. (Shifat Shalat Nabi saw. : 46).

Kesimpulan :

Memegangkan tangan kanan di atas tangan kiri adalah dengan memegang pergelangan tangan kiri agar sebagian sa’id dan kaf  terpegang serta diletakkan pada dada bagian bawah alias ulu hati dengan sedikit tekanan. Bukan artinya di dada di bawah leher, karena (pertama) posisi tersebut bukan posisi yang thuma’ninah, tidak mustahil akan membuat tidak khusyu’ karena mudah kesal, (kedua), akan sulit mempraktekkan tangan kanan memegang pergelangan tangan kiri agar sebagian sa’id dan kaf  terpegang.  ( red - Wallohu ‘Alam)



*****  bersambung  *****


كيفية الصّلاة
KAIFIYAH S H A L A T
(Bagian Ke-5)

DO’A IFTITAH

Do’a Iftitah adalah do’a pembuka pada qiyam setelah takbiratul ihram dan menempatkan tangan kanan di atas tangan kiri serta menempatkannya pada ulu hati. Do’a Iftitah dibaca sebelum membaca Surat Al Fatihah. Oleh karena itu, do’a Iftitah dibaca pada setiap setelah takbiratul ihram termasuk pada shalat sunat/ taraweh (shalat malam) yang pelaksanaannya empat,empat, dan tiga raka’at.

1.  Dari Abu Hurairah r.a., ia berkata,”Rasulullah saw. itu apabila telah bertakbir (ihram) untuk shalat, ia berdiam sejenak sebelum membaca Al Fatihah. Maka saya bertanya dengan nama ayah dan ibuku ; ‘Wahai Rasulullah, apa gerangan tentang diamnya tuan antara takbir dan Al Fatihah ?, dan apa gerangan yang tuan ucapkan (baca) ?, Ia menjawab,”Aku mengucapkan do’a “Allahumma baid…”(artinya) ‘Ya Allah Tuhan kami, jauhkanlah antaraku dan kesalahan-kesalahanku sebagaimana telah Engkau jauhkan antara timur dan barat (tidak terulang), Ya Allah, bersihkanlah aku dari dosaku sebagaimana telah dibersihkannya baju putih dari noda. Ya Allah, cucilah aku dari dosa-dosaku dengan salju, air, dan embun”. (HR. Al Jama’ah kecuali At Tirmidzi).

1.  عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَبَّرَ فِى الصَّلاَةِ سَكَتَ هُنَيْهَةً قَبْلَ الْقِرَاءَةِ فَقُلْتُ : يَا رَسُوْلَ اللهِ بِأَبِى اَنْتَ وَأُمِّى أَرَأَيْتَ سُكُوْتَكَ بَيْنَ التَّكْبِيْرِ وَالْقِرَاءَةِ مَا تَقُوْلُ ؟ قَالَ : أَقُوْلُ : اَللَّهُمَّ بَاعِدْ بَيْنِى وَبَيْنَ خَطَايَايَ كَمَا بَاعَدْتَ بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ ، اَللَّهُمَّ نَقِّنِى مِنْ خَطَايَايَ كَمَا يُنَقَّى الثَّوْبُ اْلأَبْيَضُ مِنَ الدَّنَسِ ، اَللَّهُمَّ اغْسِلْنِى مِنْ خَطَايَايَ بِالْمَاءِ وَالثَّلْجِ وَالْبَرَدِ . (ر. الحماعة إلاّ الترمذى). 

2.  Dari ‘Aisyah r.a., ia berkata,”Apabila Nabi saw. membaca Iftitah pada shalatnya, ia mengucapkan ; “Subhanaka….”(artinya) ‘Maha Suci Engkau Ya Allah Tuhanku, dengan pujianMu, Maha Berkah namaMu, Maha Luhur kemulianMu dan tiada Tuhan selain Engkau “. (HR. Muslim).

2.  عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ : كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا اسْتَفْتَتَحَ الصَّلاَةَ قَالَ : سُبْحَانَكَ اَللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ وَتَبَارَكَ اسْمُكَ وَتَعَالَى جَدُّكَ وَلاَ إِلهَ غَيْرُكَ . (ر. مسلم )

3.  Sesungguhnya Umar pernah menjaharkan lafadz-lafadz ini, ia mengucapkan; “Subhanaka….”(artinya) ‘Maha Suci Engkau Ya Allah Tuhanku, dengan pujianMu, Maha Berkah namaMu, Maha Luhur kemulianMu dan tiada Tuhan selain Engkau “. (HR. Muslim).

3.  أَنَّ عُمَرَ كَانَ يَجْهَرُ بِهؤُلاَءِ الْكَلِمَاتِ يَقُوْلُ : سُبْحَانَكَ اَللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ وَتَبَارَكَ اسْمُكَ وَتَعَالَى جَدُّكَ وَلاَ إِلهَ غَيْرُكَ . (ر. مسلم )

4.  Umar kadang-kadang mengeraskan bacaan ini di depan sahabat-sahabat agar orang-orang dapat belajar, padahal sunnah (Rasul)nya tidak jahar. (Nailul Authar 2 : 203).

4.  وَجَهَرَ بِهِ عُمَرُ أَحْيَانًا بِمَحْضَرٍ مِنَ الصَّحَابَةِ لِيَتَعَلَّمَهُ النَّاسَ مَعَ أَنَّ السُّنَّةَ إِخْفَاءُهُ . (نيل الأوطار 2 : 203).

























5.  Dari Ali bin Abu Thalib r.a., ia berkata,”Rasulullah saw. itu apabila beriftitah (ba’da takbiratul ihram), beliau mengucapkan;”Wajjahtu wajhiya ….”. (artinya)’Aku hadapkan wajahku kepada Yang telah menciptakan langit-langit dan bumi, bersih murni, berserah diri, dan aku bukan orang yang menyekutukan. Sesungguhnya shalatku, ibadah sembelihanku, hidup matiku hanya milik Allah rabbul ‘alamin, tiada sekutu bagi-Nya, dan dengan yang demikianlah aku diperintah, dan aku seorang diantara yang berserah diri. Ya Allah, Engkau Maha Raja yang tiada Tuhan selain Engkau, Engkaulah Tuhanku dan aku hambaMu, aku lalim akan diri sendiri, aku mengaku dosa, maka ampunilah dosa-dosaku karena tiada yang mengampuni dosa-dosa selain Engkau. Dan tunjukilah aku kepada sebaik-baik akhlak, tiada yang akan menunjukinya selain Engkau, dan jauhkanlah dariku kejelekannya yang tidak akan menjauhkannya kecuali Engkau. Aku patuh karena semua itu di dalam kekuasaanMu dan kejelekan bukan dariMu. Aku hanya karena pertolonganMu, maha Berkah Engkau, Maha Luhur Engkau, aku memohon ampunan dan bertobat kepadaMu”. (HR. Ahmad, Muslim dan At-Tirmidzi, At-Tirmidzi menyatakan shahih pada hadits ini).

5.  عَنْ عَلِىِّ بْنِ أَبِى طَالِبٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَامَ إِلَى الصَّلاَةِ قَالَ : وَجَّهْتٌ وَجْهِيَ لِلَّذِى فَطَرَ السَّموَاتِ وَاْلأَرْضَ حَنِيْفًا مُسْلِمًا وَمَا اَنَا مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ ، إِنَّ صَلاَتِى وَنُسُكِى وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِى ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ ، لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَبِذلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ ، أَللَّهُمَّ أَنْتَ الْمَلِكُ لاَ إِلهَ إِلاَّ أَنْتَ ، أَنْتَ رَبِّى وَأَنَا عَبْدُكَ ، ظَلَمْتُ نَفْسِى وَاعْتَرَفْتُ بِذَنْبِى ، فَاغْفِرْلِى ذُنُوْبِى جَمِيْعًا فَإِنَّهُ لاَ يَغْفِرُ الذُّنُوْبَ إِلاَّ أَنْتَ، وَاهْدِنِى ِلأَحْسَنِ اْلأَخْلاَقِ لاَ يَهْدِى ِلأَحْسَانِهَا إِلاَّ أَنْتَ ، وَاصْرِفْ عَنِّى سَيِّئَهَا إِلاَّ أَنْتَ ، لَبَّيْكَ وَسَعْدَيْكَ وَالْخَيْرُ كُلُّهُ فِى يَدَيْكَ وَالشَّرُّ لَيْسَ إِلَيْكَ ، أَنَا بِكَ وَإِلَيْكَ تَبَارَكْتَ وَتَعَالَيْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوْبُ إِلَيْكَ . (ر. أحمد ومسلم والترمذى وصحّحه ) 

6.  Imam Asy-Syafi’i berkata,” Dan dengan do’a Iftitah inilah seluruhnya kami suka membacanya, dan kami perintahkan serta kami menyukainya sebagaimana yang diriwayatkan dari Rasulullah saw. , jangan dikurangi sedikitpun daripadanya, dan jadikanlah pengganti ;“ Wa ana awwalul Muslimin” dengan “Wa ana minal Muslimin”. Selanjutnya Imam Asy-Syafi’i berkata,” Maka bila seseorang menambah (do’a iftitah) atau menguranginya, maka kami membencinya”. (Al-Um 1 : 92).

6.  قَالَ الشَّافِعِيُّ : وَبِهذَا كُلِّهِ أَقُوْلُ وَآَمُرُ وَأُحِبُّ أَنْ يَأْتِيَ بِهِ كَمَا يُرْوَى عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ يُغَادِرُ مِنْهُ شَيْئًا وَيَجْعَلُ مَكَانَ وَ أَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِيْنَ وَأَنَا مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ ، (قَالَ) فَإِنْ زَادَ فِيْهِ شَيْئًا أَوْ نَقَصَهُ كَرِهْتُهُ . ( الأم 1 : 92).

7.  Dari Nafi’ bin Jubair bin Muth’im dari ayahnya, ia berkata,”Saya mendengar Rasulullah saw. membaca (do’a iftitah) dalam shalat sunat,”Allahu Akbar kabira  3X  , walhamdulillahi katsira 3X, wasubhanallahi bukratan wa ashila 3X, (dilanjutkan) Allahumma inni a’udzubika … ”(artinya) Ya Allah aku berlindung kepada-Mu dari godaan syaithan yang terkutuk, dari gangguannya, kesombongannya dan tiupannya”. (HR. Ahmad). 

7.  وَعَنْ نَافِعِ بْنِ جُبَيْرِ بْنِ مُطْعِمٍ عَنْ أَبِيْهِ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ فِى التَّطَوُّعِ : اَللهُ أَكْبَرُ كَبِيْرًا ثَلاَثَ مَرَّاتٍ ، وَالْحَمْدُ ِللهِ كَثِيْرًا ثَلاَثَ مَرَّاتٍ وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَأَصِيْلاً ثَلاَثَ مَرَّاتٍ ، اَللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوْذُ بِكَ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ مِنَ هَمْزِهِ وَنَفْثِهِ وَنَفْخِهِ . (ر. أحمد – فقه السّنه 1 : 264).


*****  bersambung  *****

كيفية الصّلاة
KAIFIYAH S H A L A T
(Bagian Ke-6)

TA’AWWUDZ / ISTI’ADZAH


Maka bila engkau hendak membaca Al-Quran, hendaklah engkau berlindung kepada Allah dari Syetan yang terkutuk. (Q.s. An-Nahl : 98).

فَإِذَا قَرَأْتَ الْقُرْآَنَ فَاسْتَعِذْ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ. (النحل : 98).

Penjelasan :
Yang masyhur adalah pendapat jumhur, bahwasanya isti’adzah tiada lain (dibaca) sebelum tilawah (membaca al-Quran untuk menolak bisikan darinya (syaithan), dan makna, idza qoro’tal quran…. , yakni apabila kamu hendak membaca. Seperti firman Allah : idz qumtum ilash shalati …. (QS. Al Maidah :6) yakni apabila kamu hendak berdiri (akan shalat). Dan yang menjadi dalil atas hal itu adalah hadits-hadits dari Rasulullah saw. tentang hal itu. (Tafsir Ibnu Katsir 1 : 3).

 

Tentang Ta’awwudz sebelum Al-Fatihah




1.    Dari Abu Said Al-Khudri r.a. dari Nabi saw. bahwa beliau bila berdiri shalat membaca (doa) iftitah, kemudian membaca(yang artinya)  : Aku berlindung kepada Allah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui dari syetan yang terkutuk dari setiap godaan, rayuan dan bisikannya. (H.R. Ahmad dan At-Tirmidzi).

1.    عَنْ أَبِي سَعِيْدٍ الْخُدْرِيِّ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ كَانَ إِذَا قَامَ إِلَى الصَّلاَةِ اِسْتَفْتَحَ ثُمَّ يَقُوْلُ اَعُوْذُ بِاللهِ السَّمِيْعِ الْعَلِيْمِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ مِنْ هَمْزِهِ وَنَفْخِهِ وَنَفْثِهِ . (ر. أحمد والترمذى).


2.    Ibnul Mundir berkata, “Telah diriwayatkan dari Nabi saw. –diriwayatkan melalui Ibnu Mas’ud- bahwasanya beliau membaca sebelum Al-Fatihah(yang artinya)  “Aku berlindung dari syetan yang dilaknat.”. Ini adalah lafadz ta’awwudz pilihan jumhur ulama, karena termasuk lafadz kitabullah (Tafsir Al-Munir 1 : 44).

2.    قَالَ ابْنُ الْمُنْذِرِيِّ جَاءَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  - فِيْمَا رَوَاهُ ابْنُ مَسْعُوْدٍ- أَنَّهُ كَانَ يَقُوْلُ قَبْلَ الْقِرَاءَةِ : أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ .وَهَذَا اللَّفْظُ هُوَ الَّذِى عَلَيْهِ جُمْهُوْرُ الْعُلَمَاءِ فِى التَّعَوُّذِ ، ِلأَنَّهُ لَفْظُ كِتَابِ اللهِ . 

 

Makna A’udzu Billahi minasy-syaithanirrajim adalah meminta perlindungan kepada Allah dari syaithan yang dirajam, supaya Dia menjagaku dalam urusan agamaku dan urusan duniaku, atau menghalangiku dari mengerjakan sesuautu yang tidak diperintahkannya, atau mencegahku untuk mengerjakan sesuatu yang dilarang darinya, karena seungguhnya syaithan tidak dapat menjauhkan dirinya dari manusia kecuali oleh Allah. (Ibnu Katsir 1 : 15, Umdatu Tafsir 1 : 35, Shafwatu Tafasir 1 : 23, dan Al Munir 1 : 44).

 

Sedangkan makna Ar-Rojim adalah melempari dengan batu, namun bisa bermakna membunuh, melaknat, menjauhkan, dan mencaci. Dan telah dikatakan itu semua dalam firman-Nya : QS. As-Syu’ara : 116, QS. Maryam : 46. (Tafsir Al-Qurtubi 1 : 64, Al Fakhrur-Razy 1 : 50).


Maka syaithan dirajam, karena dia dilaknat dan dijauhkan dari rahmat Allah Azza Wajalla. (Rawai’ul Bayan 1 : 18).

فَالشَّيْطَانُ مَرْجُوْمٌ ِلأَنَّهُ مَلْعُوْنٌ وَمَطْرُوْدٌ مِنْ رَحْمَةِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ.



















 

Dari Abu Dzar, ia berkata : Aku masuk mesjid dan Rasulullah saw. berada di dalamnya. Lalu aku datang dan duduk di hadapannya. Beliau berkata,”Wahai Abu Dzar ! berlindunglah kepada Allah dari kejahatan syaithan-syaithan dari jenis jin dan manusia. “ . Aku bertanya,:memangnya ada syaithan dari jenis manusia ?.Beliau menjawab,”Ya benar “.(HR. An-Nasai 2 : 319 dan Ahmad 5 : 178-179).

عَنْ أَبِي ذَرٍّ قَالَ : دَخَلْتُ الْمَسْجِدَ وَرَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيْهِ فَجِئْتُ فَجَلَسْتُ إِلَيْهِ فَقَالَ : يَا أَبَا ذَرٍّ تَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شَرِّ شَيَاطِيْنِ الْجِنِّ وَاْلإِنْسِ !، قُلْتُ : أَوَ ِلْلإِنْسِ شَيَاطِيْنُ ؟ ، قَالَ : نَعَمْ .


Lafadz-Lafadz Ta’awwudz



1.    Dari Abu Said Al-Khudri r.a. dari Nabi saw. bahwa beliau bila berdiri shalat membaca (doa) iftitah, kemudian membaca(yang artinya) ,” Aku berlindung kepada Allah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui dari syetan yang terkutuk dari setiap godaan, rayuan dan bisikannya.” (H.R. Ahmad dan At-Tirmidzi).

1.    عَنْ أَبِي سَعِيْدٍ الْخُدْرِيِّ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ كَانَ إِذَا قَامَ إِلَى الصَّلاَةِ اِسْتَفْتَحَ ثُمَّ يَقُوْلُ اَعُوْذُ بِاللهِ السَّمِيْعِ الْعَلِيْمِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ مِنْ هَمْزِهِ وَنَفْخِهِ وَنَفْثِهِ . (ر. أحمد والترمذى).


2.    Ibnul Mundir berkata, “Telah diriwayatkan dari Nabi saw. bahwasanya beliau membaca sebelum Al-Fatihah (yang artinya)  “Aku berlindung dari setan yang dilaknat.”

2.    قَالَ ابْنُ الْمُنْذِرِيِّ جَاءَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ كَانَ يَقُوْلُ قَبْلَ الْقِرَائَةِ : أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ .


3.    Dari Abu Sa’id Al-Khudriy, sesungguhnya Rasulullah saw. mengucapkan,” Aku berlindung dari dari syetan yang terkutuk.”(HR. Abdurrazaq 2 : 86).

3.    عَنْ أَبِي سَعِيْدٍ الْخُدْرِيِّ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقُوْلُ قَبْلَ الْقِرَاءَةِ : أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ. (ر. عبد الرزاق).


4.    Dari Ibnu ‘Umar, bahwa keadaan ia berta’awwudz, ia mengucapkan (yang artinya)  “Aku berlindung dari dari syetan yang terkutuk atau Aku berlindung kepada Allah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui dari syetan yang terkutuk.”(HR. Ibnu Abi Syaibah 1 : 286).

4.    عَنْ ابْنِ عُمَرَ كَانَ يَتَعَوَّذُ يَقُوْلُ : أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ أَوْ أَعُوْذُ بِاللهِ السَّمِيْعِ الْعَلِيْمِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ. (ر. ابن أبى شيبة).

Isti’adzah hukumnya sunat menurut jumhur ulama dalam setiap akan qira’ah (membaca Al Quran) di luar shalat. Dan mereka juga sepakat, bahwa ta’awwudz bukan bagian dari Al-Quran dan tidak termasuk salah satu ayat darinya. Tapi hanya ucapan Qory (yang membaca Al Quran). (Al Qurtubi 1 : 62).



*****  bersambung  *****








كيفية الصّلاة
KAIFIYAH S H A L A T
(Bagian Ke-7)

SURAT AL-FATIHAH


Surat ini turun di Mekkah, memiliki tujuh ayat, dua puluh lima kalimat, dan seratus tiga belas huruf (Ibnu Katsir 1 : 8).

Tentang Nama, Lafazd dan Cara Membaca Al-Fatihah.
Surat Al Fatihah memiliki beberapa nama lain, yaitu :
1.     Fatihatul Kitab. Dinamai Fatihatul Kitab, karena Al Quranul Karim ini dimulai dengan surat Fatihah, yang artinya Pembuka. Penyusunan surat dalam Al Quran bukan ditentukan oleh sebab turunnya ayat terlebih dahulu, akan tetapi sudah ditentukan oleh Nabi Muhammad saw. berdasarkan wahyu dari Allah swt.
2.     Ummul Kitab, yang berarti induk Al Quran, karena surat ini mencakup aspek global bagi Al Quran; seperti di dalamnya terdapat pujian bagi Allah Azza wa Jalla, penetapan tauhid, perintah ibadah serta larangan, permintaan hidayah serta ketetapan iman, menceritakan kisah umat-umat terdahulu, dan lain sebagainya.  
3.     As Sab’ul Matsani, yang berarti tujuh ayat yang diualng, karena surat ini memiliki tujuh ayat yang selalu diualng-ulang dalam shalat.  
4.     Alhamdulillahi Rabbil ‘Alamin, karena Nabi saw. sendirilah yang pernah menyebut hal itu. Beliau berkata kepada Abu Sa’id Al Mu’alla,”(artinya) Pastilah aku ajarkan kepadamu satu surat yang paling agung dalam Al Quran. Beliau bersabda :”Alhamdulillahi Rabbil ‘Alamin, dia adalah As Sab’ul Matsani dan Al Quranul ‘Azhim yang diberikan Allah kepadaku”. (Fathul Bari 9 : 5).  
5.        Al Quranul ‘Azhim
11.   As Shalat
6.    Ummul Quran
12.   Ar Ruqyah 
7.    As Syifa
13.   Ash Syukru
8.    Al Kafiyah
14.   Al Kanzu
9.    Al Wafiya
15.   Ad Du’a
10.   Al Asas
16.   Asy Syafiyah. (Fathul Bari 8 : 198, Ash Shabuni 1 : 14, Al Qurtubi 1 : 111-113).

a.   Dari ‘Aisyah r.a, ia mengatakan,”adalah Rasulullah saw. memulai shalatnya dengan takbir dan (memulai) bacaannya dengan Al-Hamdu Lillahi Rabbil ‘Alamin (Al-Fatihah). (HR. Muslim)

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَتْ : كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَفْتَتِحُ الصَّلاَةَ بِالتَّكْبِيْرِ وَالْقِرَاءَةَ بِالْحَمْدِ ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ . (ر. مسلم).

b.  Dari Abu Hurairah r.a., ia berkata, ,Rasulullah saw. bersabda,“Apabila kalian membaca (surat) Al-Hamdu, maka bacalah bismillahirrahmanirrahim karena sesungguhnya ia adalah Umul Quran, Umul Kitab dan As-Sab’ul Matsani, dan bismillahirrahmanirrahim salah satu (ayat)nya.”(HR. Ad-Daruqutni dari Abu Hurairah r.a).

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَرَأْتُمُ الْحَمْدُ ِللهِ فَاقْرَأُوْا بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ إِنَّهَا أُمُّ الْقُرْآَنِ وَأُمُّ الْكِتَابِ وَالسَّبْعُ الْمَثَانِي وَبِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ إِحْدَاهَا.(ر. الدّارقطنى).

c.   Dari Umu Salamah, ia ditanya mengenai bacaan Rasulullah saw., maka ia menjawab,”Rasulullah saw. itu tidak menyambung satu ayat dengan ayat yang lainnya; Alhamdulillahi Rabbil ‘Alamin , Arrahmanirrahim, Maliki yaumiddin ….. “.(HR. Ahmad dan Abu Daud).

عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ أَنَّهَا سُئِلَتْ عَنْ قِرَاءَةِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ كَانَ يُقَطِّعُ قِرَاءَتَهُ آَيَةً آَيَةً : بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ . اَلْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ . اَلرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ . مَالِكِ يَوْمِ الدِّيْنِ ... (أحمد و أبو داود).




















d.  Dari Qatadah r.a, ia berkata,”Anas ditanya tentang bagaimana qiraah Nabi saw. Ia menjawab,”Keadaan bacaan Nabi itu ber-mad (panjang), lalu ia membaca bismillahirrahmanirrahim, ia memanjangkan bismillah, memanjangkan arrahman dan memanjangkan arrahim.”(HR. Al Bukhari).

عَنْ قَتَادَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : سُئِلَ أَنَسٌ كَيْفَ كَانَتْ قِرَاءَةُ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ : مَدًّا ثُمَّ قَرَأَ بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ , يَمُدُّ بِسْمِ اللهِ وَيَمُدُّ بِالرَّحْمَنِ وَيَمُدُّ بِالرَّحِيْمِ . (ر. البخارى).

e.   Dari Ubadah bin Shamit, bahwasanya Nabi saw. bersabda, “Tidak ada shalat bagi yang tidak membaca Al Fatihah.” (H.R. Al-Jama’ah).

عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ . (ر. الجماعة).

KEDUDUKAN SURAT AL-FATIHAH BAGI YANG MASBUQ ( 1  )

Sikap Yang Masbuq


1.    Dari Ali bin Abi Thalib r.a, ia berkata ; telah bersabda Rasulullah saw , “ Apabila salah seorang dari kalian mau shalat dan (mendapatkan) imam dalam suatu keadaan, maka lakukanlah seperti yang dilakukan oleh imam “. ( HR. At- Tirmidzi )

1.    عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِيْ طَالِبٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِذَا اَتَى اَحَدُكُمُ الصَّلاَةَ وَاْلإِمَامُ عَلَى حَالٍ فَلْيَصْنَعْ كَمَا يَصْنَعُ اْلأِمَامُ . (رواه الترمذي)

2.    Dari Abu Hurairah r.a, dari Nabi saw. Ia bersabda , “ Apabila kamu mendengar iqamat , pergilah untuk shalat dan kamu mesti tenang, santai serta tidak terburu- buru, apa yang kamu dapati bersama (imam), shalatlah dan apa yang ketinggalan ( dari imam ) , maka sempurnakanlah “ . ( HR. Al- Jama’ah ) .

2.    عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: إِذَا سَمِعْتُمُ اْلإِقَامَةَ فَامْشُوْا إِلَى الصَّلاَةِ وَعَلَيْكُمُ السَّكِيْنَةُ وَالْوِقَارُ وَلاَ تُشْرِعُوْا فَمَا اَدْرَكْتُمْ فَصَلُّوْا وَمَا فَاتَكُمْ فَأَتِمُّوْا . ( رواه الجمعة )

3.    Dari seorang laki-laki dari Ahli Madinah dari Nabi saw., ia bersabda,” Barangsiapa yang mendapatiku sedang ruku’ atau berdiri atau sujud, maka ikutilah dalam keadaan yang aku sedang lakukan”. (HR. Ibnu Abi Syaibah : 2601, Said bin Manshur – Fathur Bariy 2 : 521).

3.    عَنْ رَجُلٍ مِنْ اَهْلِ الْمَدِيْنَةِ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : مَنْ وَجَدَنِى رَاكِعًا اَوْ قَائِمًا اَوْ سَاجِدًا فَلْيَكُنْ مَعِيْ عَلَى حَالِي الَّتِى اَنَا عَلَيْهَا . (إبن أبى شيبة ، سعيد بن منصور – فتح البارى 2 : 521). 

4.    Dari Ibnu Umar dan Zaid bin Tsabit r.a, keduanya berkata,” Jika seseorang mendapati satu kaum sedang ruku’, maka cukup baginya satu kali takbir”. (HR. Ibnu Abi Syaibah : 2505)

4.    عَنِ ابْنِ عُمَرَ وَزَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالاَ : إِذَا اَدْرَكَ الرَّجُلُ الْقَوْمَ رُكُوْعًا فَإِنَّهُ يُجْزِئُهُ تَكْبِيْرَةٌ وَاحِدَةٌ . (إبن أبى شيبة : 2505).

5.    Bahwa sesungguhnya Abu Bakrah, ia telah datang untuk shalat bersama Nabi saw, sedang Nabi dalam keadaan ruku’ sebelum sampai menuju shaf, hal itu disampaikan kepada Nabi, maka Nabi bersabda, “Semoga Allah menambah kesungguhanmu, tetapi jangan kamu ulangi lagi”. (H.R. Al Bukhari)

5.    إِنَّ اَبَا بَكْرَةَ اِنْتَهَى اِلَى النَّبِيِّ  صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ رَاكِعٌ فَرَكَعَ قَبْلَ اَنْ يَصِلَ اِلَى الصَّفِّ فَذُكِرَ ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ : زَادَكَ اللهُ حِرْصًا وَلاَ تُعِدْ . (البخارى)

*****  bersambung  *****
كيفية الصّلاة
KAIFIYAH S H A L A T
( Bagian Ke-8 )

KEDUDUKAN SURAT AL-FATIHAH BAGI YANG MASBUQ ( 2  )



Batasan Mendapat Raka’at Bagi Yang Masbuq ” Ketinggalan Qiyam dan Bacaan Al Fatihah tidak dihitung mendapat satu raka’at “


1.    Dari Qatadah, bahwa Nabi saw. membaca fatihah pada setiap raka’at . ( HR. At-Tirmdzi ).

1.    عَنْ قَتَادَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقْرَأُ فِى كُلِّ رَكْعَةٍ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ . (رواه الترمذي )

2.    Dari Abu Hurairah r.a, bahwasanya Nabi saw bersabda, “ Jika engkau mendapatkan suatu kaum sedang ruku ‘ , maka tidak terhitung raka’at  tarsebut “. (HR. Al- Bukhori ).

2.    عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ اَنَّهُ قَالَ : إِنْ اَدْرَكْتَ الْقَوْمَ رُكُوْعًا لَمْ تَعْتَدَّ بِتِلْكَ الرَّكْعَةِ . ( رواه البخاري )

3.    Dari Abu Hurairah r.a, bahwasanya Nabi saw  bersabda, “ Barang siapa yang mendapatkan imam sedang ruku ‘ , maka rukulah bersamanya dan ulangi raka’at itu “ . ( HR. At-Tirmidzi begitu pula pada riwayat Ibnu Khuzaimah ) .

3.    عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ اَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : مَنْ اَدْرَكَ اْلإِمَامَ فِى الرُّكُوْعِ فَلْيَرْكَعْ مَعَهُ وَالْيُعِدِ الرَّكْعَةَ . (رواه الترمذي )

Keterangan :

a.     Menurut Imam Al Hafidz ( Ibnu Hajar Al Asqalani ) dalam kitab Fathul Barri , ia berkata , “ Dijadikan dalil atau alasan atas itu ( hadits – hadits tersebut ) , bahwa orang yang  mendapatkan imam sedang ruku’ tidak di hitung raka’at baginya , karena ada perintah untuk menyempurnakan ( mengulangi ) apa yang terlewatkan , dan sesungguhnya ia terlewatkan / ketinggalan berdiri (qiyam ) dan membaca fatihah pada raka’at itu ). ( Fathul Barri II : 99 dan Nailul Authar II : 229 ) .

أ‌.       قَالَ اْلأِمَامُ الْحَافِظُ فِى الْفَتْحِ : قَدِاسْتُدِلَّ بِهِمَا عَلَى اَنَّ مَنْ اَدْرَكَ اْلإِمَامَ رَاكِعًا لَمْ يَحْتَسِبْ لَهُ تِلْكَ الرَّكْعَةَ ِلْلاَمْرِ بِاِتْمَامِ مَا فَاتَهُ ِلأَنَّهُ فَاتَهُ الْقِيَامُ وَالْقِرَاءَةُ بِهِ . ( فتح البارى 2:99- نيل الأوطار 2: 229)

b.    Inilah Muhammad bin Ismail Al Bukhori , salah seorang Mujtahid dan tokoh agama , beliau berpendapat bahwa mendapatkan ruku’  ( bersama – sama dengan imam ) tidak di hitung mendapat raka’at, sampai ia membaca Fatihah kitab ( dengan sempurna) , maka ia mesti mengulang lagi raka’at itu ( yang tidak sempat membaca Fatihah ) setelah imam salam . ( ‘aunul – Ma’bud III : 152 )  

ب‌.  فَهَذَا مُحَمَّدُ بْنُ اِسْمَاعِيْلَ الْبُخَارِيِّ اَحَدُ الْمُجْتَهِدِيْنَ وَوَاحِدٌ مِنْ اَرْكَانِ الدِّيْنِ قَدْ ذَهَبَ اِلَى اَنَّ مُدْرِكًا لِلرُّكُوْعِ لاَيَكُوْنُ مُدْرِكًا ِللرَّكْعَةِ حَتَّى يَقْرَأَ فَاتِحَةَ الْكِتَابِ فَمَنْ دَخَلَ مَعَ اْلإِمَامِ فِى الرُّكُوْعِ فَلَهُ اَنْ يَعْضِيَ تِلْكَ الرَّكْعَةَ بَعْدَ سَلاَمِ اْلإِمَامِ . ( عون المعبود 3: 152).







Tambahan :

Pendapat Imam As Syaukani dalam kitab Nailul Authar II : 226 ketika menerangkan kedudukan Al Fatihah  di dalam shalat , beliau menerangkan : “ Anda telah tahu dari ( pembahasan ) yang lalu wajibnya membaca Al Fatihah bagi setiap individu imam dan makmum dalam setiap raka’at . Dan telah di beritahukan kepada anda bahwa dalil – dalil itu shahih ( benar ) untuk dijadikan hujjah bahwa bacaan Al Fatihah  termasuk syarat sah shalat. Dan siapa yang berkeyakinan bahwa sahnya shalat – shalat atau raka’at –raka’at tanpa Fatihatul Kitab ia harus menunjukan dalil yang terang yang mengecualikan dalil itu . Maka dari sini nyatalah untuk anda kelemahan pendapat ulama Jumhur ( yang menyatakan ) siapa yang sedang mendapatkan imam sedang ruku’ dan ikut ruku bersamanya , ia menghitung raka’at itu walaupun tidak mendapatkan qira’ah sedikitpun ( Al Fatihah ).
Keterangan Imam As Syaukani ini sesuai dengan perintah Rasulullah  saw . kepada  Al Musiu’ shalatuhu ( orang yang jelek shalat nya – Khalal bin Rafa’ ) setelah beliau menerangkan secara rinci tentang apa yang disebut raka’at, baik Al Fatihah , ruku’ , berdiri I’tidal setelah ruku’ , sujud , duduk antara dua sujud , beliau bersabda :

“ Lalu kerjakanlah yang demikian itu pada shalat seluruhnya “. ( HR. Muttafaq ‘Alaihi ).

" ثُمَّ افْعَلْ ذَلِكَ فِى الصَّلاَةِ كُلِّهَا ".

Bahkan pada riwayat Ahmad , Ibnu Hiban dan Al Baihaqi menggunakan kata – kata :

“ Lalu kerjakanlah yang demikian itu pada setiap raka’at”

" ثُمَّ افْعَلْ ذَلِكَ فِى كُلِّ رَكْعَةٍ "



Rounded Rectangular Callout: Kesimpulan  :

Apabila seorang makmum yang menyusul imam (masbuq) dalam posisi apapun dan ia tertinggal Al-Fatihah sejak awal, maka ia wajib mengulangi raka’at yang ketinggalan Al-Fatihah itu.
 










*****  bersambung  *****















كيفية الصّلاة
KAIFIYAH S H A L A T
( Bagian Ke-9 )


TA’MIN ( UCAPAN AAMIIN )

Lafadz “ Aamiin “ diucapkan didalam dan diluar shalat. Di luar shalat “ Aamiin “ diucapkan oleh orang yang berdo’a atau yang mendengar do’a orang lain.
Aamiin termasuk isim fi’il amr, yaitu isim yang mengandung pekerjaan dan perintah. Para ulama Jumhur mengartikannya dengan “ Allaahumma Istajib “ (Ya Allah ijabahlah).
Membaca “ Aamiin “ adalah dengan memanjangkan “ A “-nya dan memanjangkan “ Min “.
Di dalam shalat “ Aamiin “ diucapkan mengikuti qiraah ( Al Fatihah), yaitu dibaca jahar pada qiraah yang jahar dan dibaca sir pada qiraah yang sir dan “ Aamiin “ diucapkan setelah ucapan“ Ghairil magdhubi ‘alaihim waladh-dhallin”.  

Imam Mengucapkan Aamiin

Dari Sahabat Wail bin Hujr r.a, ia berkata; Saya mendengar Nabi saw. membaca “ Ghairil magdhubi ‘alaihim waladh-dhallin”, maka ia mengucapkan : ” aamiin “, Beliau memanjangkan suara padanya. (HR. Ahmad, Abu Daud, dan At Tirmidzi, Pada riwayat Abu Daud dengan kata-kata,:Beliau mengeraskan suaranya”.) 

عَنْ وَائِلِ بْنِ حُجْرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَرَأَ " وَلاَ الضَّآلِّيْنَ " فَقَالَ : آَمِيْنُ ، يَمُدُّ بِهَا صَوْتَهُ .(ر. أحمد وأبوداود والترمذى – وَزَادَ أَبُوْ دَاوُدَ : وَرَفَعَ بِهَا صَوْتَهُ )

Ucapan Aamiin Imam Lebih Rendah Dari Nyaringnya Bacaan Al Fatihah

Dari Sahabat Abu Huraerah r.a, ia mengatakan,”Keadaan Rasulullah saw. apabila membaca “Ghairil magdhubi ‘alaihim waladh-dhallin”, beliau mengucapkan “ aamiin “ sehingga memperdengarkannya pada makmum shaf pertama”. (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah), dan ia berkata,”Sehingga didengar oleh makmum pada shaf yang pertama, maka bergetarlah mesjid dengan ucapan aamiin (imam dan makmum) itu.

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ :كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا تَلاَ : "غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلاَ الضَّآلِّيْنَ " قَالَ : آَمِيْنُ ، حَتَّى يَسْمَعَ مَنْ يَلِيْهِ مِنَ الصَّفِّ اْلأَوَّلِ وَقَالَ : حَتَّى يَسْمَعَهَا أَهْلُ الصَّفِّ اْلأَوَّلِ فَيَرْتَجُّ بِهَا الْمَسْجِدُ . (ر. أبوداود وإبن ماجة)
Waktu mengucapkan Aamiin bagi Makmum

1.    Dari Sahabat Abu Huraerah r.a, ia mengatakan, Rasulullah saw. telah bersabda,”Apabila imam mengucapkan aamiin, maka ucapkanlah oleh kalian (makmum) aamiin. Maka sesungguhnya siapa yang ucapan aamiin-nya berbarengan dengan ucapan aamiin Malaikat, niscaya akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu”. (HR. Al Jama’ah).

1.    عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِذَا أَمَّنَ اْلإِمَامُ فَأَمِّنُوْا فَإِنَّهُ مَنْ وَافَقَ تَأْمِيْنُهُ تَأْمِيْنَ الْمَلاَئِكَةِ ، غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ . (ر. الجماعة) 

2.    Dari Sahabat Abu Huraerah r.a, ia mengatakan Rasulullah saw. telah bersabda,”Apabila imam mengucapkan “Ghairil magdhubi ‘alaihim waladh-dhallin”, maka ucapkanlah oleh kamu : “ aamiin “, karena para Malaikat mengucapkan “ aamiin “, demikian pula imam sedang mengucapkan “ aamiin “. Maka sesungguhnya siapa yang ucapan aamiinnya berbarengan dengan ucapan aamiin Malaikat, niscaya akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu”. (HR. Ahmad dan An Nasai).

2.    عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِذَا قَالَ اْلإِمَامُ "غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلاَ الضَّآلِّيْنَ " فَقُوْلُوْا : آَمِيْنُ ، فَإِنَّ الْمَلاَئِكَةَ يَقُوْلُوْنَ : آَمِيْنُ ، وَإِنَّ اْلإِمَامَ يَقُوْلُ : آَمِيْنُ ، فَمَنْ وَافَقَ تَأْمِيْنُهُ تَأْمِيْنَ الْمَلاَئِكَةِ ، غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ .(ر. أحمد و النّسائى)






3.    Dari Sahabat Abu Huraerah r.a, ia mengatakan, Rasulullah saw. telah bersabda,”Apabila imam mengucapkan “Ghairil maghdhubi ‘alaihim waladh-dhallin”, lalu yang dibelakangnya mengucapkan aamiin, Maka bersamaanlah ucapan aamiin-nya itu dengan ucapan para penduduk langit (Malaikat) diampuni dosa-dosanya yang telah lalu”. (HR. Muslim).

3.    عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : إِذَا قَالَ الْقَارِئُ : "غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلاَ الضَّآلِّيْنَ " فَقَالَ مَنْ خَلْفَهُ : آَمِيْنُ ، فَوَافَقَ قَوْلُهُ قَوْلَ أَهْلِ السَّمَآءِ ،غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ . (ر. مسلم)

Keterangan :

Para Ulama Jumhur menerangkan bahwa maksud “ Idza ammanal imamu fa a amminu “ adalah apabila imam hendak mengucapkan aamiin, agar terjadi kebersamaan ucapan aamiin imam dan makmum. (Nailul Authar 1 : 230).
 
Kedudukan Bacaan " Robbighfirli “  Sebelum Aamiin ?

1.    Dan disunatkan membaca “Ta’min” yaitu lafadz “Aamiin” dengan pelan(ringan) dan panjang serta bagus  menambah dengan (bacaan) “Robbighfirli” diujungnya atau diujung Al-Fatihah. (Syarah Fathul Mu’in : 18).

1.    وَيَسَنُّ (تَأْمِيْنَ) أَيْ قَوْلُ آَمِيْنَ بِالتَّحْفِيْفِ وَالْمَدِّ وَحُسْنُ زِيَادَةِ رَبِّ اغْفِرْلِى (عُقْبَهَا) أَىْ اَلْفَاتِحَةِ .

2.    Dari Wail bin Hujr, sesungguhnya ia mendengar Rasulullah saw. ketika selesai membaca ghairil maghdubi ‘alaihim waladl dlallin membaca rabbighfirli aamiin. (HR. Ath Thabrani).

2.    عَنْ وَائِلِ بْنِ حُجْرٍ أَنَّهُ سَمِعَ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِيْنَ قَالَ : غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلاَ الضَّالِّيْنَ قَالَ : رَبِّ اغْفِرْلِى آَمِيْنَ (ر. الطّبرنى)


Keterangan :
Hadits ini dhaif karena di dalam sanadnya ada seorang rawi yang bernama Ahmad bin Abdul Jabar Al Utharidi. Menurut Muhammad bin Abdullah bin Al Hadrami, “dia itu seorang pendusta (kidzib”. (Tahdzibul Kamal 1 : 380).








*****  bersambung  *****












كيفية الصّلاة
KAIFIYAH S H A L A T
( Bagian Ke-10 )

“  Q I R A A H  “

Yang dimaksud qiraah di dalam shalat adalah membaca Al-Fatihah atau dengan surat-surat lainnya. Sedangkan pada waktu ruku’ dan sujud, walaupun kita berdo’a dengan do’a yang pada ayat-ayat Alquran tetap tidak termasuk qiraah, karena qiraah hanya ada pada waktu qiyam (berdiri). Bahkan terdapat keterangan yang melarang kita melakukan qiraah pada waktu ruku’ dan sujud.
Rasulullah saw. bersabda :

“ …… ingatlah !, sesungguhnya aku dilarang membaca Alquran pada waktu ruku’ dan sujud. Adapun (pada) ruku’, maka Agungkanlah Allah Azza wa Jalla, sedangkan (pada) sujud bersungguh-sungguhlah dalam berdo’a, maka besar harapan akan diijabah untuk kamu”. (HR. Ahmad, Muslim, An-Nasai dan Abu Daud dari Ibnu Abbas).

.... أَلاَ وَإِنِّيْ نُهِيْتُ أَنْ أَقْرَأَ الْقُرْآَنَ رَاكِعًا أَوْ سَاجِدًا فَأَمَّا الرُّكُوْعُ فَعَظِّمُوْا فِيْهِ الرَّبَّ عَزَّ وَجَلَّ وَأَمَّا السُّجُوْدُ فَاجْتَهِدُوْا فِى الدُّعَاءِ فَقَمِنٌ أَوْ يُسْتَجَابَ لَكُمْ . (رواه أحمد ومسلم والنّسائى وأبو داود عن ابن عبّاس).

Qiraah pada prakteknya terdapat tiga cara, yaitu cara Jahar, Sir dan Isma’.
Jahar asal artinya keras, nyaring atau jelas (terdengar oleh yang lain).
Di dalam shalat itu ada beberapa qiraah yang dibaca atau cara membacanya dengan cara jahar (keras, nyaring atau jelas, baik oleh yang shalat munfarid maupun Imam.
Di antara shalat wajib yang dijaharkan bacaannya adalah dua raka’at awal shalat Magrib, dua raka’at awal shalat ‘Isya dan dua rakaa’t shalat Shubuh.

Dari ‘Aisyah r.a, bahwa Nabi saw. membaca (qiraah) pada shalat Magrib dengan surat Al-‘Araf dibagi dua pada dua raka’at. (HR. An-Nasai 2 : 170).

عَنْ عَائِشَةَ : أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَرَأَ فِى الْمَغْرِبِ بِسُوْرَةِ اْلأَعْرَافِ فَرَّقَهَا فِى رَكْعَتَيْنِ . (رواه النسّائى)
Dalam keterangan lain dijelaskan :

“…. Beliau membaca pada dua raka’at awal dalam shalat Magrib dengan surat yang pendek dari Mufashshal (surat-surat setelah Al-Anfal sebelum Juz Amma), serta membaca pada dua raka’at awal dalam shalat ‘Isya dengan surat yang pertengahan dari Mufashshal dan membaca pada shalat Shubuh dengan surat yang panjang dari Mufashshal”. (HR. Ahmad dan An-Nasai).

.... وَيَقْرَأُ فِى اْلأُوْلَيَيْنِ مِنَ الْمَغْرِبِ بِقِصَارِ الْمُفَصَّلِ وَيَقْرَأُ فِى اْلأُوْلَيَيْنِ مِنَ الْعِشَاءِ مِنْ وَسَطِ الْمُفَصَّلِ وَيَقْرَأُ فِى الْغَدَاةِ بِطُوْلِ الْمُفَصَّلِ  . (رواه أحمد والنّسائى)

Sedangkan di antara shalat wajib yang bacaannya Sir (tidak diperdengarkan kepada yang lain) adalah pada bacaan shalat Zhuhur dan Ashar.

1.    Dari Abu Sa’id Al-Khudriyi, sesungguhnya Nabi saw. membaca pada shalat Zhuhur pada dua raka’at awal seukuran tiga puluh ayat. Dan pada dua raka’at akhirnya seukuran lima belas ayat. Sedangkan pada raka’at Ashar pada dua raka’at awalnya tiap raka’at seukuran lima belas ayat, dan pada dua raka’at akhir kira-kira setengah daripada itu”. (HR. Ahmad dan Muslim).

1.  عَنْ أَبِي سَعِيْدٍ الْخُدْرِيِّ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْرَأُ فِى صَلاَةِ الظُّهْرِ فِى الرَّكْعَتَيْنِ اْلأُوْلَيَيْنِ فِى كُلِّ رَكْعَةٍ قَدْرَ ثَلاَثِيْنَ آَيَةً وَفِى اْلأُخْرَيَيْنِ قَدْرَ قِرَاءَةٍ خَمْسَ عَشْرَةَ آَيَةً وَفِى الْعَصْرِ فِى الرَّكْعَتَيْنِ اْلأُوْلَيَيْنِ فِى كُلِّ رَكْعَةٍ قَدْرَ خَمْسَ عَشْرَةَ آَيَةً وَفِى اْلأُخْرَيَيْنِ قَدْرَ نِصْفِ ذَالِكَ . (رواه أحمد ومسلم )  

2.    Dari Ibnu Abbas r.a, ia ditanya,” Apakah Rasulullah saw. membaca pada shalat Zhuhur dan Ashar ?”.Ia menjawab,”Tidak, tidak ! “. (HR. Abu Daud dan An-Nasai).

2.  عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ سُئِلَ : أَكَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْرَأُ فِى الظُّهْرِ وَ الْعَصْرِ ؟ ، قَالَ : لاَ،لاَ . (رواه أبو داود والنّسائى).

3.    Dari Abu Ma’mar, ia bertanya; Saya bertanya kepada Khabab,”Apakah Rasulullah saw. membaca pada shalat Zhuhur dan Ashar ?. Ia menjawab,” Ya “. Kami bertanya lagi,”Dengan apakah engkau mengetahuinya ?. Ia menjawab,” Dengan goyangan janggutnya”. (HR. Al-Bukhari : 777).

3.  عَنْ أَبِي مَعْمَرٍ قَالَ : قُلْنَا لِخَبَّابٍ أَكَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْرَأُ فِى الظُّهْرِ وَ الْعَصْرِ ؟ ، قَالَ :نَعَمْ ، قُلْنَا : بِمَ كُنْتُمْ تَعْرِفُوْنَ ذَالِكَ ؟ ، قَالَ : بِاظْطِرَابِ لِحْيَتِهِ . (رواه البحارى)
Adapun cara Isma’ adalah dengan cara memperdengarkan bacaan yang Sir dengan maksud mengajar makmum yang belum mengetahui apa yang harus dibaca.

Dari Jabir bin Abdullah r.a, ia berkata : kami suka membaca pada shalat Zhuhur dan ‘Ashar di belakang imam pada dua raka’at awal dengan surat Al-Fatihah dan surat yang lainnya, sedangkan pada dua raka’at terakhir dengan surat Al-Fatihah saja. (HR. Ibnu Majah : 843).

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ قَالَ : كُنَّا نَقْرَأُ فِى الظُّهْرِ وَ الْعَصْرِ خَلْفَ اْلإِمَامِ فِى الرَّكْعَتَيْنِ اْلأُوْلَيَيْنِ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ وَسُوْرَةٍ ، وَفِى اْلأُخْرَيَيْنِ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ . رواه إبن ماجة : 843).

Dari Abu Qatadah, bahwa keadaan Nabi saw. membaca Al-Fatihah dan dua surat pada dua raka’at pertama pada shalat Zhuhur dan (membaca) Al-Fatihah saja pada dua raka’at  yang akhir. Dan kadang-kadang beliau memperdengarkan ayat. Dan beliau memanjangkan (bacaan) pada raka’at pertama, tetapi tidak memanjangkan pada (raka’at) kedua. Demikian juga pada (shalat) ‘Ashar dan pada (shalat) Shubuh. (Muttafaq ‘Alaih – Nailul Authar 2 : 234).

عَنْ أَبِي قَتَادَةَ : أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقْرَأُ فِى الظُّهْرِ فِى اْلأُوْلَيَيْنِ بِأُمِّ الْكِتَابِ وَسُوْرَتَيْنِ وَفِى الرَّكْعَتَيْنِ اْلأُخْرَيَيْنِ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ وَيُسْمِعُنَا اْلآَيَةَ أَحْيَانًا وَيُطَوِّلَ فِى الرَّكْعَةِ اْلأُوْلَى مَالاَ يُطِيْلُ فِى الثَّانِيَةِ وَهَكَذَا فِى الْعَصْرِ وَهَكَذَا فِى الصُّبْحِ . (متّفق عليه). 

Keterangan tambahan :
Larangan mengganggu dengan memperdengarkan bacaan (bagi makmum) pada shalat yang bacaannya sir terhadap imam dan atau makmum lainnya.

1.        Dari Imran bin Khushain, sesungguhnya Nabi saw. shalat zuhur, mulailah seseorang di belakangnya membaca Sabbihismarabbikal a’la, maka ketika selesai beliau bersabda,”Siapakah di antara kamu yang membaca?.”. Orang (yang membaca) itu menjawab,”Saya.”. Rasulullah saw. bersabda,”Telah saya ketahui bahwa di antara kamu ada yang mengganggu aku dengan bacaannya”.(HR. Muttafaq ‘Alaih).

 1.   عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى الظُّهْرَ فَجَعَلَ رَجُلٌ يَقْرَأُ خَلْفَهُ بِسَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ اْلأَعْلَى فَلَمَّا انْصَرَفَ قَالَ : أَيُّكُمْ قَرَأَ أَوْ أَيُّكُمُ الْقَارِئُ ؟ فَقَالَ الرَّجُلُ , أَناَ ، فَقَالَ : لَقَدْ ظَنَنْتُ أَنَّ بَعْضَكُمْ خَالِجَنِيْهَا. (متفق عليه).

2.        Nabi saw. pernah datang kepada sahabat-sahabatnya di waktu mereka sedang shalat dengan nyaring suara bacaannya. Maka sabda Rasul : “Sesungguhnya orang yang shalat itu orang yang berbisik-bisik (berkomunikasi) dengan Tuhannya. Karena itu hendaklah ia perhatikan apa yang ia bisikkan kepada-Nya, dan janganlah sebagian dari kamu menyaringkan suara bacaannya (mengganggu) sebagian yang lain”. (H.R. Malik dan At Tirmidzi).

2.   خَرَجَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى النَّاسِ وَهُمْ يُصَلُّوْنَ وَقَدْعَلَتْ اَصْوَاتُهُمْ بِالْقِرَاءَةِ فَقَالَ : اِنَّ الْمُصَلِّيَ يُنَاجِى رَبَّهُ فَلْيَنْظُرْ بِمَا يُنَاجِيْهِ وَلاَ يَجْهَرْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَعْضٍ بِالْقُرْآَنِ . (ر. مالك و الترمذى).


3.        Dari Abi Sa’id berkata,”Rasulullah saw. I’tikaf di mesjid selanjutnya beliau mendengar mereka menjaharkan bacaan al-Quran, maka Rasulullah saw. membuka tirai dan beliau bersabda,”Ingatlah sesungguhnya setiap kamu sedang mujanat pada Tuhan-nya, maka janganlah sekali-kali sebahagian kamu mengganggu sebahagian yang lainnya dan janganlah sebahagian kamu mengeraskan bacaan Al-Quran  atau dalam shalat (ketika ada yang shalat)”. (HR. Abu Daud dan Ahmad).

3.   عَنْ أَبِي سَعِيْدٍ قَالَ : إِعْتَكَفَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِى الْمَسْجِدِ فَسَمِعَهُمْ يَجْهَرُوْنَ بِالْقِرَاءَةِ فَكَشَفَ السَّتْرَ وَقَالَ : أَلاَ إِنَّ كُلَّكُمْ مُنَاجٍ رَبَّهُ فَلاَ يُؤْذِيَنَّ بَعْضُكُمْ بَعْضًا وَلاَ يَرْفَعْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَعْضٍ فِى الْقِرَاءَةِ أَوْ قَالَ فِى الصَّلاَةِ . (أبو داود وأحمد).

كيفية الصّلاة
KAIFIYAH S H A L A T
 (Bagian Ke-11)
“  QIRAAH  MAKMUM  “

Pada bagian terdahulu telah diterangkan, wajibnya membaca Al-Fatihah baik bagi yang berjama’ah maupun munfarid, makmum maupun imam.

Tentang Qiraah Makmum telah terjadi perbedaan pendapat di kalangan para ulama. Dalam hal ini terdapat 4 (empat) pendapat :


Pendapat Pertama Menyatakan Bahwa Makmum Sama Sekali Tidak Membaca, Baik Pada Bacaan Yang Jahar Maupun Pada Bacaan Yang Sir. ( Pendapat Imam Abu Hanifah)

1.  Dari Abdullah bin Syaddad bahwa Rasulullah saw. telah bersabda,”Siapa yang mempunyai imam, maka bacaan imam baginya bacaan (juga) bacaan itu.” (HR. Ad0-Daruqutni).

1.  عَنْ عَبْدُ اللهِ بْنِ شَدَّادٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : مَنْ كَانَ لَهُ إِمَامٌ فَقِرَائَةُ اْلإِمَامِ لَهُ قِرَاءَةٌ .(رواه الدارقطنى)

Keterangan :
Hadits ini sangat lemah, karena Mursal. Abdullah bin Syaddad adalah seorang thabi’in dan meriwayatkan sabda Nabi saw. tanpa perantara dari kalangan sahabat. Ada pula hadits yang diriwayatkan oleh sahabat Jabir bin Abdullah serta sahabat lainnya(hadits no. 2 di bawah), tetapi semuanya tidak lepas dari kelemahan. Ibju Hajar Al-Asqalani mengatakan,”Hadits tersebut dhaif menurut para ulama Hafidz.” (Nailul Authar 2 : 227).

Menurut Ad-Daruqutni,”Tidak ada yang menyandarkan hadits itu dari Musa bin Abi Aisyah selain Abu Hanifah, serta Husein Ibnu Imarah, sedangkan keduanya dhaif (Ad-Daruqutniy 1 : 323).

Hadits ini (di atas) dhaif menurut Al-Bukhari dalam (kitab) Juz Alqiraah,”Ini adalah hadits yang tidak shahih menurut para ahli ilmu di Hijajz dan Iraq, karena mursal dan putus sanadnya”. (Aun al-Ma’bud 3 : 58).

2.  Dari Jabir bahwa Rasulullah saw. telah bersabda,”Siapa yang mempunyai imam, maka bacaan imam baginya bacaan (juga) bacaan itu.” (HR. Ad-Daruqutni).

2.  عَنْ جَابِرٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : مَنْ كَانَ لَهُ إِمَامٌ فَقِرَائَةُ اْلإِمَامِ لَهُ قِرَاءَةٌ .(رواه الدارقطنى)

Keterangan :
Pada nya (hadist di tas) terdapat rawi bernama Jabir dan Laits yang keduanya dhaif.(Ad-Daruqutni 1 : 331).

3.  Dari Ibnu Abbas r.a, dari Nabi saw. bersabda,”Cukup bagimu bacaan imam, baik perlahan (sir) maupun jahar”. (HR. Ad-Daruqutniy 1 : 331)

3.  عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ :تَكْفِيْكَ قِرَاءَةُ اْلإِمَامِ خَافَتَ أَوْ جَهَرَ . (رواه الدارقطنى)
Keterangan :
Hadits ini dhaif karena dalam sanadnya ada rawi bernama ‘Ashim. Dia itu tidak kuat dan (derajat) kemarfuannya tidak pasti. (HR. Ad-Daruqutniy 1 : 331)

4.  Dari Abdullah bin Syaddad bin Al-Hadi dari Jabir bin Abdillah, ia berkata,”Rasulullah saw. shalat bersama kami, dan di belakang ada seorang laki-laki membaca (Fatihah), kemudian seorang sahabat Nabi saw. melarangnya, maka ketika selesai shalat, keduanya berselisih, lalu yang seorang berkata,”Apakah kamu melarangku membaca Fatihah di belakang Rasulullah ?”. Kemudian keduanya bertengkar dan datang menghadap Rasulullah dan kemudian Rasulullah saw. bersabda,”Siapa yang shalat di belakang, maka bacaan imam merupakan bacaan bagi makmu”. (HR. Ad-Daruqutni 1 : 325). 

4.  عَنْ عَبْدُ اللهِ بْنِ شَدَّادِ الْهَادِ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ قَالَ : صَلَّى بِنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَخَلْفَهُ رَجُلٌ يَقْرَأُ فَنَهَاهُ رَجُلٌ مِنْ أَصْحَابِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا إِنْصَرَفَا تَنَازَعَا فَقَالَ : أَتَنْهَانِي عَنِ الْقِرَائَةِ خَلْفَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَتَنَازَعَا حَتَّى بَلَغَ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ صَلَّى خَلْفَ إِمَامٍ فَإِنَّ قِرَاءَتَهُ لَهُ قِرَاءَةٌ . (رواه الدارقطنى 1 : 325)
Keterangan :
Hadits ini mursal (As-Sunanul Kubra 2 : 159).
Hadits ini (juga) dhaif karena dalam sanadnya ada rawi bernama Laits (kedhaifannya telah dijelaskan di atas). 





Pendapat Kedua menyatakan Bahwa Makmum Tetap Membaca Al-Fatihah Sekalipun Imam Membaca Jahar.(Pendapat Imam Asy-Syafi’i dalam qaul qadimnya dan beberapa ulama lainnya)

Dari Ubadah bin Shamit, bahwasanya Nabi saw. bersabda, “Tidak ada shalat bagi yang tidak membaca Al Fatihah.” (H.R. Al-Jama’ah).

عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ : أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ . (ر. الجماعة).
Analisis :

Hadits ini bersifat umum berlaku bagi yang munfarid dan berjama’ah, dalam shalat yang bacaannya Sir ataupun Jahar, jadi memerlukan Tahsis/pengkhususan atau pengecualian.

Dari Ubadah, ia mengatakan,”Rasulullah saw. shalat Shubuh, maka bacaan terasa berat olehnya. Ketika selesai (shalat), beliau bersabda,”Sesungguhnya saya melihat (mengetahui) kalian membaca di belakang imam kalian. “. Kami berkata,”Benar , wahai Rasulullah.”. Ia bersabda,”Janganlah melakukannay kecuali dengan Ummul Quran, karena tidak sah shalat bagi yang tidak membacanya.” (HR. Ahmad, Abu Daud, At-Tirmidzi, Ad-Daruqutni dan Al-Baihaqi).    

عَنْ عُبَادَةَ قَالَ : صَلَّى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الصُّبْحَ فَثَقُلَتْ عَلَيْهِ الْقِرَائَةُ ، فَلَمَّا إِنْصَرَفَ قَالَ : إِنِّيْ أَرَاكُمْ تَقْرَءُوْنَ وَرَاءَ إِمَامِكُمْ فَقَالَ : قُلْنَا يَا رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِيْ وَاللهِ قَالَ : لاَ تَفْعَلُوْا إِلاَّ بِأُمِّ الْقُرْآَنِ فَإِنَّهُ لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِهَا. (رواه أحمد وأبو داود و الترمذى والدارقطنى والبيهقي)

Pada riwayat Ad-Daruqutni, lafadznya :

“Maka janganlah kalian membaca sesuatupun apabila aku menjaharkan (qiraah) kecuali Ummul Quran.” (HR. Ad-Daruqutni).

فَلاَ تَقْرَءُوْا بِشَيْئٍ مِنَ الْقُرْآَنِ إِذَا جَهَرْتُ بِهِ إِلاَّ بِأُمِّ الْقُرْآَنِ . (رواه والدارقطنى)

Keterangan :

Hadits di atas walaupun dikeluarkan oleh beberapa orang mukharij, sanad-sanadnya melalui Muhammad bin Ishaq bin Yasar. Ia rawi yang lemah meskipun terdapat ahli yang menyatakan tsiqah, tetapi yang men-jarah-nya lebih banyak dengan jarah yang berat. Diantaranya ; An-Nasai mengatakan,”Ia rawi yang tidak kuat.”, Ad-Daruqutni sendiri menyatakan,”La yuhtajju bihi.”, Sulaiman At-Taimi menyatakan,”Kadzab (ia seorang pendusta.”, Ibnu Hisyam menyatakan,”Kadzab.” (Mizanul I’tidal 2 : 468).

Pendapat Ketiga menyatakan bahwa makmum seyogianya mesti diam untuk mendengarkan bacaan imam, akan tetapi makmum wajib membaca Al-Fatihah ketika imam sedang istirahat.

Terhadap pendapat ini Imam Ash-Shan’ani mengatakan :

Ash-Shan’ani mengatakan,” Telah berselisih orang yang berpendapat wajibnya membaca Al-Fatihah di belakang Imam. Menurut sebagian; pada waktu diamnya imam di antara ayat dengan ayat dan menurut sebagiannya lagi; ketika imam berhenti setelah selesai membaca Al-Fatihah. Mengenai kedua pendapat ini, tidak ada haditsnya yang dapat dijadikan sandaran. (Subulus Salam 1 : 171).

قَالَ الصَّنْعَانِيُّ : ثُمَّ اخْتَلَفَ الْقَائِلُوْنَ بِوُجُوْبِ قِرَاءَتِهَا خَلْفَ اْلإِمَامِ . فَقِيْلَ فِى مَحَلِّ سَكْتَتِهِ بَيْنَ اْلآَيَاتِ وَقِيْلَ فِى سُكُوْتِهِ بَعْدَ تَمَامِ قِرَاءَةِ الْفَاتِحَةِ وَلاَ دَلِيْلَ عَلَى هَذَيْنِ الْقَوْلَيْنِ فِى الْحَدِيْثِ . (سبل السّلام 1 : 171).








كيفية الصّلاة
KAIFIYAH S H A L A T
 (Bagian Ke-12)
“  QIRAAH  MAKMUM  “

Pendapat Ke-Empat menyatakan bahwa membaca Al-Fatihah itu wajib pada setiap raka’at, karena membaca Al-Fatihah merupakan salah satu rukun dari rukun-rukun shalat, dan tidak sah shalatnya tanpa membaca Al-Fatihah.
Adapun bagi Makmum, dan ia mendengar Qiraah (bacaan) Imam, maka wajib baginya diam untuk mendengarkan bacaan itu serta memperhatikannya.

1.  Dari Qatadah, bahwa Nabi saw. membaca fatihah pada setiap raka’at . ( HR. At-Tirmdzi ).

1.  عَنْ قَتَادَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقْرَأُ فِى كُلِّ رَكْعَةٍ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ . (رواه الترمذي )

2.  Allah SWT. berfirman ,” Apabila Alquran dibacakan, maka simaklah dan diamlah agar kamu mendapatkan rahmat.” (QS. Al A’raf : 204).

2.  فَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآَنُ فَاسْتَمِعُوْا لَهُ وَاَنْصِتُوْا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَ . (سورة الأعراف : 204).
Penjelasan :
Ayat ini berkenaan dengan makmum ikut membaca di belakang imam yang bacaannya jahar.

1.  Hal itu di dalam shalat wajib dimana imam menjaharkan  bacaan. (Tafsir Ibnu Katsir 2 : 281).

1.  ذَالِكَ فِى الصَّلاَةِ الْمَكْتُوْبَةِ إِذَا جَهَرَ اْلإِمَامُ بِالْقِرَاءَةِ . (إبن كثير 2 : 281)

2.  Dari Ibnu Abbas r.a, tentang firman Allah SWT: “Dan apbila dibacakan kepadamu Alquran, maka dengarkanlah dan diamlah. Semoga kamu mendapat rahmat”. Yakni (maksudnya ) dalam shalat wajib. (Ath-Thabari 9 : 111).

2.  عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قوله وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآَنُ فَاسْتَمِعُوْا لَهُ وَاَنْصِتُوْا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَ يَعْنِى فِى الصَّلاَةِ الْمَكْتُوْبَةِ . (الطبرى 9 :111)

3.  Imam Ahmad mengatakan,” Orang – orang (para ulama) telah ijma’ bahwa ayat ini di dalam (ketika) shalat.” (Al-Mughni wasy-Syarhu Kabir 1 : 601).

3.  قَالَ اْلإِمَامُ أَحْمَدُ : أَجْمَعَ النَّاسُ عَلَى أَنَّ هَذِهِ اْلآَيَةَ فِى الصَّلاَةِ (المغنى والشّرح الكبير 1 : 601).

4.  Maka bagi Makmum tidak boleh bersamaan, mendahului dan berbeda, kecuali ada dalil syar’i atasnya. (Nailul Authar 2 : 223).

4.  فَلاَيَجُوْزُ لَهُ الْمُقَارَنَةُ وَالْمُسَابَقَةُ وَالْمُخَالَفَةُ إِلاَّ مَا دَلَّ الدَّلِيْلُ الشَّرْعِيُّ عَلَيْهِ. (نيل الأوطار 2 : 223).

5.  Dari Abu Hurairah r.a Rasulullah saw. bersabda,” Hanyalah imam itu dijadikan untuk diikuti, maka apabila imam takbir, bertakbirlah dan apabila imam membaca, maka diamlah (simaklah).” (HR. Al-Khamsah <Ahmad : 9438, Abu Daud : 604, An-Nasai 2 : 142, Ibnu Majah : 846, Ad-Daruqutniy : 1230> dan dishahihkan oleh Muslim ).

5.  عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّمَا جُعِلَ اْلإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ فَإِذَا كَبَّرَ فَكَبِّرُوْا وَإِذَا قَرَأَ فَأَنْصِتُوْا. (رواه الخمسة وصححه مسلم)

Penjelasan :
Kata-kata Fa-anshitu artinya diamlah. Diamnya makmum di dalam shalat tentu karena kesibukan menyimak dan memperhatikan bacaan imam.
6.  Dari Imran bin Khushain, sesungguhnya Nabi saw. shalat zuhur, mulailah seseorang di belakangnya membaca Sabbihismarabbikal a’la, maka ketika selesai beliau bersabda,”Siapakah di antara kamu yang membaca?.”. Orang (yang membaca) itu menjawab,”Saya.”. Rasulullah saw. bersabda,”Telah saya ketahui bahwa di antara kamu ada yang mengganggu aku dengan bacaannya”.(HR. Muttafaq ‘Alaih).

6.  عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى الظُّهْرَ فَجَعَلَ رَجُلٌ يَقْرَأُ خَلْفَهُ بِسَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ اْلأَعْلَى فَلَمَّا انْصَرَفَ قَالَ : أَيُّكُمْ قَرَأَ أَوْ أَيُّكُمُ الْقَارِئُ ؟ فَقَالَ الرَّجُلُ , أَناَ ، فَقَالَ : لَقَدْ ظَنَنْتُ أَنَّ بَعْضَكُمْ خَالِجَنِيْهَا. (متفق عليه).

7.  Sesungguhnya bagi makmum itu gugur kewajiban qiraah, tetapi wajib baginya (makmum) untuk diam mendengarkan dan menyimak di dalam shalat yang (bacaannya) jahar. Adapun dalam shalat yang (bacaannya) sir, maka makmum  wajib qiraah. (Fiqhus Sunnah 1 : 135).

7.  أَنَّ الْمَأْمُوْمُ تَسْقُطُ عَنْهُ الْقِرَاءَةُ وَيَجِبُ عَلَيْهِ اْلإِسْتِمَاعُ وَاْلإِنْصَاتُ فِى الصَّلاَةِ الْجَهْرِيَّةِ ، وَأَمَّا الصَّلاَةُ السِّرِّيَّةُ فَالْقِرَاءَةُ فِيْهَا وَاجِبَةٌ عَلَى الْمَأْمُوْمِ. (فقه السّنّة 1 : 135).


8.  Dari Abu Hurairah r.a ,Sesungguhnya Rasulullah saw. selesai dari suatu shalat yang bacaannya jahar, beliau bersabda,”Adakah seseorang dari kalian yang membaca bersamaku tadi ?”. Maka seseorang menjawab,”Ya, wahai Rasulullah”. Beliau bersabda,” Maka sesungguhnya aku berkata (menegaskan) ; mengapa ada yang melawan bacaanku (dengan bacaan) Quran.” Maka berhentilah orang-orang dari membaca bersama Rasulullah saw. yang beliau menjaharkan dari shalat-shalat dengan qiraah ketika mereka mendengar hal itu dari Rasulullah saw.” (HR. Abu Daud : 826, At-Tirmidzi : 312, An-Nasai 2 : 141, Ibnu Majah : 848, Imam Malik dalam Tanwirul Hawalik 1 : 108, Ahmad : 7274 dan Ibnu Hibban : 1246).

8.  عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنْصَرَفَ مِنْ صَلاَةٍ جَهَرَ فِيْهَا الْقِرَائَةَ فَقَالَ : هَلْ قَرَأَ مَعِيْ أَحَدٌ مِنْكُمْ آَنِفًا ؟ فَقَالَ رَجُلٌ : نَعَمْ يَا رَسُوْلَ اللهِ ، قَالَ : فَإِنِّي أَقُوْلُ مَالِي أُنَازِعُ الْقُرْآَنَ فَانْتَهَى النَّاسُ عَنِ الْقِرَائَةِ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيْمَا يَجْهَرُ فِيْهِ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنَ الصَّلَوَاتِ بِالْقِرَائَةِ حِيْنَ سَمِعُوْا ذَالِكَ مِنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ .(رواه أبو داود، الترمذى، النّسائى، إبن ماجة، مالك، أحمد، إبن حبّان)

9.  Rasulullah saw. bersabda,”Apabila aku men-sirkan bacaanku, maka bacalah oleh kalian dan apabila aku menjaharkan bacaanku, maka janganlah seorangpun membaca bersamaku.”(HR. Ad-Daruqutni).

9.  إِذَا أَسْرَرْتُ بِقِرَائَتِي فَاقْرَءُوْا وَإِذَا جَهَرْتُ فَلاَ يَقْرَأْ مَعِي أَحَدٌ. (رواه الدارقطنى)

10.            Rasulullah saw. bersabda,”Apakah kalian membaca pada shalat kalian di belakang imam padahal imam membaca ?, janganlah kalian melakukan hal itu dan bacalah oleh kalian  Fatihatul Kitab itu di hatinya.”(HR. Ibnu Hibban, At-Tabrani dan Al-Baihaqi dari Anas bin Malik).

10.            قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : أَتَقْرَءُوْنَ فِى صَلاَتِكُمْ خَلْفَ اْلإِمَامِ وَ اْلإِمَامُ يَقْرَأُ ؟ فَلاَ تَفْعَلُوْا وَلْيَقْرَأْ أَحَدُكُمْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ فِى نَفْسِهِ .(رواه إبن حبّان و الطبرانى والبيهقي عن أنس بن مالك)

11.            Dari Abu Hurairah, ia berkata, “Rasulullah saw. bersabda, ‘Barangsiapa mengerjakan suatu shalat dan tidak membaca Al Fatihah, maka shalat itu cacat’. Beliau bersabda demikian tiga kali. Maka ditanyakan kepada Abu Hurairah, ‘Tetapi kami berada dibelakang imam?’ Ia menjawab, ‘Bacalah itu di dalam hatimu, karena sesungguhnya saya mendengar Rasulullah saw. bersabda, ‘Allah swt. telah berfirman, ‘Aku membagi Al Fatihah menjadi dua bagian, maka untuk hamba-Ku yang dimintanya. Jika hamba itu membaca Al Hamdulillahi robbil ‘alamin, Maka Allah berfirman, ‘HambaKu memujiku, jika hamba itu membaca Ar Rahmanirrahim, Allah berfirman, ‘Hamba ini telah memujaku’. Dan jika hamba ini membaca Maliki yaumiddin, Allah berfirman, ‘Hambaku telah memuliakanKu, dengan kata lain hambaKu telah berserah diri kepadaKu’. Dan jika hamba ini mengucapkan Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in, Allah berfirman, ‘Ini antaraKu dan hambaKu, dan bagi hambaKu apa yang dimintanya’. Dan jika hamba ini mengucapkan Ihdinas shiratal mustaqim. Shiratal ladzina an’amta ‘alaihim ghoiril maghdhubi ‘alaihim walad dhallin, Allah berfirman, ‘Ini untuk hambaKu dan untuk hambaKu apa yang dimintanya’.” (H.R. Al Jama’ah kecuali Al Bukhari dan Ibnu Majah).

11.            عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَنْ صَلَّى صَلاَةً لَمْ يَقْرَأْ فِيْهَا بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ فَهِيَ خِدَاجٌ يَقُوْلُهَا ثَلاَثًا. فَقِيْلَ ِلأَبِي هُرَيْرَةَ إِنَّا نَكُوْنُ وَرَاءَ اْلإِمَامِ , فَقَالَ : اِقْرَأْ بِهَا فِى نَفْسِكَ فَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ : قَالَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ : قَسَمْتُ الصَّلاَةَ بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي نِصْفَيْنِ وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ : فَإِذَا قَالَ الْعَبْدُ : اَلْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ , قَالَ اللهُ : حَمِدَنِي عَبْدِي. فَإِذَا قَالَ : اَلرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ ، قَالَ اللهُ : أَثْنَى عَلَيَّ عَبْدِي, فَإِذَا قَالَ : مَالِكِ يَوْمِ الدِّيْنِ , قَالَ : مَجَّدَنِي عَبْدِي, وَقَالَ مَرَّةً فَوَّضَ إِلَيَّ عَبْدِي, وَإِذَا قَالَ : إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ قَالَ : هَذَا بَيْنِيْ وَبَيْنَ عَبْدِيْ وَلِعَبْدِيْ مَا سَأَلَ . فَإِذَا قَالَ : اِهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيْمَ صِرَاطَ الَّذِيْنَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلاَ الضَّآلِّيْنَ , قَالَ, هَذَا لِعَبْدِيْ وَلِعَبْدِيْ مَا سَأَلَ . (ر. الجماعة إلا البخاري وابن ماجة).
Penjelasan :
Yang dimaksud membaca dalam hati dalam arti mendengarkan serta memperhatikan bacaan imam; berarti siapa yang mendengarkan serta memperhatikan bacaan imam, ia juga membaca dalam hatinya. (Tarjamah Al-Hidayah 2 : 240).
كيفية الصّلاة
KAIFIYAH S H A L A T
 (Bagian Ke-13)


 “  R U K U’  “

Ruku’ berasal dari kata dasar raka’a yarka’u, yang artinya tunduk, patuh, tha’at atau membungkuk. Di Dalam Alquran banyak sekali kata-kata ruku’ digunakan dengan makna atau maksud seperti itu. Tetapi adakalanya ruku’ digunakan dengan makna shalat atau menerangkan suatu posisi di dalam shalat atau posisi  membungkuk tertentu dalam shalat (lihat Surat Al-Baqarah <2> : 43, 125, Ali Imran <3> :43, Al-Maidah < 5> : 58, Al-Fath <48> : 29, At-Taubah <9>: 122.

Kaifiyat Ruku’

a.     Setelah selesai membaca surat (qiraah) ketika qiyam, ucapkanlah takbir sambil mengangkat kedua tangan sejajar dengan bahu atau mendekati telinga sebagaimana ketika takbiratul ihram.

1.  Dari Ibnu Mas’ud, ia berkata,”Saya melihat Nabi saw. bertakbir pada setiap bangkit, menjunam, berdiri, dan duduk,” (HR. Ahmad, An-Nasai dan At-Tirmidzi).

1.  عَنِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ قَالَ : رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُكَبِّرُ فِى كُلِّ رَفْعٍ وَخَفْضٍ وَقِيَامٍ وَقُعُوْدٍ . (رواه أحمد والنّسائي والترمذى)

2.  Dari Ali bin Abu Thalib dari Rasulullah saw. bahwa apabila berdiri shalat wajib, beliau bertakbir dan mengangkat kedua tangannya sejajar dengan bahunya, beliau melakukan seperti itu ketika selesai qiraatnya apabila hendak ruku. Dan melakukan lagi apabila bangkit dari ruku, dan tidak melakukan demikian pada shalatnya ketika duduk. Lalu apabila bangkit dari dua raka’at beliau mengangkat kedua tangannya.” (HR. Ahmad, Abu Daud, dan At Tirmidzi).

2.  عَنْ عَلِىِّ بْنِ أَبِى طَالِبٍ رَضِيَ اللهُ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ كَانَ إِذَا قَامَ إِلَى الصَّلاَةِ الْْمَكْتُوْبَةِ كَبَّرَ وَرَفَعَ يَدَيْهِ حَذْوَ مَنْكِبَيْهِ وَيَصْنَعُ مِثْلَ ذَالِكَ إِذَا قَضَى قِرَاءَتَهُ وَإِذَا أَرَادَ أَنْ يَرْكَعَ، وَيَصْنَعُهُ إِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ الرُّكُوْعِ وَلاَ يَرْفَعُ فِى شَيْئٍ مِنَ صَلاَتِهِ وَهُوَ قَاعِدٌ ، وَإِذَا قَامَ مِنَ السَّجْدَتَيْنِ رَفَعَ يَدَيْهِ كذالك . (رواه أحمد و أبو داود، والترمذى وصححه)

3.  Dari Salim bin Abdullah dari bapaknya menerangkan,”Sesungguhnya Rasulullah saw. mengangkat kedua tangannya sejajar dengan kedua pundaknya apabila ia memulai shalat dan apabila takbir untuk ruku’, serta apabila mengangkat kepala dari ruku, beliau mengangkat kedua tangannya seperti itu juga.”(HR. Al-Bukhari).

3.  عَنْ سَالِمٍ عَنْ أَبِيْهِ قَالَ : أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَرْفَعُ يَدَيْهِ حَذْوَ مَنْكِبَيْهِ إِذَا افْتَتَحَ الصَّلاَةَ وَإِذَا كَبَّرَ لِلرُّكُوْعِ وَإِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ الرُّكُوْعِ رَفَعَهُمَا كَذَلِكَ أَيْضًا . (ر. البخارى)

b.     Posisi Punggung Dan Kepala

1.  Dari Ali r.a, ia berkata,”keadaan Rasulullah saw. apabila ruku’, andai saja disimpan sewadah air di atas punggungnya, niscaya tidak akan tumpah”. (HR. Ahmad dan Abu Daud).

1.  عَنْ عَلِيٍّ قَالَ : كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا رَكَعَ لَوْ وُضِعَ قَدَحٌ مِنْ مَاءٍ عَلَى ظَهْرِهِ لَمْ يَهْرَقْ . (رواه أحمد و أبو داود)

2.  Dari Abu Mas’ud al-Anshari, ia berkata : Rasulullah saw. telah bersabda,” Suatu shalat belum sempurna bila pada shalat itu seseorang tidak meluruskan punggungnya ketika ruku dan sujud”. (HR. Al Khamsah).

2.  عَنْ أَبِي مَسْعُوْدٍ اْلأَنْصَارِيِّ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لاَ تُجْزِئُ صَلاَةٌ لاَ يُقِيْمُ فِيْهِ الرَّجُلُ صُلْبَهُ فِى الرُّكُوْعِ وَالسُّجُوْدِ . (ر. الخمسة)

3.  Dari Abu Hunaid, bahwasanya apabila Nabi saw. ruku’, ia tidak menengadahkan kepalanya dan tidak juga menundukkannya dan ia menyimpan kedua tangannya di atas lututnya seolah ia menggemgamnya. (HR. An-Nasai).

3.  عَنْ أَبِي حُمَيْدٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا رَكَعَ إِعْتَدَلَ وَلَمْ يُصَوِّبْ رَأْسَهُ وَلَمْ يُقْنِعْهُ وَوَضَعَ يَدَيْهِ عَلَى رُكْبَتَيْهِ كَأَنَّهُ قَابِضٌ عَلَيْهِمَا. (رواه النّسائي)








c.      Posisi Tangan
Posisi tangan pada waktu ruku’ adalah dengan menggenggamkan jari-jari pada lutut dan merenggangkan jari-jarinya, sehingga akan berfungsi menahan berat badan karena hal ini akan terasa berat apabila dilakukan ruku’ yang cukup lama. Selain itu kedua lengan direnggangkan satu dari yang lainnya, sehingga dapat difahami bahwa posisi kaki pun tidak dirapatkan.

Dari Abu Mas’ud ‘Uqbah bin Amr, bahwasanya ia ruku’ dan merenggangkan kedua tangannya dan menempatkan kedua tangannya pada kedua lututnya dan merenggangkan jari-jarinya, ia berkata,”Demikianlah saya melihat Rasulullah saw. shalat”.(HR. Ahmad, Abu Daud dan An-Nasai).

عَنْ أَبِي مَسْعُوْدٍ عُقْبَةَ بْنِ عَمْرٍو أَنَّهُ رَكَعَ فَجَافَى يَدَيْهِ وَوَضَعَ يَدَيْهِ عَلَى رُكْبَتَيْهِ وَفَرَّجَ بَيْنَ أَصَابِعِهِ مِنْ وَرَائِهِ وَقَالَ : هَكَذَا رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّى . (رواه أحمد و أبو داود و النّسائي)

Dahulu sebelum jari-jari tangan ditempatkan di atas lutut dan digenggamkan pada lutut, kedua tangan itu dirapatkan dan dihimpit di antara dua samping lutut, sebagaimana keterangan berikut :

Dari Mus’ab bin Sa’ad, ia berkata,”Saya shalat di sebelah ayah, maka saya merapatkan tangan kemudian saya tempatkan di antara paha saya. Maka ayah saya melarang hal itu dan berkata,”Kami melakukan hal itu, lalu kami disuruh menempatkan tangan-tangan kami pada lutut-lutut kami.” (HR. Al-Jama’ah).

عَنْ مُسْعَبِ بْنِ سَعْدٍ قَالَ صَلَّيْتُ إِلَى جَنْبِ أَبِي فَطَبَّقْتُ بَيْنَ كَفَّيَّ ثُمَّ وَضَعْتُهَا بَيْنَ فَخِذَيَّ فَنَهَانِي عَنْ ذَالِكَ وَقَالَ : كُنَّا نَفْعَلُ هَذَا وَأُمِرْنَا أَنْ نَضَعَ أَيْدِيَنَا عَلَى الرُّكَبِ . ( رواه الجماعة)
d.  Wajib Tuma’ninah Dalam Ruku’

1.       Dari Khudzaifah, sesungguhnya ia melihat seseorang yang tidak menyempurnakan ruku’ dan sujudnya, maka ketika orang itu menyelesaikan shalatnya, ia memanggilnya lalu berkatalah Khudzaifah kepadanya: “Kamu belum shalat? , Kalaulah kamu mati, niscaya kamu mati bukan dalam fitrah yang telah Allah fitrahkan kepada Muhammad saw.”. (H.R. Ahmad dan Al-Bukhari, )dan pada riwayat Ahmad ada tambahan setelah ucapannya, lalu berkatalah kepadanya Khudzaifah,”Sejak kapan engkau shalat (seperti ini)?, ia menjawab,”sejak empat puluh tahun yang lalu.”

 1. عَنْ خُذَيْفَةَ أَنَّهُ رَأَى رَجُلاً لاَ يُتِمُّ رُكُوْعَهُ وَلاَ سُجُوْدَهُ فَلَمَّا قَضَى صَلاَتَهُ دَعَاهُ فّقَالَ لَهُ خُذَيْفَةَ: مَا صَلَّيْتَ؟ وَلَوْمُتَّ مَتَّ عَلَى غَيْرِ الْفِطْرَةِ الَّتِيْ فَطَرَ اللهُ عَلَيْهَا مُحَمَّدًا صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ .(ر.أحمد و البخاري )وَزَادَ أَحْمَدُ بَعْدَ قَوْلِهِ فَقَالَ لَهُ حُذَيْفَةَ : مُنْدُ كَمْ صَلَّيْتَ ؟ قَالَ : مُنْدُ أَرْبَعِبْنَ سَنَةً !

2.       Dari Abu Hurairah r.a, sesungguhnya Nabi saw. bersabda: “Apabila kamu hendak melaksanakan shalat maka sempurnakanlah wudlu, kemudian menghadaplah ke arah kiblat maka bertakbirlah, kemudian bacalah sesuatu yang mudah bagimu dari al-Qur’an, kemudian ruku’lah sampai merasa Tuma’ninah dalam keadaan ruku’, kemudian bangkitlah sampai tegak lurus berdiri, kemudian sujudlah sampai tuma’ninah duduk, kemudian sujud lagi sampai tuma’ninah sujud, kemudian kerjakanlah itu semua dalam shalatmu”. (H.R. Bukhari, 1: 144)

 2. عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. قَالَ: إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلاَةِ فَاسْبِغِ الْوُضُوْءَ ثُمَّ اسْتَقْبِلِ الْقِبْلَةَ فَكَبِّرْ ثُمَّ اقْرَأْ مَا تَيَسَّرَ مَعَكَ مِنَ الْقُرْآنِ ثُمَّ ارْكَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ رَاكِعًا ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَعْتَدِلَ قَائِمًا ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ جَالِسًا ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا ثُمَّ افْعَلْ ذَلِكَ فِي صَلاَتِكَ كُلِّهَا. (ر. البخاري 1: 144)

3.       Dari Abu Qatadah, ia berkata : Rasulullah saw. telah bersabda,”Seburuk-buruk manusia dalam cara mencuri adalah yang mencuri dari shalatnya”. Mereka bertanya : Wahai Rasulullah, bagaimana mencuri dari shalatnya itu ?. Baliau menjawab,”Yaitu yang tidak menyempurnakan ruku dan sujudnya”. (HR. Ahmad).

 3. عَنْ أَبِي قَتَادَةَ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَشَرُّ النَّاسِ سَرَقَةً الَّذِى يَسْرِقُ مِنْ صَلاَتِهِ ، فَقَالُوْا : يَا رَسُوْلَ اللهِ وَكَيْفَ يَسْرِقُ مِنْ صَلاَتِهِ ؟ قَالَ : لاَ يُتِمُّ رُكُوْعَهُ وَلاَ سُجُوْدَهُ....(ر. أحمد)

كيفية الصّلاة
KAIFIYAH S H A L A T
 (Bagian Ke-14)


 “  BACAAN-BACAAN  RUKU’  “

Yang dimaksud bacaan ruku’ ialah bacaan yang masyru’ dicontohkan oleh Nabi saw. dengan tanpa penambahan maupun pengurangan. Hal ini perlu dipertegas karena di dalam posisi ruku’ tidak disyari’atkan berdo’a dengan do’a yang tidak dicontohkan. Keadaan ini berbeda dengan ketika dalam sujud. Selain do’a yang masyru’, dalam sujud diperbolehkan pula setelah itu berdo’a dengan do’a yang bebas yang sesuai dengan keperluan.

Pada pokoknya bacaan ruku’ itu adalah tasbih, artinya memahasucikan Allah SWT. Oleh karena itu, bacaan-bacaan ruku’ senantiasa diawali dengan kata-kata subhana, subbuhun, Allahumma atau kata lainnya yang bermakna memahasucikan Allah SWT.

1.  Dari Uqbah bin Amir, ia berkata,”Ketika turun (ayat) : Fasabbih bismirabbikal ‘Azhim (bertasbihlah dengan nama Tuhanmu Yang Mahaagung). Rasulullah saw. bersabda kepada kami,’Jadikanlah itu bacaan di dalam ruku’ kalian !. Dan ketika turun (ayat) : Sabbihisma rabbika al-A’la (Mahasucikanlah nama Tuhanmu Yang Mahatinggi. Beliau bersabda,’Jadikanlah itu bacaan di dalam sujud kalian”.(HR. Ahmad, Abu Daud dan Ibnu Majah).

1.  عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ قَالَ : لَمَّا نَزَلَتْ : "فَسَبِّحْ بِاسْمِ رَبِّكَ الْعَظِيْمِ " قَالَ لَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : اِجْعَلُوْهَا فِى رُكُوْعِكُمْ فَلَمَّا نَزَلَتْ "سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ اْلأَعْلَى " قَالَ : اِجْعَلُوْهَا فِى سُجُوْدِكُمْ . (ر. أحمد وأبو داود وابن ماجة).

2.  Dari Hudzaifah, “Sesungguhnya ia shalat bersama Nabi saw. pada rukunya dibacakan, “Subhana rabbiyal ‘adzim” dan pada sujudnya dibacakan, “Subhana rabbiyal a’la”. Beliau tidak membaca ayat rahmat selain beliau berhenti untuk memintanya dan tidak membaca ayat adzab selain beliau berhenti untuk berta’awwudz (berlindung). (H.R. Al Khamsah).

2.  عَنْ حُذَيْفَةَ أَنَّهُ صَلَّى مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَكَانَ يَقُوْلُ فِى رُكُوْعِهِ : سُبْحَانَ رَبِّيَ الْعَظِيْمِ وَفِى سُجُوْدِهِ سُبْحَانَ رَبِّيَ اْلأَعْلَى وَمَا مَرَّتْ بِهِ آَيَةُ رَحْمَةٍ إِلاَّ وَقَفَ عِنْدَهَا يَسْأَلُ وَلاَ آَيَةُ عَذَابٍ وَقَفَ عِنْدَهَا إِلاَّ تَعَوَّذَ . (ر. الخمسة).

3.  Dari Aisyah, ia berkata, “Rasulullah saw. pada rukunya sering membacakan, “Subhanaka Allahumma wa bihamdika Rabbana Allahummag firli”. Menta’wilkan (menafsirkan) Al Quran. (H.R. Al-Jamaah kecuali At-Tirmidzi).

3.  عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ : كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُكْثِرُ اَنْ يَقُوْلَ فِى رُكُوْعِهِ وَسُجُوْدِهِ "سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ رَبَّنَا وَبِحَمْدِكَ اَللَّهُمَّ اغْفِرْلِى" يَتَأَوَّلُ الْقُرْآَنَ . (ر. الجماعة إلاّ الترمذى).

4.  Dari Aisyah, bahwasanya Rasulullah saw. pada ruku dan sujudnya membaca, “Subbuhun quddusun Rabbul malaikati war Ruh”. (H.R. Ahmad, Muslim, Abu Daud dan An Nasai).

4.  عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقُوْلُ فِى رُكُوْعِهِ وَسُجُوْدِهِ : سُبُّوْحٌ قُدُّوْسٌ رَبُّ الْمَلاَئِكَةِ وَالرُّوْحِ . (ر. أحمد ومسلم وأبو داود والنّسائى).

5.  Dari Ali bin Abi Thalib, bahwasanya Rasulullah saw. saat ruku membaca : “Ya Allah, hanya karena-Mu aku ruku hanya kepada-Mu aku beriman, tunduk (khusyu’) pendengaranku, pandanganku, pikiranku, tulang-tulangku, dan syaraf-syarafku”. (H.R. An-Nasai 3 : 192).

5.  عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِى طَالِبٍ : أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا رَكَعَ قَالَ : اَللَّهُمَّ لَكَ رَكَعْتُ وَبِكَ آَمَنْتُ وَلَكَ أَسْلَمْتُ خَشَعَ لَكَ سَمْعِيْ وَبَصَرِيْ وَمُخِّى وَعَظْمِيْ وَعَصَبِيْ . (النّسائى 3 : 192).
Mahasuci Engkau, aku memuji-Mu, tiada Tuhan selain Allah.

سُبْحَانَكَ وَبِحَمْدِكَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهِ .


A.  Berapa Kali Tasbih Pada Ruku ?

Pada bagian sebelumnya telah kita ketahui bahwa bacaan-bacaan ketika ruku itu banyak. Hal ini menunjukkan banyaknya pilihan dan boleh membacanya minimal satu kali. Namun ada yang berpendapat bahwa bacaan tasbih, baik pada ruku maupun sujud, tidak boleh kurang dari tiga kali, berdasarkan keterangan sbb :

1.  Dari Aun bin Abdullah bin Utbah, dari Ibnu Mas’ud, bahwasanya Nabi saw. bersabda, “Apabila seorang dari kamu ruku dan pada rukunya membaca “Subhana Rabbiyal ‘Adzim” tiga kali, maka telah sempurna rukunya dan itu paling sedikit. Dan apabila sujud dan pada sujudnya membaca “Subhana Rabbiyal a’la” tiga kali, maka telah sempurna sujudnya dan itulah paling sedikit. (H.R. At Tirmidzi, Abu Daud, dan Ibnu Majah).

1.  عَنْ عَوْنِ بْنِ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُتْبَةَ عَنِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : إِذَا رَكَعَ أَحَدُكُمْ فَقَالَ فِى رُكُوْعِهِ سُبْحَانَ رَبِّيَ الْعَظِيْمِ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ فَقَدْ تَمَّ رُكُوْعُهُ وَذَالِكَ أَدْنَاهُ وَإِذَا سَجَدَ فَقَالَ فِى سُجُوْدِهِ سُبْحَانَ رَبِّيَ اْلأَعْلَى ثَلاَثَ مَرَّاتٍ فَقَدْ تَمَّ سُجُوْدُهُ وَذَالِكَ أَدْنَاهُ . (ر. الترمذى وأبو داود وابن ماجة).
Keterangan :
Tetapi hadits ini mursal, artinya rawi Aun yang mengaku menerima dari Abdullah bin Mas’ud padahal sebenarnya ia tidak sezaman dengannya. Hal ini sebagaimana keterangan berikut :

Abu Daud berkata, “Hadits ini mursal, karena Aun tidak sezaman dengan Abdullah”.

وَقَالَ أَبُوْ دَاوُدَ : حَدِيْثُ مُرْسَلٌ . ِلأَنَّ عَوْنًا لَمْ يُدْرِكْ عَبْدَ اللهِ .

2.  Dari Abdullah bin Mas’ud, ia berkata; telah bersabda Rasulullah saw.,”Apabila salah seorang di antara kamu ruku’, maka bacalah Subhana Rabbiyal ‘Adzim  tiga kali, dan itu paling sedikit.”(HR. Abu Daud 1 : 204).

2.  عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُوْدٍ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِذَا رَكَعَ أَحَدُكُمْ فَلْيَقُلْ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ سُبْحَانَ رَبِّيَ الْعَظِيْمِ وَذَالِكَ أَدْنَاهُ . .(رواه أبو داود 1 : 204).
Keterangan :

a. Abu Daud berkata,”Hadits ini mursal, (karena) ‘Aun tidak pernah bertemu dengan ‘Abdullah”. (Abu Daud 1 : 204 – ‘Aun al-Ma’bud 3 : 141).

‌أ.   قَالَ أَبُوْ دَاوُدَ : هَذَا مُرْسَلٌ .عَوْنٌ لَمْ يُدْرِكْ عَبْدَ اللهِ . أبو داود 1 : 204 - عون المعبود 3 : 141).

b.Imam al-Tirmidzi berkata,”Dan mengamalkan hadits tersebut menurut ahli ilmu, mereka menganjurkan seseorang tidak mengurangi bacaan tasbih dari tiga kali dalam ruku’ dan sujudnya”. (Fiqh al-Sunnah 1 : 297).

‌ب.   قَالَ التِّرْمِذِيُّ : وَالْعَمَلُ عَلَى هَذَا عِنْدَ أَهءلِ الْعِلْمِ يَسْتَحِبُّوْنَ اَنْ لاَ يَنْقُصُ الرَّجُلُ فِى الرُّكُوْعِ وَالسُّجُوْدِ عَنْ ثَلاَثِ تَسْبِيْحَاتٍ . (فقه السّنة 1 : 297).

c. Dan yang jelas, sesungguhnya hadits-hadits ini keseluruhannya pantas untuk dijadikan dalil atas anjuran bagi seseorang agar tidak mengurangi bacaan tasbih sebanyak tiga kali dalam ruku’ dan sujud, tetapi Allah Ta’ala Yang lebih Mengetahuinya”. (Tuhfah al-Ahwadzi 2 : 120).

‌ج.    وَالظَّاهِرُ أَنَّ هَذِهِ اْلأَحَادِيْثَ بِمَجْمُوْعِهَا تَصْلُحُ اَنْ يُسْتَدَلَّ بِهَا عَلَى اسْتِحْبَابِ اَنْ لاَ يَنْقُصُ الرَّجُلُ فِى الرُّكُوْعِ وَالسُّجُوْدِ مِنْ ثَلاَثِ تَسْبِيْحَاتٍ وَاللهُ تَعَالَى اَعْلَمُ . (تحفة تأحوذى 2 :120).
Adapun tentang beberapa kali batas bacaan-bacaan itu, terdapat keterangan sebagai berikut :

Dari Sa’id bin Jubair, dari Anas, ia berkata, “Saya tidak pernah shalat di belakang seseorang setelah Rasulullah saw. yang paling mirip dengan Rasulullah saw. selain pemuda ini yakni Umar bin Abdul Aziz. Ia berkata, “Kami memperkirakan pada ruku dan sujudnya dengan sepuluh tasbih”. (H.R. Ahmad, Abu Daud dan An-Nasai).

عَنْ سَعِيْدِ بْنِ جُبَيْرٍ عَنْ أَنَسٍ قَالَ : مَا صَلَّيْتُ وَرَاءَ أَحَدٍ بَعْدَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَشْبَهَ صَلاَةً بِرَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ هَذَا الْفَتَى يَعْنِى عُمَرَ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيْزِ قَالَ : فَحَزَرْنَا فِى رُكُوْعِهِ عَشْرَ تَسْبِيْحَاتٍ وَفِى سُجُوْدِهِ وَعَشْرَ تَسْبِيْحَاتٍ . (ر. أحمد وأبو داود والنّسائى).




Penjelasan :

Hadits ini menerangkan perkiraan atau perhitungan Anas bin Malik terhadap bacaan tasbih yang dilakukan oleh Umar bin Abdul Aziz yang menurut beliau paling tepat yaitu kurang lebih sepuluh kali tasbih. Pernyataan ini tentu saja karena memperhatikan lamanya ruku yang dilakukan oleh Umar bin Abdul Aziz. Walaupun demikian hadits ini bukan menyatakan batas maksimal sepuluh kali, bukan juga minimalnya. Hal ini terbukti berdasarkan keterangan bacaan ruku yang satu kali atau dua kali. Oleh karena itu, dipersilahkan bertasbih pada waktu ruku kurang atau lebih dari sepuluh kali.( Wallahu ‘Alam)

B.  Tentang Tambahan ” Wa Bihamdihi  “ Pada Tasbih Ruku Dan Sujud

1.  Telah meriwayatkan kepada kami Ahmad bin Yunus, telah menceritakan kepada kami Allaits yakni Sa’ad dari Ayyub bin Musa atau Musa bin Ayyub dari seorang laki-laki kaumnya dari ‘Uqbah bin Amir (meriwayatkan hadits) yang semakna. Ia menambah, ia berkata,”Keadaan Rasulullah saw, apabila ruku’ Ia membaca Subhana Rabbiya Al-‘Azhim Wa bihamdihi (Maha Suci Tuhanku Yang Mahabesar dan dengan memuji-Nya) tiga kali. Dan apabila sujud, ia membaca Subhana Rabbiya Al-‘Ala Wa bihamdihi (Maha Suci Tuhanku Yang Maha Tinggi dan dengan memuji-Nya) tiga kali. (HR. Abu Daud 1 : 201).

1. حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ يُوْنُسَ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ يَعْنِى ابْنَ مَسْعُوْدٍ عَنْ أَيُّوْبَ بْنِ مُوْسَى اَوْ مُوْسَى بْنِ أَيُّوْبَ عَنْ رَجُلٍ مِنْ قَوْمِهِ عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ بِمَعْنَاهُ . زَادَ قَالَ : إِذَا رَكَعَ قَالَ : سُبْحَانَ رَبِّيَ الْعَظِيْمِ وَبِحَمْدِهِ ثَلاَثًا وَإِذَا سَجَدَ قَالَ : سُبْحَانَ رَبِّيَ اْلأَعْلَى وَبِحَمْدِهِ ثَلاَثًا .(رواه أبو داود 1 : 201). 
Keterangan :
a.  Abu Daud berkata,”(Tentang) tambahan ini, kami khawatir (kedudukannya) tidak terpelihara (tidak shahih). Abu Daud 1 : 201).

‌أ.   قَالَ أَبُوْ دَاوُدَ : وَهَذِهِ الزِّيَادَةُ نَخَافُ اَنْ لاَ تَكُوْنَ مَحْفُوْظَةً . (أبو داود 1 : 201).

b. Imam Ahmad ditanya tentang kedudukan tambahan tersebut, maka Imam Ahmad menjawab,”Adapun saya tidak membaca Wabihamdihi”. (Nailul Authar 2 : 274).

‌ب.   وَسُئِلَ أَحْمَدُ عَنْهَا فَقَالَ : أَمَّا اَنَا فَلاَ اَقُوْلُ " وَبِحَمْدِهِ ". (نيل الأوطار 2 : 274).

2. Dari Khudaifah,”Sesungguhnya Nabi saw. dalam ruku’nya membaca Subhana Rabbiya Al-‘Azhim Wa bihamdihi (Maha Suci Tuhanku Yang Mahabesar dan dengan memuji-Nya) tiga kali. Dan dalam sujudnya, ia membaca Subhana Rabbiya Al-‘Ala Wa bihamdihi (Maha Suci Tuhanku Yang Maha Tinggi dan dengan memuji-Nya) tiga kali. (HR. ad-Daruquthni 1 : 341).

2.  عَنْ خُذَيْفَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقُوْلُ فِى رُكُوْعِهِ : سُبْحَانَ رَبِّيَ الْعَظِيْمِ وَبِحَمْدِهِ ثَلاَثًا وَفِى سُجُوْدِهِ سُبْحَانَ رَبِّيَ اْلأَعْلَى وَبِحَمْدِهِ ثَلاَثًا . (رواه الدّارقطنى 1 : 341).
Keterangan :
Dalam sanadnya ada rawi bernama Muhammad bin Abdi al-Rahman bin Abi Laila. Ia itu dhaif. (Aunu al-Ma’bud 3 : 122).

وَمُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ اَبِى لَيْلَى ضَعِيْفٌ .(عون المعبود 3 : 122).

3.  Dari Abdullah bin Mas’ud, ia berkatam,”Termasuk sunnah Nabi saw apabila seseorang dalam ruku’nya membaca Subhana Rabbiya Al-‘Azhim Wa bihamdihi (Maha Suci Tuhanku Yang Mahabesar dan dengan memuji-Nya)”.( HR. ad-Daruquthni 1 : 341).

3.  عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُوْدٍ قَالَ : مِنَ السُّنَّةِ اَنْ يَقُوْلَ الرَّجُلُ فِى رُكُوْعِهِ : سُبْحَانَ رَبِّيَ الْعَظِيْمِ وَبِحَمْدِهِ ، وَفِى سُجُوْدِهِ سُبْحَانَ رَبِّيَ اْلأَعْلَى وَبِحَمْدِهِ . (رواه الدّارقطنى 1 : 341).
Keterangan  :
a. Pada hadits ini ada rawi bernama Sirri bin Ismail dari Al-Sa’bi dari Masruq dan Sirri itu dhaif. (Aunu al-Ma’bud 3 : 122).

‌أ.   وَالسِّرِيُّ بْنُ إِسْمَاعِيْلَ عَنِ الشُّعَبِيِّ عَنْ مَسْرُوْقٍ عَنْهُ وَالسِّرِيُّ ضَعِيْفٌ . (عون المعبود 3 : 122).

b.Sungguh telah mengingkari tambahan ini Ibnu Shalah dan yang lainnya. (ad-Daruquthni 1 : 341).

‌ب.   وَقَدْ اَنْكَرَ هَذِهِ الزِّيَادَةَ ابْنُ الصَّلاَحِ وَغَيْرُهُ .(الدّارقطنى 1 : 341).
كيفية الصّلاة
KAIFIYAH S H A L A T
 (Bagian Ke-15)

“  BANGKIT DARI RUKU DAN I’TIDAL SERTA PERMASALAHANNYA “
( I )

A.  Bangkit Dari Ruku’ Dan I’tidal Serta Bacaannya.

1.  Dari Ibnu Mas’ud, ia berkata,”Saya melihat Nabi saw. bertakbir pada setiap bangkit, menjunam, berdiri, dan duduk,” (HR. Ahmad, An-Nasai dan At-Tirmidzi).

1.  عَنِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ قَالَ : رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُكَبِّرُ فِى كُلِّ رَفْعٍ وَخَفْضٍ وَقِيَامٍ وَقُعُوْدٍ . (رواه أحمد والنّسائي والترمذى)

2.  Dari Abu Hurairah r.a, ia mengatakan,”Rasulullah saw. apabila mulai shalat, beliau bertakbir pada waktu berdiri, lalu bertakbir pada waktu ruku’, dan mengucapkan“Sami’allahu liman hamidah  ( mudah-mudhan Allah mendengar yang memuji-Nya)“, ketika bangkit dari ruku’, kemudian pada waktu berdiri mengucapkan,”Rabbana walakal hamdu ( Ya, Allah Tuhan kami milik Engkaulah segala puji)”. Kemudian bertakbir tatkala hendak sujud, kemudian beliau bertakbir tatkala mengangkat kepalanya, Kemudian bertakbir tatkala hendak sujud, kemudian beliau bertakbir tatkala mengangkat kepalanya, kemudian beliau melakukannya pada setiap raka’at, dan bertakbir pula pada waktu berdiri dua raka’at setelah duduk”. (Muttafaq ‘alaih).  

2.  عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ : كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  إِذَا قَامَ إِلَى الصَّلاَةِ يُكَبِّرُ حِيْنَ يَقُوْمُ ثُمَّ يُكَبِّرُ حِيْنَ يَرْكَعُ ثُمَّ يَقُوْلُ سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ حِيْنَ يَرْفَعُ صُلْبَهُ مِنَ الرَّكْعَةِ ثُمَّ يَقُوْلُ وَهُوَ قَائِمٌ : رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ ثُمَّ يُكَبِّرُ حِيْنَ يَهْوِى سَاجِدًا ثُمَّ يُكَبِّرُ حِيْنَ يَرْفَعُ رَأْسَهُ ثُمَّ يَقُوْلُ ذَالِكَ فِى الصَّلاَةِ كُلِّهَا وَيُكَبِّرُ حِيْنَ يَقُوْمَ مِنَ الثِّنْتَيْنِ بَعْدَ الْجُلُوْسِ . (متّفق عليه ).

3.  Dari Ibnu ‘Umar, r.a, sesungguhnya Rasulullah saw. mengangkat kedua tangannya sejajar dengan kedua pundaknya apabila ia memulai shalat dan apabila takbir untuk ruku’, serta apabila mengangkat kepala dari ruku, beliau mengangkat kedua tangannya seperti itu juga seraya mengucapkan“Sami’allahu liman hamidah Rabbana walakal hamdu”. (Mudah-mudhan Allah mendengar yang memuji-Nya, Ya Allah Tuhan kami milik Engkaulah segala puji ) .”(HR. Al-Bukhari – Fath al-Bari 2 : 456).

3.  عَنِ ابْنِ عُمَرَ : أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَرْفَعُ يَدَيْهِ حَذْوَ مَنْكِبَيْهِ إِذَا افْتَتَحَ الصَّلاَةَ وَإِذَا كَبَّرَ لِلرُّكُوْعِ وَإِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ الرُّكُوْعِ رَفَعَهُمَا كَذَلِكَ أَيْضًا وَقَالَ : سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ . (ر. البخارى – فتح البارى 2 : 456)

4.  Dari Abu Hurairah r.a, ia mengatakan,”Nabi saw. apabila mengucapkan “Sami’allahu liman hamidah”, beliau membaca “Allahumma Rabbana walakal hamdu”. (HR. Al-Bukhari – Fath al-Bari 2 : 538).  

4.  عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ : كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَالَ سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ , قَالَ : اَللَّهُمَّ رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ . (ر. البخارى – فتح البارى 2 : 538)

5.  Dari Ibnu Abu Aufa, ia mengatakan,” Rasulullah saw. apabila mengangkat punggungnya dari ruku’, beliau mengucapkan“Sami’allahu liman hamidah Allahumma rabbana lakal hamdu mil-us / mil-as samawati wa mil-ul / mil-al ardi wa mil-u / mil-a ma syi’ta min syai-in ba’du”. (HR. Muslim : 476).   

5.  عَنِ ابْنِ اَبِى اَوْفَى قَالَ : كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  إِذَا رَفَعَ ظَهْرَهُ مِنَ الرُّكُوْعِ , قَالَ : سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ اَللَّهُمَّ رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ مِلْءَُ السَّمَاوَاتِ وَمِلْءَُ اْلأَرْضِ وَمِلْءَُ مَا شِئْتَ مِنْ شَيْئٍ بَعْدُ .(رواه مسلم : 476).








6.  Dari Abu Sa’id al-Khudri, ia mengatakan,” Rasulullah saw. apabila mengangkat kepalanya dari ruku’, beliau mengucapkan“Rabbana lakal hamdu mil-us / mil-as samawati wa mil-ul / mil-al ardi wa mil-u / mil-a ma syi’ta min syai-in ba’du ahlats-tsanai walmajdi ahaqqu ma qalal ‘abdu wakulluna laka ‘abdun Allahumma la mani’a lima a’thaita wala mu’thia lima mana’ta wala yanfa’u dzal jaddi minkal jaddu”. (HR. Muslim : 477).   

6.  عَنْ اَبِى سَعِيْدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ : كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ الرُّكُوْعِ قَالَ : رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ مِلْءَُ السَّمَاوَاتِ وَمِلْءَُ اْلأَرْضِ وَمِلْءَُ مَا شِئْتَ مِنْ شَيْئٍ بَعْدُ اَهْلَ الثَّنَاءِ وَالْمَجْدِ اَحَقُّ مَا قَالَ الْعَبْدُ وَكُلُّنَا لَكَ عَبْدٌ , اَللَّهُمَّ لاَ مَانِعَ لِمَا اَعْطَيْتَ وَلاَ مُعْطِيَ لِمَا مَنَعْتَ وَلاَ يَنْفَعُ ذَا الْجَدِّ مِنْكَ الْجَدُّ .  (رواه مسلم : 477).

7.  Dari Abu Hurairah r.a ,ia mengatakan,…. Kemudian beliau mengucapkan“Sami’allahu liman hamidah”, ketika mengangkat punggungnnya dari ruku’ kemudian mengucapkan Rabbana walakal hamdu” dalam keadaan berdiri. (HR. Al-Bukhari – Fath al-Bari 2 : 525).

7.  عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ يَقُوْلُ :.... ثُمَّ يَقُوْلُ : سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ حِيْنَ يَرْفَعُ صُلْبَهُ مِنَ الرَّكْعَةِ ثُمَّ يَقُوْلُ وَهُوَ قَائِمٌ : رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ (ر. البخارى – فتح البارى 2 : 525)

8.  Dari Rifa’ah bin Rafi’ Azzarqa, ia mengatakan,”Pada suau hari, kami bermakmum kepada Nabi saw.. Maka tatkala beliau bangkit dari ruku’ mengucapkan, “Sami’allahu liman hamidah “, seseorang berkata di belakangnya,”Rabbana walakal hamdu hamdan katsiran thayyiban mubarakan fiih”. Maka ketika selesai (shalat), beliau bertanya,”Siapakah yang yang mengatakannya ?”. Ia menjawab,”Saya”. Beliau bersabda,”Aku melihat tiga puluh lebih Malaikat berlomba ingin menjadi yang pertama mencatatnya”. (HR. Al-Bukhari).

8.  عَنْ رِفَاعَةَ بْنِ رَافِعٍ الزَّرْقَى قَالَ : كُنَّا يَوْمًا نُصَلِّى وَرَاءَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ الرَّكْعَةِ قَالَ : سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ , قَالَ رَجُلٌ وَرَائَهُ : رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ حَمْدًا كَثِيْرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيْهِ , فَلَمَّا انْصَرَفَ قَالَ : مَنِ الْمُتَكَلِّمُ ؟ قَالَ : اَنَا , قَالَ : رَأَيْتُ بُضْعَةً وَثَلاَثِيْنَ مَلَكًا يَبْتَدِرُوْنَهَا أَيُّهُمْ يَكْتُبُهَا أَوَّلُ . (ر. البخارى)

9.  Dari Abu Hurairah r.a, sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda,”Apabila imam mengucapkan“Sami’allahu liman hamidah”, maka ucapkanlah oleh kalian (makmum) “ Rabbana lakal hamdu”. Karena barangsiapa bersamaan ucapannya itu dengan ucapan para Malaikat, diampuni dosa-dosanya yang telah lalu”.  (HR. Al-Bukhari – Fath al-Bari 2 : 539). 

9.  عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : إِذَا قَالَ اْلإِمَامُ سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ فَقُوْلُوْا : اَللَّهُمَّ رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ , فَإِنَّهُ مَنْ وَافَقَ قَوْلُهُ قَوْلَ الْمَلاَئِكَةِ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ . (ر. البخارى – فتح البارى 2 : 539)

10.            Dari Anas bin Malik r.a, sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda,”Dan apabila (imam) mengucapkan “Sami’allahu liman hamidah”, maka ucapkanlah oleh kalian (makmum) “ Rabbana lakal hamdu”. (HR. Al-Bukhari – Fath al-Bari 2 : 455).

10.            عَنْ اَنَسِ بْنِ مَالِكٍ : أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  قَالَ : وَإِذَا قَالَ سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ فَقُوْلُوْا : رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ. (ر. البخارى – فتح البارى 2 : 455)

11.            Dari ‘Amir ia mengatakan,”Kaum  yang dibelakang imam(makmum) tidak mengucapkan“Sami’allahu liman hamidah”, tetapi mereka mengucapkan“ Rabbana lakal hamdu”. (Sunan Abu Daud 1 : 206 no. 849).

11.            عَنْ عَامِرٍ قَالَ : لاَ يَقُوْلُ الْقَوْمُ خَلْفَ اْلإِمَامِ : سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ وَلَكِنْ يَقُوْلُوْنَ : رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ (سنن ابى داود 1 : 206 برقم : 849).


كيفية الصّلاة
KAIFIYAH S H A L A T
 (Bagian Ke-16)

“  BANGKIT DARI RUKU DAN I’TIDAL SERTA PERMASALAHANNYA “
( II )


B.  I’tidal Setelah Bangkit Dari Ruku’ Dan Posisi Tangan

Tentang posisi tangan ketika berdiri I’tidal setelah ruku tidak terdapat keterangan yang khusus. Hal ini berbeda dengan pada posisi-posisi yang lainnya dalam shalat, yaitu ketika takbiratul ihram; tangan diangkat sehingga sejajar dengan kedua bahu, pada qiyam ketika qiraah (membac Al-Fatihah dan surah atau Al-Fatihah saja) ; tangan digenggamkan pada pergelangan tangan kiri pada ulu hati. Ketika ruku’; tangan digenggamkan pada lutut, ketika sujud; tangan ditempatkan di tempat sujud sejajar dengan bahu. Ketika duduk antara dua sujud bahkan sampai pada duduk tahiyyah dan ketika bersalam ke sebelah kanan dan kiri, diterangkan bagaimana posisi tangan dan dimana ditempatkannya.
Adapun ketika I’tidal ba’da ruku; bergerak hendak bangkit dari ruku’, bergerak hendak sujud, bangkit dari sujud tidak ditentukan.

I.  Alasan Yang Berpendapat Bersedekap Ketika I’tidal

1.  Dari Wail bin Hujr, ia mengatakan,”Saya melihat Nabi saw ketika takbir mengangkat kedua tangannya sejajar dengan dua telinganya, kemudian ketika ruku’,  lalu ketika mengucapkan sami’allahu liman hamidah mengangkat kedua tangannya. Dan saya melihat beliau menggenggamkan tangan kanan pada tangan kiri beliau di dalam shalat…” (HR. Ahmad – Al-Musnad 6 : 478, no. 18893).

عَنْ وَائِلِ بْنِ حُجْرٍ قَالَ : رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِيْنَ كَبَّرَ رَفَعَ يَدَيْهِ حِذَاءَ أُذُنَيْهِ ثُمَّ حِيْنَ رَكَعَ ثُمَّ حِيْنَ قَالَ سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ رَفَعَ يَدَيْهِ وَرَأَيْتُهُ مُمْسِكًا بِيَمِيْنِهِ عَلَى شِمَالِهِ فِى الصَّلاَةِ ...(رواه أحمد)

Keterangan :
Hadits ini dhaif karena dalam sanadnya ada rawi bernama Abdullah bin al-Walid.
Ibnu Jahar berkata,”Ia itu shaduq tetapi sering salah”. Abu Hatim berkata,”Ia dicatat haditsnya tetapi tidak dijadikan hujjah”. (Tahdzibul Kamal 16 : 273).
Inilah rangkaian sanad hadits tersebut :
النبيّ – وائل بن حجر – أبيه (كليب) – عاصم بن كليب – سفيان – عبد الله بن الوليد – أبي (أحمد بن حنيل) – عبد الله بن أحمد بن حنبل.

Seandainya hadits ini mau dijadikan dalil bersedekap pada waktu I’tidal dan WAU yang terdapat pada kalimat Waroaetuhu dianggap WAU lil hal, akan tampaklah bahwa hadits ini tidak menunjukkan menempatkan tangan kanan di atas tangan kiri ketika I’tidal, tetapi ketika bangkit berdiri dari ruku’ dan mengucapkan sami’allahu liman hamidah. Dan sebenarnya WAU itu adalah WAU isti’naf. Dan karena terdapat kata fish-shalati (di dalan shalat) dan WAU-nya WAU isti’naf, maka maksudnya adalah ketika berdiri melakukan qiraah.

2.  Dari Abdullah bin Umar, ia mengatakan,”Sesungguhnya Nabi saw., beliau mengangkat kedua tangannya ketika takbir untuk ruku’ dan ketika turun untuk sujud”. (HR. Ath-Thabrani – Al-Mu’jamul Ausath 1 : 39).

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَرْفَعُ يَدَيْهِ عِنْدَ التَّكْبِيْرِ لِلرُّكُوْعِ وَعِنْدَ التَّكْبِيْرِ حِيْنَ يَهْوِى سَاجِدًا . (أخرجه الطّبراني)

Keterangan :
Hadits ini sangat lemah karena pada sanadnya terdapat seorang rawi bernama Al-Jarah bin Falih (Malih).
Ad-Daruquthni berkata,”Laisa bisyaiin wa huwa kabirul wahm”(Siyaru A’lamin nubala 9 : 109).
Inilah rangkaian sanad hadits tersebut :

النبيّ – إبن عمر – نافع – أرطاة بن المندر – الجراح بن فليح – أبي ( عبد الوهّاب )- الطّبراني









3.  Jika hadits-hadits di atas dhaif dan juga jika memang ketika I’tidal setelah ruku’ tidak terdapat keterangan yang khusus tentang posisi tangan, berbeda dengan pada posisi-posisi lain dalam shalat, maka dapat diberlakukan dalil-dalil umum berikut :

a.        Dari Sahl bin Sa’ad r.a, ia mengatakan,”Manusia diperintahkan untuk menempatkan tangan kanannya di atas hasta kirinya di dalam shalat”. (HR. Al-Bukhari 1 : 180).

‌أ.   عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : كَانَ النَّاسُ يُؤْمَرُوْنَ أَنْ نَضَعَ الرَّجُلُ الْيَدَ الْيُمْنَى عَلَى ذِرَاعِهِ الْيُسْرَى فِى الصَّلاَةِ . (رواه البخارى)

b.        Dari Ibnu Abas r.a, ia berkata,”Saya mendengar Nabi Allah saw. bersabda,”Sesungguhnya kami, para Nabi diperintahkan supaya menyegerakan berbuka dan mengakhirkan sahur kami, dan supaya menempatkan tangan-tangan kanan kami di atas tangan-tangan kiri kami pada shalat”. (HR. Ath-Thabrani – Majma’u Al-Zawaid 2 : 105).

‌ب.   عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ :سَمِعْتُ نَبِيَّ اللهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ : إِنَّا مَعْشَرَ اْلأَنْبِيَاءِ أُمِرْنَا بِتَعْجِيْلِ فِطْرِنَا وَتَأْخِيْرِ سَحُوْرِنَا وَأَنْ نَضَعَ أَيْمَانَنَا عَلَى شَمَائِلِنَا فِى الصَّلاَةِ . (رواه الطّبراني)

c.         Dari Wail bin Hujr r.a, ia berkata,”Saya melihat Rasulullah saw. jika berdiri ketika shalat beliau menggenggamkan tangan kanan di atas tangan kirinya”. (HR. An-Nasai).

‌ج.    عَنْ وَائِلِ بْنِ حُجْرٍ قَالَ : رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ قَائِمًا فِى الصَّلاَةِ قَبَضَ بِيَمِيْنِهِ عَلَى شِمَالِهِ . (رواه النّسائى)

d.     Dari Ghudlaif bin Harits, ia berkata,”Kami tidak lupa dari beberapa perkara yang (biasa) kami lupakan, sesungguhnya kami melihat Rasulullah saw. meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya dalam shalat”. (HR. Ahmad).

‌د.  عَنْ غَضِيْفِ بْنِ حَارِثٍ قَالَ : مَا نَسِيْتُ مِنَ اْلأَشْيَاءِ مَا نَسِيْتُ اَنِّيْ رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَاضِعًا يَمِيْنَهُ عَلَى شِمَالِهِ فِى الصَّلاَةِ . (أحمد – الفتح الربانى 3 : 173).

e.      Dari Qabishah bin Hulb dari ayahnya r.a, ia berkata,”Kami melihat Nabi saw. meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya dalam shalat”. (HR. Ahmad).

‌ه.   عن قبيصة بن هلب عن أبيه قال : رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَاضِعًا يَمِيْنَهُ عَلَى شِمَالِهِ فِى الصَّلاَةِ . (أحمد – الفتح الربانى 3 : 173).

Penjelasan :
Bukankah kata-kata fish-shalati pada hadits-hadits tersebut itu bersifat umum. Jadi, jika tidak ada keterangan yang khusus tentang posisi tangan ketika berdiri I’tidal setelah ruku, kembalikan saja kepada dalil-dalil yang umum tersebut, yaitu menempatkan tangan kanan di atas tangan kiri karena ketika I’tidal setelah ruku’ itu tercakup oleh kata fish-shalati.




*****  bersambung  *****









كيفية الصّلاة
KAIFIYAH S H A L A T
 (Bagian Ke-17)

“  BANGKIT DARI RUKU DAN I’TIDAL SERTA PERMASALAHANNYA “
(  III / Akhir  )

II.  Pendapat Kedua Yang Menyatakan Bahwa Ketika Berdiri I’tidal Posisi Tangan Tidak Bersedekap.

a.  Dalil-dalil Beridiri I’tidal Setelah Ruku’

1.  Dari Abdullah bin Umar r.a, ia mengatakan,”Saya melihat Rasulullah saw memulai shalatnya dengan takbir, beliau mengangkat kedua tangannya ketika takbir, sehingga menempatkannya sejajar dengan kedua bahunya. Dan apabila takbir untuk ruku’ beliau melakukan seperti itu, dan pabila mengucapkan sami’allahu liman hamidah, beliau melakukan seperti itu lagi dan mengucapkan rabbana walakal hamdu. Dan beliau tidak melakukan seperti itu ketika hendak sujud dan bangun dari sujud”. (HR. Al-Bukhari)

1.  عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِفْتَتَحَ التَّكْبِيْرَ فِى الصَّلاَةِ فَرَفَعَ يَدَيْهِ حِيْنَ يُكَبِّرُ حَتَّى يَجْعَلَهُمَا حَذْوَ مَنْكِبَيْهِ وَإِذَا كَبَّرَ لِلرُّكُوْعِ فَعَلَ مِثْلَهُ وَإِذَا قَالَ سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ فَعَلَ مِثْلَهُ وَقَالَ رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ , وَلاَ يَفْعَلُ ذَالِكَ حِيْنَ يَسْجُدُ وَلاَ حِيْنَ يَرْفَعُ رَأْسَهُ مِنَ السُّجُوْدِ . (رواه البخارى)

2.  Dari Abu Humaid as-Saidi r.a, ia mengatakan,”Rasulullah saw. itu apabila berdiri mengerjakan shalat beliau berdiri dengan tegak dan mengangkat kedua tangannya sehingga keduanya bertepatan dengan kedua bahunya,…kemudian mengucapkan sami’allahu liman hamidah dan mengangkat kedua tangannya, dan beliau berdiri tegak sehingga seluruh tulang kembali kepada posisinya dengan tegak”. (HR. Al-Khamsah kecuali An-Nasai).

2.  عَنْ أَبِي حُمَيْدٍ السَّاعِدِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَامَ إِلَى الصَّلاَةِ إِعْتَدَلَ قَائِمًا وَرَفَعَ يَدَيْهِ حَتَّى يُحَاذِيَ بِهِمَا مَنْكِبَيْهِ ..... ثُمَّ قَالَ سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ وَرَفَعَ يَدَيْهِ وَاعْتَدَلَ حَتَّى يَرْجِعَ كُلُّ عَظْمٍ فِى مَوْضِعِهِ مُعْتَدِلاً . (رواه الخمسة إلاّ النسائى)

Penjelasan  :

Pada hadits pertama diterangkan bahwa posisi tangan Nabi saw. ketika bangkit berdiri dari ruku dan mengucapkan sami’allahu liman hamidah, sama dengan ketika takbiratul ihram. Tetapi ketika I’tidak dan mengucapkan rabbana lakal hamdu, posisi tangan tidak diterangkan secara ekplisit.
Namun pada hadits kedua, diterangkan bahwa ketika hendak shalat dan menghadap kiblat dengan ketika berdiri I’tidal setelah ruku’ keduanya sama-sama diungkapkan dengan kata-kata I’tadala (berdiri tegak),  yaitu semua tulang kembali ke posisinya sehingga badan tegak lurus. Hal ini lebih jelas diterangkan oleh hadits-hadits sahih berikut :

3.  Kemudian beliau berdiri cukup lama sehingga setiap tulang menempati tempatnya. Maka apabila kamu bangkit dari ruku’, tegakkanlah punggungmu sehingga setiap tulang kembali ke posisinya. (HR. Abu Daud).

3.  ثُمَّ يَمْكُثُ قَائِمًا حَتَّى يَقَعَ كُلُّ عُظْوٍ مَوْضِعِهِ . فَإِذَا رَفَعْتَ رَأْسَكَ فَأَقِمْ صُلْبَكَ حَتَّى تَرْجِعَ الْعِظَامُ إِلَى مَفَاصِلِهَا . (رواه أبو داود)

4.  Dan Rasulullah saw. apabila bangkit dari ruku’nya beliau berdiri tegak sehingga setiap tulang kembali ke posisinya semula. (HR. Al-Bukhari).

4.  فَإِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ إِسْتَوَى حَتَّى يَعُوْدَ كُلُّ فَقَارٍ مَكَانَهُ . (أخرجه البخارى)








b.   Bantahan Terhadap Pendapat Pertama Yang Menyatakan Bahwa Berdiri Ketika I’tidal Itu Harus Sambil Bersedekap .

Menurut pendapat pertama bahwa jika hadits-hadits yang menerangkan adanya bersedekap ketika I’tidal itu dhaif dan juga jika memang ketika I’tidal setelah ruku’ tidak terdapat keterangan yang khusus tentang posisi tangan, berbeda dengan pada posisi-posisi lain dalam shalat, maka dapat diberlakukan dalil-dalil umum yaitu :

a.      Dari Sahl bin Sa’ad r.a, ia mengatakan,”Manusia diperintahkan untuk menempatkan tangan kanannya di atas hasta kirinya di dalam shalat”. (HR. Al-Bukhari 1 : 180).

‌أ.       عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : كَانَ النَّاسُ يُؤْمَرُوْنَ أَنْ نَضَعَ الرَّجُلُ الْيَدَ الْيُمْنَى عَلَى ذِرَاعِهِ الْيُسْرَى فِى الصَّلاَةِ . (رواه البخارى)

b.  Dari Ibnu Abas r.a, ia berkata,”Saya mendengar Nabi Allah saw. bersabda,”Sesungguhnya kami, para Nabi diperintahkan supaya menyegerakan berbuka dan mengakhirkan sahur kami, dan supaya menempatkan tangan-tangan kanan kami di atas tangan-tangan kiri kami pada shalat”. (HR. Ath-Thabrani – Majma’u Al-Zawaid 2 : 105).

‌ب.  عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ :سَمِعْتُ نَبِيَّ اللهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ : إِنَّا مَعْشَرَ اْلأَنْبِيَاءِ أُمِرْنَا بِتَعْجِيْلِ فِطْرِنَا وَتَأْخِيْرِ سَحُوْرِنَا وَأَنْ نَضَعَ أَيْمَانَنَا عَلَى شَمَائِلِنَا فِى الصَّلاَةِ . (رواه الطّبراني)

c.      Dari Wail bin Hujr r.a, ia berkata,”Saya melihat Rasulullah saw. jika berdiri ketika shalat beliau menggenggamkan tangan kanan di atas tangan kirinya”. (HR. An-Nasai).

‌ج.    عَنْ وَائِلِ بْنِ حُجْرٍ قَالَ : رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ قَائِمًا فِى الصَّلاَةِ قَبَضَ بِيَمِيْنِهِ عَلَى شِمَالِهِ . (رواه النّسائى)

d.     Dari Ghudlaif bin Harits, ia berkata,”Kami tidak lupa dari beberapa perkara yang (biasa) kami lupakan, sesungguhnya kami melihat Rasulullah saw. meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya dalam shalat”. (HR. Ahmad).

‌د.      عَنْ غَضِيْفِ بْنِ حَارِثٍ قَالَ : مَا نَسِيْتُ مِنَ اْلأَشْيَاءِ مَا نَسِيْتُ اَنِّيْ رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَاضِعًا يَمِيْنَهُ عَلَى شِمَالِهِ فِى الصَّلاَةِ . (أحمد – الفتح الربانى 3 : 173).

e.      Dari Qabishah bin Hulb dari ayahnya r.a, ia berkata,”Kami melihat Nabi saw. meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya dalam shalat”. (HR. Ahmad).

‌ه.       عن قبيصة بن هلب عن أبيه قال : رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَاضِعًا يَمِيْنَهُ عَلَى شِمَالِهِ فِى الصَّلاَةِ . (أحمد – الفتح الربانى 3 : 173).

Penjelasan :
Bukankah kata-kata fish-shalati pada hadits-hadits tersebut itu bersifat umum. Jadi, jika tidak ada keterangan yang khusus tentang posisi tangan ketika berdiri I’tidal setelah ruku, kembalikan saja kepada dalil-dalil yang umum tersebut, yaitu menempatkan tangan kanan di atas tangan kiri karena ketika I’tidal setelah ruku’ itu tercakup oleh kata fish-shalati.

Analisis  :

 Kata-kata fis-shalati pada hadits-hadits di atas tidak umum melainkan khusus, yaitu pada qiyam ketika membaca “Alqiraah”( Al-Fatihah dan Surah atau Al-Fatihah saja). Sebab bila dianggap umum, bagaimana seperti ketika kita menjunam untuk sujud. Karena hal inipun tercakup oleh kata-kata fis-shalati. Demikian juga tidak didapatkan keterangan adanya melepaskan tangan ketika hendak sujud jika ketika berdiri I’tidal itu posisi tangan sambil bersedekap.

Kesimpulan :

Ketika berdiri I’tidal setelah ruku’ kedua tangan tidak sedekap.





كيفية الصّلاة
KAIFIYAH S H A L A T
 (Bagian Ke-18)

MENJUNAM  /   BERGERAK TURUN UNTUK SUJUD



Hadits Mendahulukan Lutut

Dari Wail bin Hujr, ia berkata, “Aku melihat Rasulullah SAW, bila hendak sujud beliau meletakkan kedua lututnya sebelum kedua tangannya, dan bila bangkit beliau mengangkat kedua tangannya sebelum kedua lututnya.” (HR. At-Tirmidzi, Tuhfatul Ahwadzi II: 134; An-Nasai, Sunan An-Nasai,II: 222; Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, I: 287; Abu Daud, Aunul Ma’bud,III: 48.

عَنْ وَائِلِ بْنِ حُجْرٍ قَالَ : رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا سَجَدَ وَضَعَ رُكْبَتَيْهِ قَبْلَ يَدَيْهِ وَإِذَا نَهَضَ رَفَعَ يَدَيْهِ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ . (رواه النسائي والترمذي وابن ماجة وأبو داود).
a.    Mutabi ( Hadits lain dengan makna yang sama  dari Sumber / jalan periwayatan (sahabat) yang sama):

1.    (Abu Daud berkata) telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ma’mar, Hajaj bin Minhal telah mengkhabarkan kepada kami, Hamam telah mengkhabarkan kepada kami, Muhammad bin Jahadah telah mengkhabarkan kepada kami, dari Abdul Jabbar bin Wail, dari Ayahnya (Wail); Sesungguhnya Nabi SAW. –Maka Wail menerangkan hadits shalat- ia berkata, “Maka ketika beliau hendak sujud kedua lututnya kena pada tanah sebelum kedua telapak tangannya.” (HR. Abu Daud, Aunul Ma’bud: III: 48).

2.    (Abu Daud berkata) Muhammad bin Ma’mar telah menceritakan kepada kami, Hajaj bin Minhal telah mengkhabarkan kepada kami, Hamam telah mengkhabarkan kepada kami dan berkata, Syaqiq telah mengkhabarkan kepada kami, Ashim bin Kulaib telah menceritakan kepadaku, dari ayahnya (Kulaib bin Syihab), dari Nabi SAW …..(seperti hadits diatas).”(I+bid.,).

b.    Syahid ( Hadits lain dengan makna yang sama  namun dari Sumber / jalan periwayatan (sahabat) yang berbeda):

1.    Dari Anas bin Malik, ia berkata, “Aku melihat Rasulullah SAW bertakbir…. Kemudian beliau turun (ke tempat sujud) sambil bertakbir sehingga kedua lututnya mendahului kedua tangannya.” (HR. Al-Baihaqy, As-Sunanul Qubra II: 99; Ad-Daruqutny, Sunan Ad-Daruqutny I: 345; Al Hakim, Al mustadrak I: 226. Lafadz hadits diatas adalah lafadz Al Baihaqy.

2.    Dari Abu Hurairah, dariNabi SAW beliau bersabda, “Apabila seorang diantara kamu sujud, mulailah dengan kedua lututnya sebelum kedua tangannya dan janganlah menderum seperti menderumnya unta.” (HR. Al Baihaqy, Sunanul Qubra II: 100 dan Ibnu Abi Syaibah, al Mushannaf Ibnu Abi Syaibah I: 295).

c.  Amaliyah Sahabat

1.      Dari Ibrahim, bahwasanya Umar menempatkan kedua lututnya sebelum kedua tangan. (HR> Ibnu Abi Syaibah – al-Mushannaf Ibnu Abi Syaibah 1 : 295 dan Abdur Razah – al-Mushannaf Abdur Razak 2 : 177).

2.      Dari Nafi, sesungguhnya Ibnu Umar bila hendak sujud menempatkan kedua lututnya sebelum kedua tangannya dn bila bangkit mengangkat kedua tangannya sebelum kedua lututnya. (HR. Ibnu Abi Syaibah – al-Mushannaf 1 : 295).

Jarh dari Para Ulama :

1.  Hadits Wail bin Hujr tidak dapat dijadikan sebagai hujjah karena semua sanadnya melalui seorang rawi yang bernama Syarik bin Abdullah An – Nakha’I, ia itu shaduq, banyak salah, hafalannya berubah ketika menjadi qadhi di Kufah. (Tuhfatul Ahwadzi, II: 134.

2.  Sanad yang melalui rawi Hamam bin Yahya bin Muhammad bin Jahadah adalah munqathi, karena Abdul Jabar tidak mendengar hadits itu dari ayahnya (Wail). (Ibid.,) Sedangkan sanad yang melalui Syaqiq dari Ashim bin Kulaib dari ayahnya (Kulaib) dari Nabi SAW adalah mursal. Karena Kulaib bin Syihab tidak sezaman dengan Nabi (bukan sahabat). (Nailul Author, II: 281) Di samping itu Syaqiq adalah rawi yang majhul. (Tuhfatul Ahwadzi, II: 135).

3.  Syahid dari sahabat Anas hadisnya dhaif juga karena dalam sanadnya terdapat rawi bernama Al Ala bin Ismail, ia itu seorang majhul. (Nailul Author, II: 282).

4.  Syahid dari sahabat Abu Hurairah juga dhaif sebab dalam sanadnya ada rawi bernama Abdullah bin Said Al Maqburi, ia telah dinyatakan dhaif oleh Yahya Al Qathan dan yang lainnya. Bahkan Al Hakim mengatakan, “Dzahibul hadits”. (Nailul Author, II: 283).

Oleh sebab itu, hadits Wail yang dalam sanadnya terdapat rawi bernama Syarik bin Abdullah bisa diamalkan karena adanya mutabi sehingga menjadi hasan lighairihi. Demikian pula kedudukan hadits Anas bin Malik dan Abu Hurairah. Di samping itu juga hadits-hadits tersebut diperkuat oleh amaliyah sahabat.

Hadits Mendahulukan Tangan:

Dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Apabila salah seorang di antara kamu sujud, maka letakkanlah kedua tangannya sebelum kedua lututnya dan tidak boleh menderum seperti menderumnya unta.” (HR. An-Nasai, as-Sunanul Kubra, I: 99 dan Ahmad, al-Fathur Rabani, III: 276. Lafadz di atas adalah riwayat An-Nasai).

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِذَا سَجَدَ أَحَدُكُمْ فَلْيَضَعْ يَدَيْهِ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ وَلاَ يَبْرُكْ بُرُوْكَ الْبَعِيْرِ . (رواه النّسآئى وألو داود والدّرقطنى والبيهقى وأحمد).

Mutabi:
Dari Abu Hurairah, bahwasanya Nabi SAW bersabda: “Seseorang di antara kamu bersandar kemudian ia menderum dalam shalatnya sebagaimana menderumnya unta.” (HR. at-Tirmidzi, Tuhfatul Ahwadzi, II: 136 dan Abu Daud, Aunul Ma’bud, III: 51).

Syahid:

Dari Ibnu Umar, bahwasanya Rasulullah SAW apabila sujud beliau menempatkan kedua tangannya sebelum kedua lututnya. (HR. ad-Daruqutni, Sunan Ad Daruqutni I: 27).

Amaliyah sahabat:

Nafi berkata, bahwasanya Ibnu Umar, beliau menempatkan kedua tangannya sebelum kedua lututnya. (Shahih Al Bukhari I: 294)

Penilaian Para Ulama atas Sanad
1.     Sanad hadits Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh an-Nasai, ad-Daruqutni, Al-Baihaqi, dan Ahmad semuanya melalui seorang rawi bernama Abdul Aziz bin Muhammad Ad Darawardi. Tidak ada masalah dalam tafarrud-nya ad-Darawardi, sebab ia dipakai hujjah oleh Imam Muslim dalam kitab Shahihnya. Demikian pula Imam Al Bukhari memakainya maqrunan (disertai) oleh Abdul Aziz bin Abu Hazim. (Nailul Author, II: 284).

Riwayat Ad-Darawardi dalam shahih Muslim, lihat Kitabul Iman bab:
بَابُ الدَّلِيْلِ عَلَى أَنَّ مَنْ رَضِيَ بِاللهِ رَبًّا وَ بِاْلأِسْلاَمِ دِيْنًا وَ بِمُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَسُوْلاً فَهُوَ مُؤْمِنٌ وَ إِنِ ارْتَكَبَ الْمَعَاصِيَ الْكَبَائِرَ.
(shahih Muslim, I: 138). Dalam riwayat Al Bukhari, bab Qishah Abu Thalib. (Shahih Al Bukhari, IV: 138).
2.     Sanad Ad-Darawardi diperkuat pula oleh sanad Abdullah bin Nafi riwayat Abu Daud dan at-Tirmidzi (Tuhfatul Ahwadzi, II: 139).
3.     Hadits Abu Hurairah diperkuat pula oleh hadits Ibnu Umar dan amal Ibnu Umar.

ANALISIS

Hadits mendahulukan tangan sebelum lutut yang diriwayatkan melalui sahabat Abu Hurairah tidak dapat diamalkan, karena dalam sanadnya terdapat seorang rawi bernama Abdul Aziz bin Muhammad Ad Darawardi, dia itu sayyiul hifdzi (buruk hafalan). (Siyaru A’lamin Nubala VIII: 367). Karena itu, Imam Al Bukhari didalam kitab shahihnya menggunakan rawi ad-Darawardi ini secara maqrunan (didampingi) oleh rawi lainnya yang tsiqoh (kuat) seperti Abdul Aziz bin Abu Hazim. (Sahih Al Bukhari, IV: 138, bab kisah Abu Thalib).
Adapun Imam Muslim menggunakan rawi Ad Darawardi ini (haditsnya bukan mengenai mendahulukan tangan), tidak berarti ia tsiqah (tidak sayyiul hifdzi), melainkan karena dikuatkan oleh rawi lain bernama Al-Laits dalam riwayat At-Tirmidzi. (Tuhfatul Ahwadzi, VII: 373). Sedangkan hadits semacam ini (yang terdapat dalam riwayat Muslim) termasuk salah satu syarat Sahih Muslim. Itulah sebabnya Imam Muslim menggunakan rawi Ad Darawardi di dalam kitab Shahih-nya (lihat Muqaddimah Shahih Muslim, hal 5).
Berdasarkan keterangan-keterangan di atas, maka rawi yang bernama Ad Darawardi ini tidak dapat dipakai hujjah kalau tafarrud (sendirian) dalam periwayatannya.
Demikan pula mutabinya yang melalui rawi Abdullah bin Nafi riwayat Abu Daud dan at-Tirmidzi, dia juga sayyiul hifdzi. (Tahdzibul Kamal, XVI: 211).
Selanjutnya hadits yang menjadi syahid riwayat Ibnu Umar, baik yang marfu maupun yang mauquf (amaliyah sahabat), keduanya dhaif, karena pada kedua sanadnya sama-sama melalui rawi yang bernama Ad Darawardi yang dhaif di atas.


Kesimpulan :

1.     Mendahulukan lutut kemudian tangan ketika sujud adalah sesuai dengan sunnah Rasul dan haditsnya lebih rajih, karena hadits Wail bin Hujr berderajat hasan li ghairihi, dan cara seperti itu sebaliknya dari perilaku unta.

2.     Hadits mendahulukan tangan ketika hendak sujud adalah dhaif sanadnya, maqlub (terbalik) matannya. Dan tidak ada syahid maupun mutabi yang dapat mengangkat derajatnya.kedhaifannya.

3.     Mendahulukan tangan ketika hendak sujud menyerupai burukul bair (berderumnya unta) paling tidak dalam hal menuggingnya. Cara seperti inilah yang dilarang Rasulullah SAW.

كيفية الصّلاة
KAIFIYAH S H A L A T
 (Bagian Ke-19)

SUJUD DAN PERMASALAHANNYA
( I )

Sujud berasal dari kata sajada yasjudu yang artinya merendah dan tunduk. Hal ini secara umum berlaku bagi semua makhluk Allah, yaitu manusia, malaikat, jin, binatang, dan makhluk-makhluk jamadat (benda-benda hidup dan mati) di seluruh langit dan bumi. Oleh karena itu banyak sekali di jumpai ayat-ayat yang menerangkan hal itu, antara lain:

1.    Dan hanya kepada Allah bersujud seluruh makhluk langit-langit dan bumi dan menaungi mereka pada pagi dan petang. (QS. Ar-Ra’d: 15).

1.    وَِللهِ يَسْجُدُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتَ وَ اْلأَرْضِ طُوْعًاوَّكَرْهًاوَظِلاَلَهُمْ بِالْغُدُوِّ وَ اْلآَصَالِ.(الرعد: 15).

2.    Dan matahari serta bulan (beredar) menurut perhitungannya dan tumbuh-tumbuhan yang tidak berbatang dan pohon-pohonan keduanya tunduk kepada-Nya. (QS. Ar-Rahman: 5-6).

2.    اَلشَّمْسُ وَالْقَمَرُ بِحُسْبَانٍ# وَالنَّجْمُ وَالشَّجَرُ يَسْجُدَانِ . (الرحمن: 5-6).

3.    Dan hanya kepada Allah bersujud apa-apa yang ada di langit-langit dan bumi, dari bintang, adapun malaikat mereka tidak pernah takabur. (QS. An-Nahl: 49).

3.    وَِللهِ يَسْجُدُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي اْلأَرْضِ مِنْ دَابَّةٍ وَّ الْمَلاَئِكَةُ وَهُمْ لاَيَسْتَكْبِرُوْنَ . (النحل: 49).

Dan sujud yang di maksud ini adalah sujud taskhir, yaitu tunduk patuh tanpa ada penolakan. Maka apabila kita menyaksikan gunung yang meletus, burung yang terbang, angin yang bertiup dan kejadian-kejadian alam lainnya yang menguntungkan maupun yang merugikan manusia adalah merupakan wujud akan bentuk-bentuk kepatuhan dan ketaatan alam itu kepada Allah yang telah menciptakannya.

Adapun sujud, khususnya bagi manusia yang berkaitan dengan pahala, maka sujudnya disebut bittakhyir, diberi kemampuan memilih antara menaati dan menolaknya. Maka dari itu sujud bagi manusia ada dua macam, yaitu sujud secara umum dalam arti tunduk dan patuh terhadap semua perintah Allah SWT serta menjauhi larangan-laranganNya dan sujud dalam arti posisi tertentu di dalam shalat yang harus dilaksanakan dengan benar dan sungguh-sungguh.

Allah SWT berfirman:
Maka sujudlah kepada Allah dan beribadahlah. (QS. An-Najm: 62).

فَاسْجُدُوْا ِللهِ وَاعْبُدُوْا..

Sujud adalah posisi paling rendah dan paling merendah di dalam shalat, sehingga sujud mempunyai keistimewaan dalam hal amat terperinci dan jelas dalam penggambaran bentuk dan posisinya, dari mulai kening sampai tumit dan jari-jari kaki. Sehingga bagi yang melakukan shalat tetapi belum menyempurnakan sujudnya, maka shalatnya tidak sempurna. Hal ini dinyatakan oleh Rasulullah SAW di dalam hadits sebagai berikut:

Dari Abu Mas’ud al-Anshari, ia berkata, Rasulullah telah bersabda: “Suatu shalat belum sempurna sebelum yang shalat itu menegakkan punggungnya ketika ruku dan sujud.” (HR. Al-Khamsah).

وَعَنْ أَبِي مَسْعُوْدٍ اْلأَنْصَارِيِّ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لاَتُجْزِئُ صَلاَةٌ لاَيُقِيْمُ فِيْهَا الرَّجُلُ صُلْبَهُ فِي الرُّكُوْعِ وَالسُّجُوْدِ .(رواه الخمسة)

Anggota-Anggota Sujud

Anggota-anggota badan yang disunahkan untuk menyentuh tempat sujud adalah kening, hidung, kedua telapak tangan, kedua lutut dan ujung kaki. Terdapat beberapa hadits yang menerangkan hal tersebut, yaitu:

1.    Dari Al-Abas bin Abdul Muthalib bahwasanya ia mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Apabila seorang hamba sujud maka turut sujud bersamanya tujuh anggota: Wajah, kedua telapak tangan, kedua lutut, dan kedua kakinya. (HR. Al-Jamaah kecuali Al-Bukhari).

1.    عَنِ الْعَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَلِّبِ أَنَّهُ سَمِعَ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ : إِذَا سَجَدَ الْعَبْدُ سَجَدَ مَعَهُ سَبْعَةُ اَرَابٍ : وَجْهَهُ وَكَفَّاهُ وَرُكْبَتَاهُ وَقَدَمَاهُ .(رواه الجماعة إلاّ البخارى)

Hadits ini sangat jelas sekali merinci anggota-anggota sujud, yang artinya anggota badan yang disunahkan menyentuh tempat sujud.


Pada hadits ini pun diterangkan oleh Al-Abas bin Abdul Muthalib menggunakan kata-kata wajah, sedangkan menurut bahasa wajah adalah muka yang selain kening dan hidung tentu saja pipi, bibir, mata adalah termasuk bagiannya. Tetapi tentu saja tidak mungkin semua itu secara bersamaan dapat menyentuh tempat sujud.

Di dalam hadits yang disampaikan oleh Ibnu Abas berikut dijelaskan bahwa yang dimaksud wajah itu ternyata kening dan hidung.

2.    Dari Ibnu Abbas ra, ia berkata,”Nabi saw. memerintahkan sujud pada tujuh anggota badan dan jangan menyingkapkan rambut atau kain; kening, dua tangan, dua lutut dan dua kaki”. (HR. Al – Bukhari 1 : 280).

2.    عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ : أَمَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  أَنْ يَسْجُدَ عَلَى سَبْعَةِ أَعْضَاءِ وَلاَ يَكُفَّ شَعْرًا وَلاَ ثَوْبًا ؛ اَلْجَبْهَةُ وَالْيَدَيْنِ وَالرُّكْبَتَيْنِ وَالرِّجْلَيْنِ . (البخارى 1 : 280)     

3.    Nabi SAW telah bersabda, “Saya diperintah untuk sujud di atas tujuh anggota sujud atas kening lalu beliau berisyarat pada wajahnya, yaitu hidungnya, dua tangannya, dua lututnya serta dua kakinya. (Muttafaq Alaih).

3.    قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : أُمِرْتُ أَنْ أَسْجُدَ عَلَى سَبْعَةِ أَعْظُمٍ عَلَى الْجَبْهَةِ وَأَشَارَ بِوَجْهِهِ عَلَى أَنْفِهِ وَالْيَدَيْنِ وَالرُّكْبَتَيْنِ وَالْقَدَمَيْنِ .(متّفق عليه)

Maka berdasarkan ketiga riwayat di atas jelaslah bahwa bersujud dalam shalat itu hendaklah menyentuh kening, hidung, kedua telapak tangan, kedua lutut dan kedua ujung kaki ke tempat sujud.

4.    Dari Amir bin Sa’ad r.a, ia berkata,”Nabi saw. memerintah meletakkan dua tangan dan menancapkan dua ujung kaki pada waktu sujud”. (Mushannif Ibnu Abi Syaibah 1 : 234).

4.    عَنْ عَامِرِ بْنِ سَعْدٍ قَالَ : أَمَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  بِوَضْعِ الْكَفَّيْنِ وَنَصْبِ الْقَدَمَيْنِ فِى السُّجُوْدِ .(مصنف إبن أبى شيبة 1 : 234).

5.    Dari Abu Humaid r.a, tentang sifat shalat Rasulullah saw. berkata,”Apabila sujud merenggangkan antara dua pahanya tanpa membebankan perutnya sedikitpun pada dua pahanya”. (HR. Abu Daud).

5.    عَنْ أَبِى حُمَيْدٍ فِى صِفَةِ صَلاَةِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : إِذَا سَجَدَ فَرَّحَ بَيْنَ فَخِذَيْهِ غَيْرَ حَامِلِ بَطْنِهِ عَلَى شَيْئٍ مِنْ فَخِذَيْهِ . (ر. ابو داود )

6.    Selanjutnya bila Nabi sujud, beliau menyimpan dua telapak tangannya tanpa direngggangkan dan tidak dikepalkan, dan beliau menghadapkan ujung jari-jari dua telapak kakinya ke Kiblat. (H.R. Al Bukhari dari Abi Humaid as Sa’idy).

6.    فَإِذَا سَجَدَ وَضَعَ يَدَيْهِ غَيْرَ مُفْتَرِشٍ وَلاَ قَابِضَهُمَا وَاسْتَقْبَلَ بِأَطْراَفِ أَصَابِعِ رِجْلَيْهِ الْقِبْلَةَ. (البخاري عن أبي حميد الساعدي – بلوغ المرام رقم 284).


Tentang merapatkan jari tangan ketika sujud ?

Dari Wail sesungguhnya Nabi saw. apabila sujud menggabungkan jari-jari beliau.

عَنْ وَائِلٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا سَجَدَ ضَمَّ أَصَابِعَهُ.( ر. إبن حزيمة, إبن حبان ، الحاكم ، البيهقى)

Apabila kita perhatikan redaksi hadits di atas jelaslah bahwa hadits tersebut tidak menerangkan tentang merapatkan jari-jari tangan ketika sujud, tetapi menggabungkan jari-jari. Terlepas dari maksudnya yang jelas hadits tersebut dlaif.

Hadits tersebut diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Al-Hakim, al-Baihaqi. Namun semuanya melalui rawi bernama Husyaim bin Basyir. Dia terkenal mudallis (menyamarkan nama rawi agar disangka menerima padahal tidak). Pada sanad ini dia meriwayatkan hadits dari Ashim bin Kulaib padahal ia tidak pernah menerima dari Ashim. Lihat, Jamiut Tahshil, I : 294, Tahdzibut Tahdzib, XI : 54.


*****  bersambung  *****




كيفية الصّلاة
KAIFIYAH S H A L A T
 (Bagian Ke-20)

SUJUD DAN PERMASALAHANNYA
( II )
Wajib Tumaninah Dalam Sujud

1       Dari Abu Mas’ud al-Anshari, ia berkata : Rasulullah saw. telah bersabda,” Suatu shalat belum sempurna bila pada shalat itu seseorang tidak meluruskan punggungnya ketika ruku dan sujud”. (HR. Al Khamsah).

1       عَنْ أَبِي مَسْعُوْدٍ اْلأَنْصَارِيِّ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لاَ تُجْزِئُ صَلاَةٌ لاَ يُقِيْمُ فِيْهِ الرَّجُلُ صُلْبَهُ فِى الرُّكُوْعِ وَالسُّجُوْدِ . (ر. الخمسة)

2       Dari Anas r.a, ia berkata : Rasulullah saw. bersabda,”Tegakkanlah kalian di dalam sujud  dan janganlah salah seorang dari antara kamu membentangkan dua tangannya seperti terbentangnya anjing”.(HR. Muslim).

2       عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِعْدِلُوْا فِى السُّجُوْدِ وَلاَ يَبْسُطْ أَحَدُكُمْ ذِرَاعَيْهِ انْبِسَاطَ الْكَلْبِ. (رواه مسلم)

3       Dari Abu Hurairah r.a, sesungguhnya Nabi saw. masuk mesjid, lalu masuk pula seorang laki-laki lalu shalat. Setelah itu ia mendatangi Nabi saw. dan bersalam kepadanya. Rasulullah saw bersabda,” Kembalilah dan ulangi shalatnya, karena sesungguhnya engkau belum benar-benar shalat. Maka kembalilah ia lalu shalat seperti shalat (tadi). Setelah itu ia mendatangi Nabi saw. dan bersalam kepadanya. Rasulullah saw bersabda,” Kembalilah dan ulangi shalatnya, karena sesungguhnya engkau belum benar-benar shalat. Maka kembalilah ia lalu shalat seperti shalat (tadi). Setelah itu ia mendatangi Nabi saw. dan bersalam kepadanya. Rasulullah saw bersabda,” Kembalilah dan ulangi shalatnya, karena sesungguhnya engkau belum benar-benar shalat, hal itu (terjadi) tiga kali, lalu ia berkata: Demi Allah yang telah mengutusmu dengan kebenaran, aku belum dapat melakukan shalat yang lebih baik dari ini, ajarilah aku. Maka Rasulullah saw. bersabda: “Apabila kamu hendak melaksanakan shalat maka sempurnakanlah wudlu, kemudian menghadaplah ke arah kiblat maka bertakbirlah, kemudian bacalah sesuatu yang mudah bagimu dari al-Qur’an, kemudian ruku’lah sampai merasa Tuma’ninah dalam keadaan ruku’, kemudian bangkitlah sampai tegak lurus berdiri, kemudian sujudlah sampai tuma’ninah duduk, kemudian sujud lagi sampai tuma’ninah sujud, kemudian kerjakanlah itu semua dalam shalatmu”. (H.R. Bukhari, 1: 144)

3       عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ الْمَسْجِدَ فَدَخَلَ رَجُلٌ فَصَلَّى ثُمَّ جَآءَ فَسَلَّمَ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ : إِرْجِعْ فَصَلِّ فَإِنَّكَ لَمْ تُصَلِّ فَرَجَعَ فَصَلَّى كَمَا صَلَّى ثُمَّ جَآءَ فَسَلَّمَ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ : إِرْجِعْ فَصَلِّ فَإِنَّكَ لَمْ تُصَلِّ فَرَجَعَ فَصَلَّى كَمَا صَلَّى ثُمَّ جَآءَ فَسَلَّمَ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ : إِرْجِعْ فَصَلِّ فَإِنَّكَ لَمْ تُصَلِّ ثَلاَثًا فَقَالَ : وَالَّذِى بَعَثَكَ بِالْحَقِّ مَا أُحْسِنُ غَيْرَهُ فَعَلِّمْنِى  فَقَالَ : إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلاَةِ فَاسْبِغِ الْوُضُوْءَ ثُمَّ اسْتَقْبِلِ الْقِبْلَةَ فَكَبِّرْ ثُمَّ اقْرَأْ مَا تَيَسَّرَ مَعَكَ مِنَ الْقُرْآنِ ثُمَّ ارْكَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ رَاكِعًا ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَعْتَدِلَ قَائِمًا ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ جَالِسًا ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا ثُمَّ افْعَلْ ذَلِكَ فِي صَلاَتِكَ كُلِّهَا. (ر. البخاري 1: 144)

4       Dari Abu Qatadah, ia berkata : Rasulullah saw. telah bersabda,”Seburuk-buruk manusia dalam cara mencuri adalah yang mencuri dari shalatnya”. Mereka bertanya : Wahai Rasulullah, bagaimana mencuri dari shalatnya itu ?. Baliau menjawab,”Yaitu yang tidak menyempurnkan ruku dan sujudnya”. (HR. Ahmad).

4       عَنْ أَبِي قَتَادَةَ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : أَشَرُّ النَّاسِ سَرَقَةً الَّذِى يَسْرِقُ مِنْ صَلاَتِهِ ، فَقَالُوْا : يَا رَسُوْلَ اللهِ وَكَيْفَ يَسْرِقُ مِنْ صَلاَتِهِ ؟ قَالَ : لاَ يُتِمُّ رُكُوْعَهُ وَلاَ سُجُوْدَهُ....(ر. أحمد)






5       Dari Khudzaifah, sesungguhnya ia melihat seseorang yang tidak menyempurnakan ruku’ dan sujudnya, maka ketika orang itu menyelesaikan shalatnya, ia memanggilnya lalu berkatalah Khudzaifah kepadanya: “Kamu belum shalat? , Kalaulah kamu mati, niscaya kamu mati bukan dalam fitrah yang telah Allah fitrahkan kepada Muhammad saw.”. (H.R. Ahmad dan Al-Bukhari, )dan pada riwayat Ahmad ada tambahan setelah ucapannya, lalu berkatalah kepadanya Khudzaifah,”Sejak kapan engkau shalat (seperti ini)?, ia menjawab,”sejak empat puluh tahun yang lalu.”

5       عَنْ خُذَيْفَةَ أَنَّهُ رَأَى رَجُلاً لاَ يُتِمُّ رُكُوْعَهُ وَلاَ سُجُوْدَهُ فَلَمَّا قَضَى صَلاَتَهُ دَعَاهُ فّقَالَ لَهُ خُذَيْفَةَ: مَا صَلَّيْتَ؟ وَلَوْمُتَّ مَتَّ عَلَى غَيْرِ الْفِطْرَةِ الَّتِيْ فَطَرَ اللهُ عَلَيْهَا مُحَمَّدًا صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ .(ر.أحمد و البخاري )وَزَادَ أَحْمَدُ بَعْدَ قَوْلِهِ فَقَالَ لَهُ حُذَيْفَةَ : مُنْدُ كَمْ صَلَّيْتَ ؟ قَالَ : مُنْدُ أَرْبَعِبْنَ سَنَةً !

6       Dari Aisyah r.a. dia berkata, “Saya merasa kehilangan Rasulullah saw. suatu malam dari tempat tidur, maka saya cari-cari beliau, selanjutnya kenalah satu telapak tangan saya pada satu diantara dua telapak kaki Rasulullah saw, beliau ada di masjid dua telapak kaki itu tegak beliau berdo’a : “Ya Allah aku berlindung dari kemarahan Mu dengan keridloan Mu, berlindung dengan ampunan Mu dari siksaan Mu, saya berlindung pada Mu dari siksaan Mu, aku berlindung pada Mu dari Mu, aku tidak bisa menghitung pujian bagi Mu, yakni Engkau seperti Engkau memuji pada diri Mu. (H.R. Muslim 1 : 202).

6       عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ فَقَدْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْلَةً مِنَ الْفِرَاشِ فَالْتَمَسْتُهُ فَوَقَعْتُ يَدِيْ عَلَى بَطْنِ قَدَمَيْهِ وَهُوَ فِي الْمَسْجِدِ وَهُمَا مَنْصُوْبَتَانِ وَهُوَ يَقُوْلُ "اَللَّهُمَّ أَعُوْذُ بِرِضَاكَ عَنْ سَخَطِكَ وَبِمُعَافَاتِكَ مِنْ عُقُوْبَتِكَ وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْكَ لاَ أُحْصِي ثَنَاءً عَلَيْكَ أَنْتَ كَمَا أَثْنَيْتَ عَلَى نَفْسِكَ . (ر. مسلم 1 : 202).

7       Selanjutnya bila Nabi sujud, beliau menyimpan dua telapak tangannya tanpa direngggangkan dan tidak dikepalkan, dan beliau menghadapkan ujung jari-jari dua telapak kakinya ke Kiblat. (H.R. Al Bukhari dari Abi Humaid as Sa’idy).

7       فَإِذَا سَجَدَ وَضَعَ يَدَيْهِ غَيْرَ مُفْتَرِشٍ وَلاَ قَابِضَهُمَا وَاسْتَقْبَلَ بِأَطْراَفِ أَصَابِعِ رِجْلَيْهِ الْقِبْلَةَ. (البخاري عن أبي حميد الساعدي – بلوغ المرام رقم 284).

8       Dari Al-Barra, ia berkata: Rasulullah saw. bersabda,”Apabila engkau sujud, tempatkanlah dua telapak tanganmu dan angkatlah dua sikutmu.” (HR. Muslim).

8       عَنِ الْبَرَّاءِ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِذَا سَجَدْتَ فَضَعْ كَفَّيْكَ وَارْفَعْ مِرْفَقَيْكَ . (رواه مسلم)

9       Dari Abu Hurairah r.a, ia berkata,”Rasulullah saw. telah melarang aku dari tiga urusan (di dalam shalat) ; Mematuk-matuk seperti mematuk-matuknya ayam, duduk ik-‘a seperti duduknya anjing, dan menoleh-noleh seperti menolehnya musang”. (HR. Ahmad).

9       عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : نَهَانِي رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ ثَلاَثٍ : عَنْ نُقْرَةٍ كَنُقْرَةِ الدِّيْكِ وَإِقْعَاءٍ كَإِقْعَاءِ الْكَلْبِ وَإِلْتِفَاتٍ كَإِلْتِفَاتِ الثَّعْلَبِ. (ر. أحمد).

10  Dari Abdurrahman bin Sibli Al-Anshoriy, ia berkata : Bahwasanya Rasulullah saw. melarang dalam shalat tiga perkara ; Patukan gagak, bentangan binatang buas, dan seseorang menetap (untuk shalat sunnat) pada satu tempat (tempat shalat fardlu) sebagaimana unta menetap. (HR. Ahmad – al-Musnad 5 : 288 No. 15533).

10.            عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ شِبْلٍ اْلأَنْصَارِِيِّ  أَنَّهُ قَالَ : إِنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى فِى الصَّلاَةِ عَنْ ثَلاَثٍ : نَقْرِ الْغُرَابِ وَافْتِرَاشِ السَّبُعِ وَأَنْ يُوَطِّنَ الرَّجُلُ الْمَقَامَ الْوَاحِدَ كَإِيْطَانِ اْلإِبِلِ . ( أحمد – ألمسند 5 : 288 رقم : 15533).






كيفية الصّلاة
KAIFIYAH S H A L A T
 (Bagian Ke-21)

SUJUD DAN PERMASALAHANNYA
( III )
“ Tentang Merapatkan Dua Tumit “

Pada Pelaksanaan sujud telah masalah yang dipertanyaan, yaitu mengenai posisi kedua tumitApakah direnggangkan mengikuti kerenggangan lutut yang direnggangkan ataukah secara khusus dirapatkan ?

Pada waktu sujud Rasulullah saw. merenggangkan kedua paha dan lututnya. Hal ini sebagaimana diterangkan dalam hadits berikut :

Dari Abu Humaid r.a, tentang sifat shalat Rasulullah saw. berkata,”Apabila sujud merenggangkan antara dua pahanya tanpa membebankan perutnya sedikitpun pada dua pahanya”. (HR. Abu Daud).

عَنْ أَبِى حُمَيْدٍ فِى صِفَةِ صَلاَةِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : إِذَا سَجَدَ فَرَّحَ بَيْنَ فَخِذَيْهِ غَيْرَ حَامِلِ بَطْنِهِ عَلَى شَيْئٍ مِنْ فَخِذَيْهِ . (ر. ابو داود )
Penjelasan :
Keterangan di atas, jelas sekali menerangkan bahwa antara kedua paha, kedua lutut dan tentunya kedua betis renggang dan tidak rapat. Kata-kata farraja menunjukkan kesengajaan agar pada pelaksanaannya benar-benar renggang.

Imam Asy –Syaukani mengatakan,”Maksudnya ialah merenggangkan kedua paha, kedua lutut dan kedua tumit”. Dan kawan-kawan Imam Asy-Syaukani menerangkan bahwa renggangnya kurang lebih satu jengkal. (Nailul Authar 2 : 271).

Namun terdapat pendapat dari sementara orang yang menyatakan bahwa ketika sujud meskipun kedua paha, lutut dan betis direnggangkan namun secara khusus kedua tumit itu dirapatkan.

Dan keadaan Nabi saw. menempatkan pula dua lututnya dan ujung-ujung dua telapak kakinya (dan beliau menghadapkan ke kiblat pada ujung dua telapak kakinya ke kiblat) dan beliau merapatkan dua tumitnya dan menegakkan dua kakinya (kitab Shafatush sholatin nabiyyi susunan Muhammad Nasiruddin al Albany halaman 142).

وَكَانَ يُمَكِّنُ أَيْضًا رُكْبَتَيْهِ وَأَطْرَافَ قَدَمَيْهِ (وَيَسْتَقْبِلُ بِصُدُوْرِ قَدَمَيْهِ بِأَطْرَافِ أَصَابِعِهِمَا الْقِبْلَةَ) وَيَرُصُّ عَقَبَيْهِ وَيَنْصِبُ رِجْلَيْهِ. (صفة صلاة النبي – محمد ناصر الدين الألباني – 142).

Pendapat demikian beralasan dengan dalil-dalil dan keterangan berikut :

1.    Dari Urwah bin Zubair dari Aisyah, isteri Nabi saw. Ia berkata, “Saya kehilangan Rasulullah saw. padahal ia bersama saya di atas tempat tidur. Lalu saya mendapatkan beliau sedang sujud, beliau merapatkan kedua tumitnya sambil menghadapkan ujung jari-jari (kaki) ke kiblat…” (H.R. Ad-Daruquthni dan Al-Baihaqi).

1.    عَنْ عُرْوَةَ بْنِ الزُّبَيْرِ عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَدْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكَانَ مَعِي عَلَى فِرَاسِيِّ فَوَجَدْتُهُ سَاجِدًا رَاصًّا عَقِبَيْهِ مُسْتَقْبِلاً بِاَطْرَافِ اَصَابِعِهِ الْقِبْلَةَ . (ر. الدارقطنى والبيهقى).
Penjelasan :
Hadits ini sangat jelas dan tegas menyatakan khabar Aisyah r.a bahwa ketika sujud kedua tumit Rasulullah saw. itu dirapatkan.

Kedua, Hadits lain yang dijadikan dasar masih diterima dari ‘Aisyah r.a :

2.    Dari Aisyah r.a. dia berkata, “Saya kehilangan Rasulullah saw. suatu malam dari tempat tidur, maka saya cari-cari beliau, maka tanganku menyentuh bagian perut kedua telapak kaki beliau, beliau ada di masjid dan kedua telapak kaki beliau dalam keadaan tegak berdiri, beliau berdo’a : “Ya Allah aku berlindung dari kemarahan Mu dengan keridloan Mu, berlindung dengan ampunan Mu dari siksaan Mu, saya berlindung pada Mu dari siksaan Mu, aku berlindung pada Mu dari Mu, aku tidak bisa menghitung pujian bagi Mu, yakni Engkau seperti Engkau memuji pada diri Mu. (H.R. Muslim 1 : 202).

2.    عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ فَقَدْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْلَةً مِنَ الْفِرَاشِ فَالْتَمَسْتُهُ فَوَقَعْتُ يَدِيْ عَلَى بَطْنِ قَدَمَيْهِ وَهُوَ فِي الْمَسْجِدِ وَهُمَا مَنْصُوْبَتَانِ وَهُوَ يَقُوْلُ "اَللَّهُمَّ أَعُوْذُ بِرِضَاكَ عَنْ سَخَطِكَ وَبِمُعَافَاتِكَ مِنْ عُقُوْبَتِكَ وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْكَ لاَ أُحْصِي ثَنَاءً عَلَيْكَ أَنْتَ كَمَا أَثْنَيْتَ عَلَى نَفْسِكَ . (ر. مسلم 1 : 202).





3.    Dari Aisyah r.a. dia berkata, “Aku kehilangan Rasulullah saw. pada suatu malam, lalu aku mencarinya di mesjid, ternyata beliau sedang sujud dan kedua kedua telapak kaki beliau ditegak, dan beliau berdo’a : “Ya Allah aku berlindung dari kemarahan Mu dengan keridloan Mu, aku berlindung dengan ampunan Mu dari siksaan Mu, aku berlindung pada Mu dari siksaan Mu, aku berlindung pada Mu dari Mu, aku tidak bisa menghitung pujian bagi Mu, yakni Engkau seperti Engkau memuji pada diri Mu”. (HR. Abu Daud)

3.    عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ فَقَدْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْلَةً مِنَ الْفِرَاشِ فَالْتَمَسْتُهُ فَوَقَعْتُ يَدِيْ عَلَى بَطْنِ قَدَمَيْهِ وَهُوَ فِي الْمَسْجِدِ وَهُمَا مَنْصُوْبَتَانِ وَهُوَ يَقُوْلُ " أَعُوْذُ بِرِضَاكَ عَنْ سَخَطِكَ وَ أَعُوْذُ بِمُعَافَاتِكَ مِنْ عُقُوْبَتِكَ وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْكَ لاَ أُحْصِي ثَنَاءً عَلَيْكَ أَنْتَ كَمَا أَثْنَيْتَ عَلَى نَفْسِكَ .(رواه أبو داود).

4.    Dari Aisyah r.a. dia berkata, “Saya kehilangan Rasulullah saw. pada suatu malam,mulailah aku mencarinya dengan tanganku, maka tanganku menyentuh bagian perut kedua telapak kaki beliau dalam keadaan tegak berdiri, dan beliau berdo’a : “Ya Allah aku berlindung dari kemarahan Mu dengan keridloan Mu, aku berlindung dengan ampunan Mu dari siksaan Mu, aku berlindung pada Mu dari siksaan Mu, aku berlindung pada Mu dari Mu, aku tidak bisa menghitung pujian bagi Mu, yakni Engkau seperti Engkau memuji pada diri Mu”. (HR. Ibnu Khuzaimah)

4.    عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ فَقَدْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ لَيْلَةٍ فَجَعَلْتُ بِيَدِي فَوَقَعْتُ يَدِيْ عَلَى بَطْنِ قَدَمَيْهِ وَهُمَا مَنْصُوْبَتَانِ , فَسَمِعْتُهُ يَقُوْلُ " أَعُوْذُ بِرِضَاكَ عَنْ سَخَطِكَ وَ أَعُوْذُ بِمُعَافَاتِكَ مِنْ عُقُوْبَتِكَ وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْكَ لاَ أُحْصِي ثَنَاءً عَلَيْكَ أَنْتَ كَمَا أَثْنَيْتَ عَلَى نَفْسِكَ .(رواه إبن خزيمة).

Penjelasan :

Jika pada hadits pertama dengan sharih, terang dan jelas menggunakan kata sajidan rashshan aqibaihi (beliau sujud dengan merapatkan kedua tumitnya), maka pada hadits kedua menggunakan kata-kata : faltamastu fa waqa’at yadi ala batni qadamaihi (lalu aku mencarinya, maka tanganku menyentuh bagian perut kedua telapak kaki beliau dalam keadaan tegak berdiri). Penjelasan ‘Aisyah ra. Ini juga dapat difaham bahwa kedua tumit Rasulullah saw itu rapat. Buktinya kedua tumit dapat teraba oleh ‘Aisyah dengan satu tangan. Dan apabila direnggangkan, dengan hanya satu tangan tentulah tidak akan teraba kedua-duanya.
Demikian pula dua hadits selanjutnya masih keterangan ‘Aisyah yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan Ibu Majah.

ANALISIS  :

Tentang hadits pertama yang matannya sharih (terang) riwayat Ad-Daruquthni dan Al-Baihaqi yang menerangkan bahwa Rasulullah saw. ketika sujud merapatkan kedua tumitnya. Hadits ini tidak dapat dijadikan hujjah atau alasan, karena dhaif, yaitu pada sanadnya terdapat seorang rawi bernama Yahya bin Ayyub al-Ghafiqi. Yahya telah dijarah oleh para ulama disamping ada yang menta’dilnya.
Ahmad berkata, “Dia jelek hafalan” Ibnul Qaththan berkata, “Dia di antara orang yang aku ketahui keadaannya, dan sesungguhnya dia tidak bisa dipakai hujjah” Abu Hatim berkata, “Dia tidak bisa dipakai hujjah” An Nasai berkata, “Dia tidak kuat” Ad Daruquthni berkata, “Pada haditsnya ada idhtirab (ketidak pastian)” Ibnu Sa’ad berkata, “Dia mukarul hadits”. Lihat, Tahdzibut Tahdzib XI : 186; Mizanul I’tidal IV : 362; Hadyus Sari : 473-474).

Adapun hadits riwayat  Muslim saja, shahih sanadnya tetapi matannya dapat difahami bahwa Rasulullah saw.  merapatkan kedua tumitnya bila yang dijadikan alasan bahwa kedua tumit itu dapat teraba oleh ‘Aisyah dengan hanya satu tangan dan dengan satu kali meraba. Dan apabila direnggangkan, dengan hanya satu tangan dan satu sentuhan tentulah tidak akan teraba kedua-duanya. Tetapi dapat juga difahami tidak merapatkan kedua tumitnya jika kedua paha dan kedua lutut direnggangkan tentu saja kedua betis akan berenggangan. Akibatnya demikian pula kedua tumit akan saling berenggangan, dan yang disebut iltimas (meraba-raba) untuk mencari sesuatu menunjukkan bahwa situasi pada saat itu gelap dengan demikian tidak mustahil rabaan ‘Aisyah itu beberapa kali.
Karena ihtimalat (beberapa kemungkinan) pemahaman yang terdapat pada hadits itu, tentu saja hadits shahih riwayat ini tidak dapat dijadikan hujjah tentang kedua tumit rapat pada waktu sujud.
Dalam qaidah ushul diterangkan :

“ Masih sebatas kemungkinan (perkiraan) tidak bisa dijadikan dalil “

مَعَ اْلإِحْتِمَالِ يَسْقُطُ اْلإِسْتِدْلاَلُ
Oleh karena ihtimal maka perlu kepada qarinah atau dalil lain yang menegaskannya.
Sedangkan kata-kata merapatkan kedua tumit pada hadits pertama bukan merupakan keterangan ‘Aisyah r.a, melainkan idraj (tambahan) dari rawi yang dhaif yaitu Yahya bin Ayyub Al-Ghafiqi yang memang sering salah dalam meriwayatkan hadits bahkan sering kali idtirab (goyah), artinya ucapannya tidak tetap dan tidak dapat dipegang.





كيفية الصّلاة
KAIFIYAH S H A L A T
 (Bagian Ke-22)
DUDUK ANTARA DUA SUJUD

Duduk di antara dua sujud adalah duduk dengan cara dan sifat duduk tasyahud awal. Duduk ini sebagaimana halnya sujud dapat di lakukan sebentar, dapat juga dilakukan lama. Rasulullah SAW tidak akan bergerak untuk melakukan sujud kedua sebelum beliau benar-benar duduk dengan sempurna, tumakninah dan tegak.

1.  Dari Aisyah r.a ia mengatakan, ‘Rasulullah SAW apabila bangkit dari sujud tidak langsung sujud lagi sebelum benar-benar duduk dengan tegak’. (HR. Ahmad).

1.  عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ : كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ السُّجُوْدِ لَمْ يَسْجُدْ حَتَّى يَسْتَوِيْ قَائِدًا. (أحمد).

2.  Dari Abdurrahman bin Abza, bahwasanya ia shalat memperaktekan shalat Rasulullah SAW ia pun sujud sehingga setiap buku-buku tulang menempati tempatnya (tegak), lalu bangkit (duduk antara dua sujud) sehingga setiap tulang menempati tempatnya, lalu sujud sehingga setiap tulang menempati tempatnya, lalu sujud sehingga setiap buku-buku tulang menempatinya tempatnya (tegak)…. (HR. Ahmad).

2.  عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبْزَى رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّهُ صَلَّى يَصِفُ صَلاَةِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَجَدَ حَتَّى أَخَذَ كُلُّ عُضْوٍ مَأْخَذَهُ ثُمَّ رَفَعَ حَتَّى أَخَذَ كُلُّ عَظْمٍ مَأْخَذَهُ ثُمَّ سَجَدَ حَتَّى أَخَذَ كُلُّ عَظْمٍ مَأْخَذَهُ ....(أحمد).

3.  Dari Anas ia mengatakan, “Rasulullah SAW itu apabila mengucapkan ‘sami’allahu liman hamidah’ berdiri, sampai-sampai kami berucap, ‘Beliau telah melupakan (sujud), lalu beliau sujud dan duduk antara dua sujud, sampai-sampai kami berucap, ‘Beliau telah melupakan (sujud)’ (HR. Muslim).

3.  عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَالَ سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ قَامَ حَتَّى نَقُوْلَ قَدْ أَوْهَمَ ثُمَّ يَسْجُدُ وَ يَقْعُدُ بَيْنَ السَّجْدَتَيْنِ حَتَّى نَقُوْلَ قَدْ أَوْهَمَ . (مسلم).

4.  Dari Anas r.a ia mengatakan, sesungguhnya aku akan secara lengkap mempraktekan shalat untuk kalian sebagaimana shalat untuk kalian sebagaimana shalat yang telah aku lihat dilakukan oleh Rasulullah SAW ketika mengimami kami. Beliau apabila bangkit dari ruku, berdiri dengan tegak, sampai-sampai orang-orang mengatakan, ‘Beliau telah lupa (mesti sujud). Dan apabila bangkit dari sujud, lama (duduk), sampai-sampai orang-orang mengatakan ‘Beliau telah lupa (mesti sujud lagi).” (Muttafaq alaih).

4.  عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ إِنِّي َلآَلُوْ أَنْ أُصَلِّيَ بِكُمْ كَمَا رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّى بِنَا, فَكَانَ إِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ الرُّكُوْعِ اِنْتَصَبَ قَائِمًا حَتَّى يَقُوْلَ النَّاسَ قَدَ نَسِيَ وَإِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ السَّجْدَةِ مَكَثَ حَتَّى يَقُوْلُ النَّاسُ قَدْ نَسِيَ. (متفق عليه).

5.  Ruku Nabi SAW, sujudnya, duduk antara dua sujudnya dan berdiri I’tidal setelah rukunya, selain berdiri (ketika membaca) dan duduk (tasyahud), hampir sama lamanya.

5.  كَانَ رُكُوْعُ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَ سُجُوْدُهُ وَ بَيْنَ السَّجْدَتَيْنِ وَ إِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ الرُّكُوْعِ مَاخَلاَ الْقِيَامَ وَالْقُعُوْدَ قَرِيْبًا مِنَ السَّوَاءِ.(رواه البخارى)

Cara (bentuk) Duduk antara Dua Sujud
Cara atau sifat duduk antara dua sujud sama dengan cara duduk tasyahud awal.
1.  Dari Abu Humaid tentang sifat (cara) shalat Nabi SAW. Lalu beliaumenghamparkan kaki kirinya dan mendudukinya, lalu duduk dengan tegak sehingga setiap tulang kembali menempati tempatnya, lalu bergerak untuk sujud. (HR. Ahmad, Abu Dawud dan At-Tirmidzi).

1.  عَنْ أَبِي حُمَيْدٍ فِي صِفَةِ صَلاَةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ ثَنَى رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَقَعَدَ عَلَيْهَا اعْتَدَلَ حَتَّى رَجَعَ كُلُّ عَظْمٍ فِي مَوْضِعِهِ ثُمَّ هَوَى سَاجِدًا. (أحمد و أبو داود و الترمذي).


2.  Dari Memunah isteri Nabi SAW, ia berkata, ‘Rasulullah SAW apabila sujud merenggangkan kedua tangannya (menjauhi sikut dari samping perutnya) sampai terlihat putih kedua ketiaknya dari belakang dan apabila duduk beliau duduk tumakninah pada paha kirinya’. (HR. Muslim).

2.  عَنْ مَيْمُنَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَتْ : كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا سَجَدَ خَوَّي بِيَدَيْهِ (يَعْنِى جَنَّحَ) حَتَّى يَرَى وَضَحَ اِبْطَيْهِ مِنْ وَرَائِهِ وَ إِذَا قَعَدَ اِطْمَأَنَّ عَلَى فَخِذِهِ الْيُسْرَى. (مسلم).

Imam Nawawi mengatakan:
Maksudnya ialah apabila beliau duduk pada duduk antara dua sujud atau pada tasyahud awal. –Syarah Muslim An-Nawawi, IV: 212-

يَعْنِى إِذَا قَعَدَ بَيْنَ السَّجْدَتَيْنِ أَوْ فِي التَّشَهُّدِ اْلأُوْلَ .


3.  Dari Rifaah bin Rafi, sesungguhnya Nabi SAW bersabda kepada seorang Arab desa, “Apabila engkau sujud maka tentramkan untuk sujudmu itu dan apabila engkau duduk maka duduklah di atas kaki kirimu. (HR. Ahmad).

3.  عَنْ رِفَاعَةَ بْنِ رَافِعٍ : أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ ِلْلأَعْرَابِيِّ : إِذَا سَجَدْتَ فَمَكِّنْ لِسُجُوْدِكَ فَإِذَا جَلَسْتَ فَاجْلِسْ إِلَى رِجْلِكَ الْيُسْرَى. (أحمد).

4.  Dari Wail bin Hujr, bahwa ia melihat Nabi SAW. sedang shalat dan beliau sujud kemudian duduk dan menghamparkan kaki sebelah kirinya. (HR. Ahmad, Abu Dawud dan An-Nasai.) Sedangkan hadits di dalam riwayat Said bin Mansur, ia mengatakan, “Saya shalat di belakang Nabi SAW tatkala beliau duduk dan bertasyahud, beliau menghamparkan kaki sebelah kiri dan mendudukinya.

4.  عَنْ وَائِلِ بْنِ حُجْرٍ أَنَّهُ رَأَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي فَسَجَدَ ثُمَّ قَعَدَ وَافْتَرَشَ رِجْلَهُ الْيُسْرَى. (أحمد و أبو داود و النسائى) وَفِي لَفْظٍ لِسَعِيْدِ بْنِ مَنْصُوْرٍ قَالَ : صَلَّيْتُ خَلْفَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا قَعَدَ وَ تَشَهَّدَ فَرَشَ قَدَمَهُ الْيُسْرَى عَلَى اْلأَرْضِ وَجَلَسَ عَلَيْهَا.

5.  Dari Aisyah, ia mengatakan, “Adalah Rasulullah SAW membaca At-Tahiyat pada tiap-tiap rakaat. Dan beliau menghamparkan kaki kirinya dan menancapkan kaki kanannya. Beliau melarang seseorang duduk cara syaitan. Dan beliau melarang seseorang menghamparkan dua sikutnya seperti menghamparkan binatang buas. Dan beliau menutup shalatnya dengan salam. (HR. Ahmad, Muslim dan Abu Dawud).

5.  عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ : كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقُوْلُ فِي كُلِّ رَكْعَتَيْنِ اَلتَّحِيَّةُ وَ كَانَ يَفْرُشُ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَ يَنْصِبُ رِجْلَهُ الْيُمْنَى وَكَانَ يَنْهَى عَنْ عُقْبِ الشَّيْطَانِ وَ كَانَ يَنْهَى أَنْ يَفْتَرِشَ الرَّجُلُ ذِرَاعَيْهِ إِفْتِرَاشَ السَّبُعِ , وَ كَانَ يَخْتِمُ الصَّلاَةَ بِالتَّسْلِيْمِ . (أحمد و مسلم و أبو داود).

6.  Dari Abu Hurairah, ia berkata, Rasulullah SAW telah melarang aku dari tiga urusan (di dalam shalat), Mematuk-matuk seperti mematuk-mematuknya ayam, duduk ik-a’ seperti duduknya anjing, dan menoleh-nolehnya musang. (HR. Ahmad).

6.  عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ : نَهَانِى رَسُوْلُ اللِه صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ ثَلاَثٍ : عَنْ نَقْرَةٍ كَنَقْرَةِ الدِّيْكِ وَاِقْعَاءٍ كَإِقْعَاءِ الْكَلْبِ وَالْتِفَاتٍ كَالْتِفَاتِ الثَّعْلَبِ. (أحمد).

7.  Saya melihat Ibnu Umar melakukannya pada sujud pertama dari shalat yang genap dan ganjil, beliau menghamparkan kaki kirinya dan mendudukinya sedangkan kaki sebelah kanan tegak tertancap, akan tetapi setelah badannya menjadi sangat gemuk cara ini sangat berat untuk beliau lakukan. Maka jadilah beliau melakukan duduk ik-a’, yaitu dengan menghamparkan kedua kaki dan duduk di atas kedua tumitnya seraya menerangkan, “Janganlah kalian mengikuti cara dudukku, karena aku melakukan ini disebabkan aku telah sangat gemuk.” (Al-Muwatha: 898.

7.  رَأَيْتُ ابْنَ عُمَرَ يَفْعَلُ فِي السَّجْدَةِ اْلأُوْلَى عَنِ الشَّفْعِ وَالْوِتْرِ يُثْنَى رِجْلَهُ الْيُسْرَى فَيَبْسُطُهَا جَالِسًا عَلَيْهَا وَالْيُمْنَى يَقُوْمُ عَلَيْهَا يَحِدُ بِهَا وَ لَكِنَّهُ لَمَّا كَبُرَ كَانَ يَشُقُّ أَيْ يَقْعَدُ هَذَا الْقُعُوْدَ.
كيفية الصّلاة
KAIFIYAH S H A L A T
 (Bagian Ke-23)
BACAAN BACAAN PADA DUDUK ANTARA DUA SUJUD
( I )
A.  Lamanya Duduk

1.    Dari Abu Qilabah, sesungguhnya Malik Al-Huwairits mengatakan kepada para kawannya,” "...Maka beliau (Nabi) berdiri sebentar, lalu sujud, kemudian mengangkat kepalanya (bangkit dan duduk ) sebentar..."( HR. Al-Bukhari )

1.  عَنْ أَبِى قِلاَبَةَ أَنَّ مَالِكَ بْنِ الْحُوَيْرِثِ قَالَ ِلأَصْحَابِهِ .... فَقَامَ ثُمَّ رَكَعَ فَكَبَّرَ ثُمَّ رَفَعَ رَأْسَهُ فَقَامَ هُنَيَّةً ثُمَّ سَجَدَ ثُمَّ رَفَعَ رَأْسَهُ هُنَيَّةً ... (رواه البخارى)


2.    Dari Al-Bara, ia berkata, "Keadaan (lamannya) sujud Nabi saw., rukunya serta duduk antara dua sujudnya hampir sarna. " H. R.  Al-Bukhari, Fathul Bari, 11:445



2.  عَنِ الْبَرَّاءِ قَالَ : كَانَ سُجُوْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَرُكُوْعُهُ وَقُعُوْدُهُ بَيْنَ السَّجْدَتَيْنِ قَرِيْبًا مِنَ السَّوَاءِ (رواه البخارى)


3.    Dari Anas r.a ia mengatakan, sesungguhnya aku akan secara lengkap mempraktekan shalat untuk kalian sebagaimana shalat untuk kalian sebagaimana shalat yang telah aku lihat dilakukan oleh Rasulullah SAW ketika mengimami kami. Beliau apabila bangkit dari ruku, berdiri dengan tegak, sampai-sampai orang-orang mengatakan, ‘Beliau telah lupa (mesti sujud). Dan apabila bangkit dari sujud, lama (duduk), sampai-sampai orang-orang mengatakan ‘Beliau telah lupa (mesti sujud lagi).” (Muttafaq alaih).

3.  عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ إِنِّي َلآَلُوْ أَنْ أُصَلِّيَ بِكُمْ كَمَا رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّى بِنَا, فَكَانَ إِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ الرُّكُوْعِ اِنْتَصَبَ قَائِمًا حَتَّى يَقُوْلَ النَّاسَ قَدَ نَسِيَ وَإِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ السَّجْدَةِ مَكَثَ حَتَّى يَقُوْلُ النَّاسُ قَدْ نَسِيَ. (متفق عليه).

4.    Ruku Nabi SAW, sujudnya, duduk antara dua sujudnya dan berdiri I’tidal setelah rukunya, selain berdiri (ketika membaca) dan duduk (tasyahud), hampir sama lamanya.

4.  كَانَ رُكُوْعُ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَ سُجُوْدُهُ وَ بَيْنَ السَّجْدَتَيْنِ وَ إِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ الرُّكُوْعِ مَاخَلاَ الْقِيَامَ وَالْقُعُوْدَ قَرِيْبًا مِنَ السَّوَاءِ.(رواه البخارى)

B.  Bacaan-bacaannya

1.    Dari Hudzaifah, ia berkata, "Nabi saw. Bangun pada suatu rnalam untuk melakuhan salat malarn (tahajud)...kemudian beliau sujud seukuran dengan ketika mengangkat  kepalanya, kemudian beliau bangkit dan rnengucapkan, 'rabbighfirli'. (H.r. Ibnu Khuzaimah, Shahih Ibnu Khzaimah, I : 340-341


1.  عَنْ حُذَيْفَةَ قَالَ : قَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنَ اللَّيْلِ يُصَلِّى .... ثُمَّ سَجَدَ نَحْوًا مِمَّا رَفَعَ ثُمَّ رَفَعَ فَقَالَ : رَبِّ اغْفِرْلِى . (رواه ابن خزيمة)

Dalam riwayat Ad-Darimi (Sunan Ad-darimi, 1:348) dengan redaksi 

2.    Sesungguhnya Nabi saw. Mengucapkan antara dua sujud “ Rabbighfirli’”.


2.  أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقُوْلُ بَيْنَ السَّجْدَتَيْنِ : رَبِّ اغْفِرْلِى (رواه الدّارمى)







3.    Sesungguhnya Nahi saw. bersabda, ..kemudian beliau mengangkat kepalanya, dan keadaan duduk di antara dua sujud lamanya seukuran dengan sujud, dan beliau mengucapkan, ”Rabbighfirli – rabbighfirli “.(HR. Ahmad, Al-Musnad, IX :103


3.  َنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : ..... ثُمَّ رَفَعَ رَأْسَهُ فَكَانَ مَا بَيْنَ السَّجْدَتَيْنِ نَحْوًا مِنَ السُّجُوْدِ , وَكَانَ يَقُوْلُ : رَبِّ اغْفِرْلِى رَبِّ اغْفِرْلِى (رواه أحمد)

4.    Dari Hudzaifah, bahwasannya Nabi saw. berucap di antara dua sujud, ”Rabbighfirli – rabbighfirli “ . H.r. Ibnu Majah,Sunan Ibnu Majah, 1:289; An-Nasai, Sunan An-Nasai, 1:580; Ad-Darimi, Sunan Ad-Darimi, 1:304


4.  عَنْ حُذَيْفَةَ , أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقُوْلُ بَيْنَ السَّجْدَتَيْنِ : رَبِّ اغْفِرْلِى رَبِّ اغْفِرْلِى (رواه ابن ماجه)
Sedangkan dalam riwayat Abu Daud (Sunan Abu Daud, 1:200) dengan redaksi sebagai berikut:

5.    Dari Hudzaifah, bahwasanya ia melihat Rasulullah saw shalat malam. Beliau mengucapkan “Allahu Akbar …. Kemudian mengangkat kepalanya dari sujud dan duduk diantara dua sujud seukuran (lamanya) dengan sujud dan beliau mengucapkan, ”Rabbighfirli – rabbighfirli “. Beliau shalat empat raka’at, membaca dalam empat raka’atnya Surat Al-Baqarah, Surat Ali ‘Imran. Surat An-Nisa dan Surat Al-Maidah atau Al-An’am.


5.  عَنْ حُذَيْفَةَ , َنَّهُ رَاءَ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّى مِنَ اللَّيْلِ فَكَانَ يَقُوْلُ : اَللهُ أَكْبَرُ ....  ثُمَّ رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ السُّجُوْدِ وَكَانَ يَقْعُدُ فِيْمَا بَيْنَ السَّجْدَتَيْنِ نَحْوًا مِنْ سُجُوْدِهِ وَكَانَ يَقُوْلُ : رَبِّ اغْفِرْلِى رَبِّ اغْفِرْلِى فَصَلَّى أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ فَقَرَأَ فِيْهِنَّ اَلْبَقَرَةَ وَآَلِ عِمْرَانَ وَالنِّسَاءَ وَالْمَائِدَةَ أَوِ اْلأَنْعَامَ .(رواه أبو داود)

Hadis ini diriwayatkan pula oleh AI-Baihaqi (As-Sunanus Shaghir, 1:267) dan Abu Daud At­Thayalisi (Musnad At-Thayalisi, I:56) dengan redaksi sedikit berbeda. Kemudian A1-Baihaqi dalam kitabnya yang lain, yaitu As-Sunanul Kubra, 11:121, memuat hadits ini dengan redaksi yang ringkas sebagai berikut:

6.    Sesungguhnya ia shalat bersama Nabi saw. Ia menyebutkan hadits; ia berkata,”Beliau mengucapkan diantara dua sujud ‘Rabbighfirli – rabbighfirli’ dan beliau duduk seukuran (lamanya) dengan sujudnya.


6.  أَنَّهُ صَلَّى مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَ الْحَدِيْثَ قَالَ : وَكَانَ يَقُوْلُ بَيْنَ السَّجْدَتَيْنِ : رَبِّ اغْفِرْلِى رَبِّ اغْفِرْلِى وَجَلَسَ بِقَدْرِ سُجُوْدِهِ.(رواه البيهقى)

Hadis-hadis di atas, baik bacaan. rabbigfirli satu kali maupun dua kali, secara keseluruhan shahih, walaupun pada umumnya diriwayatkan melalui rawi yang mubham (tidak disebut namanya) dan hanya disebut rajulan min bani Absin (seseorang dari Bani Absin), namun ke­-mubham-an ini menjadi hilang karena temyata pada sanad Ibnu Majah disebutkan bahwa yang menerima dari Hudzaifah itu dua orang, yakni Thalhah bin Yazid dan Shilah bin Zufar. Karena itu, Syu'bah memandang bahwa rajulan min bani Absin itu adalah Shilah bin Zufar. (As-Sunanul Kubra, II:121)

Dengan demikian bacaan Rabbigfirli disebut satu kali dalam hadis pertama, dan dua kali pada hadis kedua tidak menunjukkan batas berdasarkan dalil-dalil. Kadang-kadang Rasulullah lama dalam duduk antara dua sujud itu.



*****   bersambung   *****







كيفية الصّلاة
KAIFIYAH S H A L A T
 (Bagian Ke-24)


BACAAN BACAAN PADA DUDUK ANTARA DUA SUJUD
(  II / Akhir  )


Bacaan Lain selain Rabbigfirli

1.    Dari Ibnu Abbas, bahwasanya Nabi saw. mengucapkan ketika duduk di antara dua sujud, "  'allahuma .... ( artinya : Ya Allah, semoga Engkau mengampuni aku, mengasihani aku, memaafkan aku , memimpin aku, dan mengaruniaku )”. (HR. Abu Daud)

1.    عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ , أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقُوْلُ بَيْنَ السَّجْدَتَيْنِ : اَللَّهُمَّ اغْفِرْلِي وَارْحَمْنِي وَعَافِنِي وَاهْدِنِي وَارْزُقْنِي . (رواه أبو داود)

2.    Dari Ibnu Abbas, bahwasanya Rasulullah saw.  mengucapkan ketika duduk di antara dua sujud, "  'allahuma .... ( artinya : Ya Allah, semoga Engkau mengampuni aku, mengasihani aku, mencukupkan aku, mengangkat (derajat) aku,  memimpin aku, dan mengaruniaku )”. (HR. Al-Hakim)

2.    عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ , كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ بَيْنَ السَّجْدَتَيْنِ : اَللَّهُمَّ اغْفِرْلِي وَارْحَمْنِي وَاجْبُرْنِي وَارْفَعْنِي وَاهْدِنِي وَارْزُقْنِي . (رواه الحاكم)

Pada riwayat A1-Hakim lainnya dengan redaksi :

3.    ( artinya : Ya Allah, semoga Engkau mengampuni aku, mengasihani aku, memimpin aku, memaafkan aku , dan mengaruniaku )”

3.    اَللَّهُمَّ اغْفِرْلِي وَارْحَمْنِي وَاهْدِنِي وَعَافِنِي وَارْزُقْنِي

At-Tirmidzi meriwayatkan dengan lafal :

4.    Dari Ibnu Abbas, bahwasanya Nabi saw.  mengucapkan ketika duduk di antara dua sujud, "  'allahuma .... ( artinya : Ya Allah, semoga Engkau mengampuni aku, mengasihani aku, mencukupkan aku, memimpin aku, dan mengaruniaku )”. (HR. At-Tirmizi)

4.    عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ , أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقُوْلُ بَيْنَ السَّجْدَتَيْنِ : اَللَّهُمَّ اغْفِرْلِي وَارْحَمْنِي وَاجْبُرْنِي وَاهْدِنِي وَارْزُقْنِي . (رواه الترمذى)

Abu Ahrnad Al-Hakim dalam kitabnya Syi'ar Ashabil hadits I:59, meriwayatkan dengan lafal :

5.    ( artinya : Ya Allah, semoga Engkau mengampuni aku, mengasihani aku, mencukupkan aku, memaafkan aku, memimpin aku, dan mengaruniaku )”

5.    اَللَّهُمَّ اغْفِرْلِي وَارْحَمْنِي وَاجْبُرْنِي وَعَافِنِي وَاهْدِنِي وَارْزُقْنِي

Muhamad bin Abdul Wahid dalam kitabnya Al-Ahaditsul Mukhtarah, 1:133-134 meriwayatkan dengan lafal :

6.    ( artinya : Ya Allah, semoga Engkau mengampuni aku, mengasihani aku, memimpin aku,  memaafkan aku , mengaruniaku dan mencukupkan aku )”

6.    اَللَّهُمَّ اغْفِرْلِي وَارْحَمْنِي وَاهْدِنِي وَعَافِنِي وَارْزُقْنِي وَاجْبُرْنِي





Ibnu Majah meriwayatkan dengan lafal :

7.    Dari Ibnu Abbas, bahwasanya Rasulullah saw.  mengucapkan ketika duduk di antara dua sujud pada shalat malam, "  'Rabbighfirli .... ( artinya : Rabb-ku, semoga Engkau mengampuni aku, mengasihani aku, mencukupkan aku, mengaruniaku, dan mengangkat (derajat) aku )”. (HR. Ibnu Majah)

7.    عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ , كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ بَيْنَ السَّجْدَتَيْنِ فِى الصَّلاَةِ اللَّيْلِ : رَبِّ اغْفِرْلِي وَارْحَمْنِي وَاجْبُرْنِي وَارْزُقْنِي وَارْفَعْنِي . (رواه ابن ماجه)

A1-Baihaqi meriwayatkan dengan 2 lafal :

8.    ( artinya : Rabb-ku, semoga Engkau mengampuni aku, mengasihani aku, mencukupkan aku, mengangkat (derajat) aku, mengaruniaku, dan memimpin aku )”

8.    رَبِّ اغْفِرْلِي وَارْحَمْنِي وَاجْبُرْنِي وَارْفَعْنِي وَارْزُقْنِي وَاهْدِنِي

lafal ini sama dengan riwayat Imam Ahmad (AI-Nlusraad, L315) dan At-Thabrani (Al-Mu’jamul Kabir XII : 20).
9.    ( artinya : Rabb-ku, semoga Engkau mengampuni aku, mengasihani aku, mengangkat (derajat) aku, dan mencukupkan aku)”

9.    رَبِّ اغْفِرْلِي وَارْحَمْنِي وَارْفَعْنِي وَاجْبُرْنِي

At-Thabrani (Al-Mujanaul Kabir XII:25) meriwayatkan pula dengan lafal :

10.            ( artinya : Rabb-ku, semoga Engkau mengampuni aku, mengasihani aku, memimpin aku, memaafkan aku , dan mengaruniaku )”

10.            رَبِّ اغْفِرْلِي وَارْحَمْنِي وَاهْدِنِي وَعَافِنِي وَارْزُقْنِي

Lafal ini sama dengan riwayat Muhamad bin Abdul Wahid (Al­AhaditsAl-Mukhtarah, X:133). Dan ia meriwayatkan pula (Al-Ahadits Al­Mukhtarah, X:134-135) dengan lafal :

11.            ( artinya : Rabb-ku, semoga Engkau mengampuni aku, mengasihani aku, mengangkat (derajat) aku, mengaruniaku, dan memimpin aku)”

11.            رَبِّ اغْفِرْلِي وَارْحَمْنِي وَارْفَعْنِي وَارْزُقْنِي وَاهْدِنِي

Abu Ahmad Al-Hakim (Syi'ar Ashabil Hadits, 1:59) meriwayatkan dengan lafal :

12.            ( artinya : Rabb-ku, semoga Engkau mengampuni aku, mengasihani aku, mencukupkan aku, mengangkat (derajat) aku, mengaruniaku, dan memimpin aku )”

12.            رَبِّ اغْفِرْلِي وَارْحَمْنِي وَاجْبُرْنِي وَارْفَعْنِي وَارْزُقْنِي وَاهْدِنِي


Hadis-hadis di atas sernuanya bersumber dari Ibnu Abas yang diriwayatkan melalui Kamil bin al­'Ala, ia menerima dari Habib bin Abu Tsabit.

Kesimpulan  :

1.      Lamanya duduk antara dua sujud bergantung atas panjang dan pendeknya bacaan.
2.      Bacaan rabbighfirli dan lainnya dapat diamalkan.
3.      Bacaan-bacaan sujud boleh dibaca lebih dari satu kali.


كيفية الصّلاة
KAIFIYAH S H A L A T
 (Bagian Ke-25)



BANGKIT  BERDIRI  DARI  SUJUD  KEDUA  PADA  RAKA’AT  GANJIL

1.Dari Abu Qilabah, ia mengatakan, 'Telah 'mengabarkan kepada kami Malik bin al­ Huwairis, bahwasannya ia melihat Nabi saw. sedang shalat, yaitu apabila beliau pada bilangan ganjil pada shalatnya, beliau tidak bangkit sebelum duduk terlebih dahulu dengan tegak". (H.R.Al-Bukhari)

1.عَنْ أَبِى قِلاَبَةَ قَالَ : أَخْبَرَنَا مَالِكُ بْنُ الْحُوَيْرِثِ أَنَّهُ رَأَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّى , فَإِذَا كَانَ فِى وِتْرٍ فِى صَلاَتِهِ لَمْ يَنْهَضْ حَتَّى يَسْتَوِيَ قَاعِدًا . (رواه البخارى)

2.Rasulullah saw. bersabda, “Jangan kalian terburu-buru bermakmum kepadaku di dalam berdiri dan dudukku, karena aku telah semakin gemuk.” (HR. Ibnu Majah).

2.قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لاَ تُبَادِرُوْنِى بِالْقِيَامِ وَالْقُعُوْدِ فَإِنِّى قَدْ بَدَنْتُ . (رواه ابن ماجة)

3.Dari Abu Qilabah ia mengatakan, "Telah datang kepada kami Malik bin Al-Huwairis, maka ia shalat di mesjid kami ini, beliau mengatakan, ‘Aku akan shalat untuk kalian. Namun aku bukan hendak shalat, tetapi aku ingin memperlihatkan bagaimana aku melihat Rasulullah saw. salat.' Ayyub berkata , Maka aku bertanya kepada Abu Qilabah, Bagaimana shalatnya itu ?’.Beliau menjawab, 'Seperti shalatnya syaikh kita ini,' Yaitu Amr bin Salamah. Ayyub berkata lagi, 'Dan syaikh itu menyempurnakan takbir, dan apabila bangkit dari sujud kedua, beliau duduk dan menekankan tangannya ke bumi, barulah berdiri". (HR. Al-Bukhari). Imam Al-Bukhari mengatakan, "Bab menekan ke bumi apabila bangkit dari sujud".

3.عَنْ أَبِى قِلاَبَةَ قَالَ : جَائَنَا مَالِكُ بْنُ الْحُوَيْرِثِ فَصَلَّى بِنَا فِى مَسْجِدِنَا هَذَا , فَقَالَ : إِنِّى َلأُصَلِّيَ بِكُمْ وَمَا أُرِيْدُ الصَّلاَة َوَلَكِنَّنِي أُرِيْدُ أَنْ أُرِيَكُمْ كَيْفَ رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّى . قَالَ أَيُّوْبُ : فَقُلْتُ ِلأَبِى قِلاَبَةَ : كَيْفَ كَانَتْ صَلاَتُهُ ؟ قَالَ : مِثْلَ صَلاَةِ شَيْخِنَا هَذَا يَعْنِى عَمْرَو بْنَ سَلَمَةَ , قَالَ أَيُّوْبُ : وَكَانَ ذَالِكَ الشَّيْخُ يُتِمُّ التَّكْبِيْرَ وَإِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ عَنِ السَّجْدَةِ الثَّانِيَةِ جَلَسَ وَاعْتَمَدَ عَلَى اْلأَرْضِ ثُمَّ قَامَ .(رواه البخارى) وَقَالَ : بَابٌ يَعْتَمِدُ عَلَى اْلأَرْضِ إِذَا قَامَ مِنَ الرَّكْعَةِ.

4.Dari Abu Hurairah dan lbnu Mas’ud, bahwasanya Nabi saw bangkit dari sujudnya di atas pangkal  kakinya. (HR. Said bin Mansur)

4.عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ وَابْنِ مَسْعُوْدٍ أَنَّهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَنْهَضُ عَلَى صُدُوْرِ قَدَمَيْهِ . (رواه سعيد بن منصور)

5.Dari Wail bin Hujrin, sesunguhnya Nabi saw. tatkala beliau sujud, terlebih dahulu  menyentuhkan kedua lututnya sebelum kedua telapak tangannya ke bumi. Dan apabila sujud beliau meletakkan  keningnya diantara kedua tangannya dan merenggangkannya dari ketiaknya, dan apahila beliau bangkit, bangkit di atas kedua lututnya dan menekan di atas kedua pahanya. (HR.  Abu Daud).

5.عَنْ وَائِلِ بْنِ حُجْرٍ أَنَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا سَجَدَ وَقَعَتْ رُكْبَتَاهُ إِلَى اْلأَرْضِ قَبْلَ أَنْ يَقَعَ كَفَّاهُ , فَلَمَّا سَجَدَ وَضَعَ جَبْهَتَهُ بَيْنَ كَفَّيْهِ وَجَافَى عَنْ إِبْطَيْهِ وَإِذَا نَهَضَ نَهَضَ عَلَى رُكْبَتَيْهِ وَاعْتَمَدَ عَلَى فَخِذَيْهِ . (رواه أبو داود)

6.Dari Wail bin Hujr, ia berkata, “Aku melihat Rasulullah Saw, bila hendak sujud beliau meletakkan kedua lututnya sebelum kedua tangannya, dan bila bangkit beliau mengangkat kedua tangannya sebelum kedua lututnya.” (HR. At-Tirmidzi, Tuhfatul Ahwadzi II: 134; An-Nasai, Sunan An-Nasai,II: 222; Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, I: 287; Abu Daud, Aunul Ma’bud,III: 48.

6.عَنْ وَائِلِ بْنِ حُجْرٍ قَالَ : رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا سَجَدَ وَضَعَ رُكْبَتَيْهِ قَبْلَ يَدَيْهِ وَإِذَا نَهَضَ رَفَعَ يَدَيْهِ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ . (رواه النسائي والترمذي وابن ماجة وأبو داود).




Pandangan Para Ulama :

1.  “Hadits tersebut menunjukkan disyari'atkannya duduk istirahat dan itulah pendapat imam Asy-Syafi'i dan segolongan ahli hadits "(Fath al-Bari' II : 302.)

1.وَفِيْهِ مَشْرُوْعِيَّةُ جَلْسَةِ اْلإِسْتِرَاحَةِ وَأَخَذَبِهَا الشَّافِعِيُّ وَطَائِفَةُ مِنْ أَهْلِ الْحَدِيْثِ . ( فتح البارى 2 : 302).

2.  “Duduk ini disebut duduk istirahat, dan demikianlah pendapat Asy-Syafi'i dalam salah satu dari dua qaulnya (qaul Qadim dan qaul Jadid) akan tetapi yang mashur darinya ialah sebagaimana pendapat Hanafiyyah, Malik, Ahmad, dan Ishaq, ialah duduk tersebut tidak disyari'atkan. Dan yang jelas Nabi melakukan hal itu disaat Nabi tua dan lemah badannya."(Ta'liq Bulughul Maram hal 61).

2.هَذِهِ الْقَعْدَةُ تُسَمَّى جِلْسَةَ اْلإِسْتِرَاحَةِ ذَهَبَ إِلَى الْقَوْلِ بِهَا الشَّافِعِيُّ فِى أَحَدِ قَوْلَيْهِ وَلَكِنَّ الْمَشْهُوْرَ عَنْهُ مَا ذَهَبَ إِلَيْهِ الْحَنَفِيَّةُ وَمَالِكٌ وَأَحْمَدُ وَإِسْحَاقُ أَنَّهُ لاَ يُشْرَعُ الْقُعُوْدُ . وَالظَّاهِرُ أَنَّهَا إِنَّمَا يَفْعَلُهَا النََّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِيْنَ اَسَنَّ وَضَعْفَ . (تعليق بلوغ المرام : 61).

3.  Menurut Ibnul Qayyim : “Telah banyak para shahabat Nabi dan semuanya orang yang meriwayatkan sifat shalat Nabi, tetapi temyata tidak menyebut-nyebut duduk ini (duduk Istirahat) dan itu hanya diriwayatkan dalam hadits Abi Humaid dan Malik bin al-Huwairits. Andaikan petunjuk (sunnah) Nabi melakukan hal itu selama-lamanya, tentu saja setiap orang yang meriwayatkan sifat shalat Nabi akan menerangkannya, dan hanya semata dilakukan oleh Nabi (tanpa disertai perintah) itu belum menun­jukkan secara pasti, bahwa itu termasuk cara-cara shalat kecuali bila dilakukan dengan pasti, bahwa Nabi melakukan hal itu sebagai sunnah yang mesti diikuti, adapun bila diperkirakan bahwa Nabi melakukannya karena ada sebab, maka perbuatan itu tidak menunjukkan sebagai salah satu sunnah dari sunnah-­sunnah shalat.” (Fiqh as-Sunnah 1 : 204).

3.قَالَ ابْنُ الْقَيِّمِ : ... وَقَدْ رَوَى عِدَّةٌ مِنْ أَصْحَابِ النََّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَسَائِرُ مَنْ وَصَفَ صَلاَتَهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمْ يَذْكُرْ هَذِهِ الْجِلْسَةَ وَإِنَّمَا ذُكِرَتْ فِى حَدِيْثِ ابْنِ حُمَيْدٍ وَمَالِكِ بْنِ الْحُوَيْرِثِ وَلَوْ كَانَ هَدْيُهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَعَلَهَا دَائِمًا لَذَكَرَهَا كُلُّ وَاصِفٍ لِصَلاَتِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمُجَرَّدُ فِعْلِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَيَدُلُّ عَلَى أَنَّهَا مِنْ سُنَنِ الصَّلاَةِ إِلاَّ إِذَا عُلِمَ أَنَّهُ فَعَلَهَا سُنَّةً فَيُقْتَدَى بِهِ فِيْهَا وَأَمَّا إِذَا قُدِّرَ أَنَّهُ فَعَلَهَا لِلْحَاجَةِ لَمْ يَدُلُّ عَلَى كَوْنِهَا سُنَّةً مِنْ سُنَنِ الصَّلاَةِ . (فقه السنّة 1 : 204).

4.  Ibnu al-Mundzir telah meriwayatkan dari Nu'man bin abi Iyasy ia berkata: “Aku mendapatkan banyak shahabat Nabi, maka apabila mengangkat kepalanya dari sujud pada raka’at pertama dan ketiga ia langsung berdiri sebagaimana biasa dan tidak duduk.” (Nailul Authar II : 301).

4.رَوَى ابْنُ الْمُنْذِرِ عَنِ النُّعْمَانِ بْنِ أَبِى عِيَاشٍ قَالَ : أَدْرَكْتُ غَيْرَ وَاحِدٍ مِنْ اَصْحَابِ النََّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَكَانَ إِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ السَّجْدَةِ فِى أَوَّلِ رَكْعَةٍ وَفِى الثَّالِثَةِ قَامَ كَمَا هُوَ وَلَمْ يَجْلِسْ . (نيل الأوطار 2 : 301).
Dengan keterangan-keterangan dan ulasan di atas jelaslah bahwa :
1.   Jalsatul istirahah bukan bagian dari sunah salat tetapi diizinkan bagi yang memang sudah perlu melakukannya;
2.  Al-I'timad 'alal ard bertekan tangan (ke bumi) bukan bagian dari sunnah( shalat) melainkan diizinkan dilakukan  bagi yang sudah berkeperluan. Pada pelaksanaannya dapat dilakukan secara terpisah, yaitu jalsatul istirahah saja tanpa al-I'timad 'alal ard, atau al-I'timad 'alal ard saja tanpa jalsatul istirahah. Tetapi dapat menjadikannya satu paket. Ketiga perkara ini merupakan solusi yang diizinkan oleh syariat dan dicontohkan oleh Rasulullah saw;
3.   Cara yang dilakukan oleh Rasulullah saw. sebelum lanjut usia dan berbadan gemuk adalah langsung berdiri atas kedua tumit dan tangan di atas kedua paha. Hal ini sejalan dengan hadits-hadits yang melarang kita melakukan berjunan unta (burukul bair) ketika hendak sujud. Dan kita di-sunnah-kan untuk terlebih dahulu menempatkan kedua lutut di tempat sujud sebelum kedua tangan. Di waktu bangkit hendaklah mengangkat kedua tangan terlebih dahulu sebelum ke dua lutut. Maka apabila kita melakukan al-I’timad ‘alal ard tentulah kedua lutut akan lebih dahulu diangkat sebelum kedua tangan. Dan inilah cara yaang dilarang karena menyerupai unta.




كيفية الصّلاة
KAIFIYAH S H A L A T
 (Bagian Ke-26)
QIYAM (BERDIRI) PADA RAKA’AT KE-DUA



Tentang Qiyam (berdiri) pada Raka’at Ke-dua, terdapat beberapa masalah, yaitu : Adakah Saktah (diam) pada awal raka’at seperti pada raka’at pertama ?, Apakah do’a Iftitah dibaca kembali ?, Apakah Isti’adzahatau Ta’awwudz  dibaca kembali ?

Pendapat yang menyatakan bahwa ada Saktah dan Ta’awwudz pada raka’at kedua, berdasarkan keterangan berikut :


1.  Dari Abu Hurairah r.a., ia berkata,”Rasulullah saw. itu apabila telah bertakbir (ihram) untuk shalat, ia berdiam sejenak sebelum membaca Al Fatihah. Maka saya bertanya dengan nama ayah dan ibuku ; ‘Wahai Rasulullah, apa gerangan tentang diamnya tuan antara takbir dan Al Fatihah ?, dan apa gerangan yang tuan ucapkan (baca) ?, Ia menjawab,”Aku mengucapkan do’a “Allahumma baid…”(artinya) ‘Ya Allah Tuhan kami, jauhkanlah antaraku dan kesalahan-kesalahanku sebagaimana telah Engkau jauhkan antara timur dan barat (tidak terulang), Ya Allah, bersihkanlah aku dari dosaku sebagaimana telah dibersihkannya baju putih dari noda. Ya Allah, cucilah aku dari dosa-dosaku dengan salju, air, dan embun”. (HR. Al Jama’ah kecuali At Tirmidzi).

1.  عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَبَّرَ فِى الصَّلاَةِ سَكَتَ هُنَيْهَةً قَبْلَ الْقِرَاءَةِ فَقُلْتُ : يَا رَسُوْلَ اللهِ بِأَبِى اَنْتَ وَأُمِّى أَرَأَيْتَ سُكُوْتَكَ بَيْنَ التَّكْبِيْرِ وَالْقِرَاءَةِ مَا تَقُوْلُ ؟ قَالَ : أَقُوْلُ : اَللَّهُمَّ بَاعِدْ بَيْنِى وَبَيْنَ خَطَايَايَ كَمَا بَاعَدْتَ بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ ، اَللَّهُمَّ نَقِّنِى مِنْ خَطَايَايَ كَمَا يُنَقَّى الثَّوْبُ اْلأَبْيَضُ مِنَ الدَّنَسِ ، اَللَّهُمَّ اغْسِلْنِى مِنْ خَطَايَايَ بِالْمَاءِ وَالثَّلْجِ وَالْبَرَدِ . (ر. الجماعة إلاّ الترمذى). 

2.  Maka bila engkau hendak membaca Al-Quran, hendaklah engkau berlindung kepada Allah dari Syetan yang terkutuk. (Q.s. An-Nahl : 98).

2.  فَإِذَا قَرَأْتَ الْقُرْآَنَ فَاسْتَعِذْ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ. (النحل : 98).

3.  Dan hadits ini menunjukkan disyariatkannya doa antara takbir dan qiraah (bacaan Fatihah). Nailul Authar, ll: 2.7

3.  وَالْحَدِيْثُ يَدُلُّ عَلَى مَشْرُوْعِيَّةِ الدُّعَاءِ بَيْنَ التَّكْبِيْرِ وَالْقِرَاءَةِ .

 

Analisis


1.  Dari Abu Hurairah r.a, sesunggguhnya Nabi saw. Bersaktah (diam) yaitu ketika memulai shalat (HR. An-Nasai)


1.  عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أن النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَتْ لَهُ سَكْتَةٌ إِذَا اسْتَفْتَحَ الصَّلاَةَ (النسائى)

2.  Dari Abu Said Al-Khudri r.a. dari Nabi saw. bahwa beliau bila berdiri shalat membaca (doa) iftitah, kemudian membaca(yang artinya)  : Aku berlindung kepada Allah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui dari syetan yang terkutuk dari setiap godaan, rayuan dan bisikannya. (H.R. Ahmad dan At-Tirmidzi).

2.  عَنْ أَبِي سَعِيْدٍ الْخُدْرِيِّ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ كَانَ إِذَا قَامَ إِلَى الصَّلاَةِ اِسْتَفْتَحَ ثُمَّ يَقُوْلُ اَعُوْذُ بِاللهِ السَّمِيْعِ الْعَلِيْمِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ مِنْ هَمْزِهِ وَنَفْخِهِ وَنَفْثِهِ . (ر. أحمد والترمذى).









3.  Dari Al-Aswad, ia berkata : Umar memulai shalat, ia takbir, kemudian membaca : “Subhanaka … (kemudian membaca) : “A’udzu billahi minassyaithanirrajiim”. (HR. Ibnu Abi Syaibah, Al-Mushannaf 1/214).


3.  عَنِ اْلأَسْوَدِ قَالَ : اِفْتَتَحَ عُمَرُ الصَّلَاةَ ثُمَّ كَبَّرَ ثُمَّ قَالَ : سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ وَتَبَارَكَ اْسمُكَ وَتَعَالَى جَدُّكَ وَلَا إِلَهَ غَيْرُكَ أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ  اَلْحَمْدُ للهِ رَبِّ اْلعَالمَِيْنَ -مصنف ابن أبي شيبة- ج: 1 ص: 214)

4.  Ibnul Mundir berkata, “Telah diriwayatkan dari Nabi saw. bahwasanya beliau membaca sebelum Al-Fatihah (yang artinya)  “Aku berlindung dari setan yang dilaknat.”

4.  قَالَ ابْنُ الْمُنْذِرِيِّ جَاءَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ كَانَ يَقُوْلُ قَبْلَ الْقِرَائَةِ : أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ .

5.  Dari Abu Sa’id Al-Khudriy, sesungguhnya Rasulullah saw. beliau membaca sebelum Al-Fatihah (yang artinya)  “Aku berlindung dari setan yang dilaknat.” (HR. Abdurrazaq 2 : 86).

5.  عَنْ أَبِي سَعِيْدٍ الْخُدْرِيِّ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقُوْلُ قَبْلَ الْقِرَاءَةِ : أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ. (ر. عبد الرزاق).

6.  Dari Abu Hurairah r.a, ia berkata; adalah Rasulullah saw. apabila bangkit pada raka’at yang kedua, beliau memulai bacaannya dengan “Alhamdulillahirabbil’alamin” dengan tidak berhenti dahulu”. (HR. Muslim – Nailul Authar 2 : 302).

6.  عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ : كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا نَهَضَ مِنَ الرَّكْعَةِ الثَّانِيَةِ إِفْتَتَحَ الْقِرَاءَةَ بِالْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ وَلَمْ يَسْكُتْ . (مسلم)

7.  Hadits-hadits tentang Ta’awwudz itu tidak diriwayatkan kecuali menyatakan Ta’awwudz itu dilakukan di raka’at pertama saja. (Tarjamah Al-Hidayah 1 : 218)

7.  َاْلأَحَادِيْثُ الْوَارِدَةُ فِى التَّعَوَّذِ لَيْسَ فِيْهَا إِلاَّ أَنَّهُ فُعِلَ ذَالِكَ فِى الرَّكْعَةِ اْلأُوْلَى .

8.  Yang paling teliti, cukup berdasarkan sunnah, bahwa isti’adzah itu sebelum qira’ah (membaca Al-Fatihah) dalam raka’at pertama saja. (Nailul-Authar 2/202)


8.  فَالْأَحْوَطُ اْلاِقْتِصَارُ عَلَى مَا وَرَدَتْ بِهِ السُّنَّةُ وَهُوَ اْلاِسْتِعَاذَةُ قَبْلَ قِرَاءَةِ الرَّكْعَةِ اْلأُوْلَى فَقَطْ. ( نيل الأوطار 2: 202 )

9.  Hadits tersebut menunjukkan tidak disyari’atkannya Saktah (diam sebentar) sebelum membaca Al-Fatihah di raka’at kedua. Demikian juga tidak disyari’atkan Ta’awwudz. sedangkan hukum bacaan setelah Al-Fatihah di raka’at lainnya sama halnya atau ketentuannya pada raka’at yang pertama. (Nailul Authar 2 : 302).

9.  وَالْحَدِيْثُ يَدُلُّ عَلَى عَدَمِ مَشْرُوْعِيَّةِ السَّكْتَةِ قَبْلَ الْقِرَاءَةِ فِى الرَّكْعَةِ الثَّانِيَةِ وَكَذَالِكَ عَدَمِ مَشْرُوْعِيَّةِ التَّعَوُّذِ فِيْهَا وَحُكْمُ مَا بَعْدَهَا مِنَ الرَّكَعَاتِ حُكْمُهَا . 
















Al Masailul Muta’aridhah

“  Kedudukan Talafudz Binniyat As-Shalat  “


1.  (Sunnah) adalah Segala sesuatu yang berasal dari Rasulullah saw. baik berupa perkataan, perbuatan, persetujuan, akhlak atau bentuk jasmaninya.

1.  كُلُّ مَا أَثَرَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ أَقْوَالٍ أَوْ فِعْلٍ أَوْ تَقْرِيْرٍ أَوْ صِفَةٍ خُلُقِيَةٍ أَوْ خَلْقِيَةٍ.


2.  (Sunnah) adalah Segala sesutu yang berasal dari Nabi saw. selain Al-Qur’an Al-Karim baik berupa perkataan, perbuatan, persetujuan dimana kesemuanya itu layak sebagai dalil untuk hukum syar’i.

2.  كُلُّ مَا صُدِرَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غَيْرُ الْقُرْآَنِ الْكَرِيْمِ مِنْ أَقْوَالٍ أَوْ فِعْلٍ أَوْ تَقْرِيْرٍ مِمَّا يَصْلُحُ أَنْ يَكُوْنَ دَلِيْلاً لِحُكْمِ شَرْعِيٍّ.


3.  Ibadah ialah : “Mendekatkan (diri) kepada Allah Ta’ala, dengan cara mengerjakan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya, serta beramal sesuai dengan kewenangan (idzin) syara”. (Pendapat lain) : Ibadah ialah : “Tha’at kepada Allah, dengan (cara) melaksanakan segala perintah Allah melalui ucapan para Rasul”.


3.  َلْعِبَادَةُ هِىَ التَّقَرُّبُ اِلَى اللهِ تَعَالَى بِامْتِثَالِ اَوَامِرِهِ وَاجْتِنَابِ نَوَاهِيْهِ وَالْعَمَلِ بِمَا اَذِنَ بِهِ الشَّارِعُ.
وَقِيْلَ : اَلْعِبَادَةُ هِىَ طَاعَةُ اللهِ بِامْتِثَالِ مَا اَمَرَاللهُ بِهِ عَلَى اَلْسِنَةِ الرُّسُلِ.

4.  Shalat adalah ibadah yang mencakup perkataan dan perbuatan tertentu (yang) dimulai dengan dengan takbir kepada Allah Ta’ala dan diakhiri dengan salam. (Fiqhu Sunnah 1 : 78).

4.  اَلصَّلاَةُ : عِبَادَةٌ تَتَضَمَّنُ أَقْوَالاً وَأَفْعَالاً مَخْصُوْصَةً مُفْتَتَحَةٌ بِتَكْبِيْرِ اللهِ تَعَالَى ، مُخْتَتَمَةٌ بِالتَّسْلِيْمِ .( فقه السّنة 1 : 78 ).

5.  “ Sesungguhnya pekerjaan-pekerjaan dan perkataan-perkataan Rasulullah saw. dalam shalat itu merupakan penjelasan atas perintah shalat yang mujmal dalam Al-Quran ”. (Subulus-salam 1 : 386). 

5.  أَنَّ أَفْعَالَهُ (صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ) فِى الصَّلاَةِ وَأَقْوَالَهُ بَيَانٌ لِمَا أُجْمِلَ مِنَ اْلأَمْرِ بِالصَّلاَةِ فِى الْقُرْآَنِ . (سبل السّلام 1 : 386).
Makna Niyat
Menurut bahasa (lughah), niyat ialah al-qashdu.

“Allah berniat baik kepadamu”, artinya Allah bermaksud baik kepadamu”. (Al-Mughni 1 : 78).

نَوَاكَ اللهُ بِخَيْرٍ أَيْ قَصَدَكَ بِهِ .(المغنى 1 : 78).

“Sesungguhnya saya berniat safar”, artinya “Saya bermaksud dan ber-azam safar”. (Al-Mughni 1 : 78).

نَوَيْتُ السَّفَرَ أَيْ قَصَدْتُهُ وَعَزَمْتُ عَلَيْهِ . (المغنى 1 : 78).

Menurut Syara’ :

“ Menghadapnya hati ke arah pekerjaan karena mengharap ridla Allah dan karena melaksanakan perintah-Nya”. (Al-Mughni 1 : 78).


تَوَجُّهُ الْقَلْبِ جِهَةَ الْفِعْلِ إِبْتِغَاءَ وَجْهِ اللهِ تَعَالَى وَامْتِثَالاً ِلأَمْرِهِ .(المغنى 1 : 78).

Niat itu ialah bermaksud melakukan sesuatu yang disertai dengan melakukannya dan tempat niyat itu di dalam hati (Safinatun Naja : 19)

اَلنِيَّةُ قَصْدُ شَيْئٍ مُقْتَرَنًا بِفِعْلِهِ وَمَحَلُّهَا الْقَلْبُ ....

“ Mengkhususkan kehendak untuk menghadapi suatu pekerjaan dengan mengharap ridla Allah dan tunduk terhadap hukum-Nya”. (Al-Baidlaowi – Fathul Bari 1 : 14).

خَصَّصَهُ بِاْلإِرَادَةِ الْمُتَوَجِّهَةِ نَحْوَ الْفِعْلِ ِلإبْتِغَاءِ رِضَا اللهِ وَامْتِثَالِ حُكْمِهِ .

 

 

Talafudz Binniyat

Talafudz binniyat As-Shalat yaitu mengucapkan :

نَوَيْتُ \ أُصَلِّى فَرْضَ ..... أَرْبَعَ\..... رَكَعَاتٍ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ اَدَاءً مَأْمُوْمًا \ إِمَامًا ِللهِ تَعَالَى -


Pendapat Pertama Yang Menyatakan Bahwa “ Talafudz Niyat Itu Sunnah ”.

Dan disunatkan mengucapkan niyat sebelum takbir supaya lisan membantu hati. (I’anatu al-Thalibin 1 : 130).


وَسُنَّ نُطْقٌ بِمَنْوِيٍّ قَبْلَ التَّكْبِيْرِ لِيُسَاعِدَ اللِّسَانُ الْقَلْبَ . (إعانة الطالبين 1 : 130).

Allah SWT. berfirman,”Dan tolong menolonglah kamu atas kebajikan dan taqwa”.


قَالَ اللهُ تَعَالَى : وَتَعَاوَنُوْا عَلَى الْبرِّ وَالتَّقْوَى .. (المائدة :2).
Keterangan  :

Ayat tersebut memerintahkan untuk saling tolong menolong dalam kebajikan dan taqwa, sedangkan talafudz niyat adalah usaha lisan membantu hati dalam mengucapkan niyat shalat, ini berarti, talafudz niyat itu termasuk yang diperintahkan dalam ayat tersebut.

Diqiyaskan kepada ihlal melaksanakan haji.

قِيَاسًا عَلَى نِيَّةِ الْحَجِّ .

Maksudnya : dalam memulai melaksanakan ibadah haji disyari’atkan melafalkan : Labbaika Allahumma Hajjan ( Aku datang memenuhi panggilan-Mu untuk menunaikan haji).
Lafadz ini diucapkan dengan lisan sebagai niyat ibadah haji, maka kalau niyat dalam ibadah haji boleh diucapkan dengan lisan, tentu saja niyat dalam shalat juga boleh diucapkan dengan lisan.

Pendapat Kedua Yang Menyatakan Bahwa “ Talafudz Niyat Itu Bid’ah “.

Rasulullah saw. Telah bersabda,”Sesungguhnya amal itu tergantung niyatnya….(HR. Al-Bukhari).
Menurut Ibnu al-Qayyim, Lafadz “BA” disini (pada hadits di atas) menunjukkan sababiyah, karenanya beliau mendefinisikan niyat itu sebagai berikut :
“Niyat adalah kehendak atau tujuan yang diarahkan untuk melakukan sesuatu perbuatan dengan mengharap keridlaan Allah dan melaksanakan perintha-Nya, dan ini sama dengan Ikhlash”.


قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ...(رواه البخارى), قَالَ ابْنُ الْقَيِّمُ: اَلْبَاءُ هُنَا لِلسَّبَبِيَّةِ وَلِذَا قَالَ فِي تَعْرِيْفِ النِّيَّةِ: اَلنِّيَّةُ هِيَ اْلإِرّادّةُ الْمُتَوَجِّهّةُ نَحْوَ الْفِعْلِ ِلابْتِغَاءِ رِضَاءِ اللهِ وَامْتِثَالِ حُكْمِهِ وَهَذَا هُوَ اْلإِخْلاَصُ.

Ikhlash adalah membersihkan amal dengan niat yang baik dari segala kemusyrikan

اَ ْلإِخْلاَصُ هُوَ تَصْفِيَةُ الْعَمَلِ بِصَالِحِ النِّيَّةِ عَنْ جَمِيْعِ شَوَائِبِ الشِّرْكِ

Maksudnya, menurut Ibnu al-Qayyim, lafadz “BA” dalam kalimat “Binniyyat” maksudnya “ Li Al-Sababiyah” (menunjukkan sebab). Jadi pengertian “Innamal ‘Amalu Binniyyat” adalah sesungguhnya nilai amal itu disebabkan atau tergantung niyatnya dan bukan setiap amal itu harus disertai niyyat di waktu mengamalkannya, yakni pengertian “BA” dalam hadits di atas bukan Li Al-Mushahabah” (menyertai).

Dalam Fathul Bari 1 : 18, dijelaskan :
Hadits itu dibawakan dalam menceritakan seorang Muhajir untuk mengawini seorang wanita, kemudian menyebut-nyebut (urusan) dunia supaya hati-hati dan jadi perhatian .


اَلْحَدِيْثُ سِيْقَ فِي قِصَّةِ الْمُهَاجِرِ لِتَزْوِيْجِ الْمَرْأَةِ فَذَكَرَ الدُّنْيَا مَعَ الْقِصَّةِ زِيَادَةٌ فِي التَّحْذِيْرِ وَالتَّنْفِيْرِ.(الفتح البارى1 :18).
Tentang seorang yang hijrah karena mau menikahi seorang wanita itu, Ibnu Mas’ud menerangkan sebagai berikut :

Siapa yang hijrah mengharapkan sesuatu (dunia), maka baginya hanya itu. Telah hijrah seorang laki-laki untuk menikah dengan seorang wanita yang bernama Ummu Qais, maka laki-laki itu dinamakan “Muhajir Ummi Qais”.


مَنْ هَاجَرَ يَنْبَغِيْ شَيْئًا فَإِنَّمَا لَهُ ذَالِكَ , هَاجَرَ رَجُلٌ لِيَتَزَوَّجَ امْرَأَةً يُقَالُ لَهَا أُمُّ قَيْسٍ فَكَانَ يُقَالُ لَهُ مُهَاجِرُ أُمِّ قَيْسٍ.

Jika lisan membantu hati, maka apa yang membantu lisan ?. Yang benar adalah hati membantu/menggerakkan lisan, bukan lisan membantu hati, mengingat sabda Nabi saw.,”Ingatlah sesungguhnya dalam jasad itu terdapat Mudlghah yang apabila Mudlghah itu beres, akan beres seluruh jasadnya, dan apabila Mudlghah itu rusak, akan rusaklah seluruh jasadnya. Ketahuilah itu adalah hati”.

Dengan demikian, suatu kekeliruan jika orang berpendapat bahwa lisan itu membantu hati, yang benar justru sebalkiknya, yaitu hati yang membantu lisan. (Al-Hidayah : 60).

اِذَا كَانَ اللِّسَانُ هُوَ الَّذِي يُسَاعِدُ الْقَلْبَ فَمَا الَّذِي يُسَاعِدُ اللِّسَانَ ؟ وَالْحَقُّ أَنَّ الْقَلْبَ هُوَ الَّذِي يُسَاعِدُ اللِّسَانَ لِقَوْلِ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : أَلاَ اِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً اِذَا صَلُحَتْ صَلُحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَاِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ سَائِرُهَا أَلاَ وَهِيَ الْقَلْبُ .

Tidak ada qiyas dalam ibadah. Disamping itu kewajiban shalat lebih dahulu disyari’atkan daripada ibadah haji.
Shalat diwajibkan di Makkah, sedangkan ibadah haji baru disyari’atkan di Madinah.


لاَ قِيَاسَ فِي الْعِبَادَةِ وَِلأَنَّ الصَّلاَةَ مُتَقَدَّمٌ عَلَى الْحَجِّ فِي الْوُجُوْبِ.

Dari Abu Hurairah r.a, sesungguhnya Nabi saw. Telah bersabda,”Jika kamu hendak shalat, sempurnakanlah wudlu, kemudian menghadap ke qiblat lalu bertakbirlah…”(HR. Al-Bukhari).
“Maka orang yang menambah dari yang disyari’atkan itu pasti ditolak, berdasar hadits Nabi saw.”Siapa yang mengamalkan apa yang tidak diperintahkan oleh kami pasti ditolak”. (al-Sunan Wa al-Mubatada’at : 54).


عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : اِذَا قُمْتَ اِلَى الصَّلاَةِ فَأَسْبِغِ الْوُضُوْءَ ثُمَّ اسْتَقْبِلِ الْقِبْلَةَ فَكَبِّرْ .(البخاري). فَالزَّائِدُ عَلَى الْمَشْرُوْعِ مَرْدُوْدٌ لِحَدِيْثِ "مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ ".
Maksudnya:
Dalam hadits tersebut Nabi saw. Tidak memerintahkan Talafudz binniyyat, melainkan langsung saja bertakbir. Menganggap sunnah “Talafudz binniyyat” sama saja dengan menambah aturan/ketentuan ibadah, hal ini sungguh dilarang dan pasti ditolak. (Al-Hidayah : 61).

Ibnu al-Qayyim berkata,”Adalah Nabi saw. Apabila berdiri untuk shalat, beliau mengucapkan “ALLOHU AKBAR”, dan tidak mengucapkan apa-apa sebelumnya dan tidak melafadzkan niyyat sama sekali, juga tidak mengucapkan “Ushalli Lillahi …, shalat ini dengan menghadap qiblat, empat raka’at sebagai imam atau sebagai ma’mum, dan juga tidak mengucapkan “Ada-an” (tunai) atau qadla dan juga tidak mengucapkan fardlan al-waqti.” Ini adalah (termasuk) sepuluh bid’ah yang tidak diriwayatkan oleh seorangpun dengan sanad yang shahih, tidak dengan sanad yang bersambung ataupun mursal/putus, satu katapun sama sekali, bahkan tidak diriwayatkan dari seorang Sahabat dan tidak ada yang menganggap baik seorangpun dari kalangan Tabi’in atau dari para Imam Madzhab yang empat”. (Zadu al-Ma’ad 1 : 51).

قَالَ ابْنُ الْقَيِّمِ : كَانَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِذَا قَامَ اِلَى الصَّلاَةِ قَالَ : "اَللهُ أَكْبَرُ" وَلَمْ يَقُلْ شَيْئًا قَبْلَهَا وَلاَ يَلْفِظُ بِالنِّيَّةِ الْبَتَّةَ وَلاَ قَالَ أُصَلِّى صَلاَةَ كَذَا مُسْتَقْيِلِ الْقِبْلَةِ اَرْبَعَ رَكَعَاتٍ اِمَامًا أَوْ مَأْمُوْمًا وَلاَ قَالَ : أَدَاءً وَلاَ قَضَاءً وَلاَ فَرْضَ الْوَقْتِ وَهَذِهِ عَشْرُ بِدَعٍ لَمْ يَنْقُلْ عَنْهُ أَحَدٌ قَطُّ بِاِسْنَادٍ صَحِيْحٍ وَلاَ مُسْنَدٍ وَلاَ مُرْسَلٍ لَفْظٌ وَاحِدَةٌ مِنْهَا الْبَتَّةَ بَلْ وَلاَ عَنْ أَحَدٍ مِنْ أَصْحَابِهِ وَلاَ اسْتَحْسَنَهُ أَحَدٌ مِنَ التَّابِعِيْنَ وَلاَ اْلأَئِمَّةِ اْلأَرْبَعَةِ . (زاد المعاد 1: 51).

Syekh Muhammad Rasyid Ridla menjelaskan dalam kitab tafsirnya Al-Manar, yang artinya sebagai berikut :

“Dan dari antara yang aneh-aneh bahwasanya mereka bodoh (tidak tahu hakikat niyyat yang disyari’atkan, yang mana niyyat itu diantara pekerjaan hati yang mahdlah, mereka membuat bid’ah (menciptakan yang baru) kalimat-kalimat Allah dan Rasul-Nya yang tidak dikenal dalam Sunnah, juga tidak dikenal di kalangan para ‘Ulama Salaf. Mereka berlebih-lebihan dalam mengucapkan niyyat secara fasih sehingga menggangu orang lain yang sedang shalat. Di antara mereka banyak yang was-was dan mengulang-ulang ucapan (niyyat lafdiyyah-nya) dengan suara yang nyaring “Nawaitu Fardlal Wudlui wasunnahu,” sampai akhir ucapan itu. Demikian juga mereka perbuat niyyat shalat pada takbiratul ihram. Mereka mensyaratkan (bahwa) yang shalat itu harus dapat membayangkan seluruh ruku-rukun shalat qauliyah dan yang fi’liyyah pada waktu permulaan shalatnya, yaitu

antara mengucapkan “Hamzah” dari lafadz Al-Jalalah yang difat-hahkan dan “Ra” dari ucapan Akbar yang disukunkan (kalimat Akbar). Demikan itu untuk menyatakan arti “Qashdu Syai’I Muktaranun li fi’lihi”. Padahal yang “maklum fidl dlarury” (yang diketahui dengan pasti), yang dituntut pada setiap dzikir adalah “Tashawwur” (terbayangnya dalam jiwa) arti dzikir-dzikir itu. Dengan demikian, tidak boleh bagi yang shalat mentashawwur pada waktu mengucapkan takbiratul ihram kecuali makna takbir atau kebesaran-kebesaran Allah Yang Mahatinggi dan Mahaagung”. (Al-Manar 6 : 246).

a.   Dari Ali Bin Ali Thalib r.a dari Nabi saw., ia bersabda,”Kunci (pembuka) shalat itu bersuci, pengharamnya takbir dan penghalalnya adalah salam”. (HR. Al-Khamsah kecuali At-Tirmidzi).

‌أ.       عَنْ عَلِيٍّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : مِفْتَاحُ الصَّلاَةِ الطُّهُوْرُ وَتَحْرِيْمُهَا التَّكْبِيْرُ وَتَحْلِيْلُهَا التَّسْلِيْمُ . (ر. الخمسة إلاّ الترمذى)

b.  Dari Abu Hurairah, ia mengatakan,”Rasulullah saw. telah bersabda,”Jika kamu telah akan shalat, maka sempurnakan (ratakan) wudlu, kemudian menghadaplah ke kiblat dan langsung takbir”. (HR. Muslim)

‌ب.  عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلاَةِ فَاسْبِغِ الْوُضُوْءَ ثُمَّ اسْتَقْبِلِ الْقِبْلَةَ فَكَبِّرْ . (ر. مسلم)

c.   Dari ‘Aisyah r.a, ia mengatakan,”adalah Rasulullah saw. memulai shalatnya dengan takbir (HR. Muslim)

‌ج.    عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَتْ : كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْتَفَْتِحُ الصَّلاَةَ بِالتَّكْبِيْرِ . (ر. مسلم).

d.  Rasulullah saw. bersabda bahwa iblis berkata: “Aku membinasakan manusia dengan dosa, mereka membinasakanku dengan istighfar. Ketika aku melihat hal itu, aku binasakan mereka dengan keinginan melakukan pekerjaan bid’ah, agar mereka mengira mereka mendapat petunjuk yang benar, maka akibatnya mereka tidak memohon ampunan kepada Allah”. (H.R. Ibnu Abi Ashim).

‌د.      إِنَّ إِبْلِيْسَ قَالَ : اَهْلَكْتُهُمْ بِالذُّنُوْبِ فَأَهْلَكُوْنِيْ بِاْلإِسْتِغْفَارِ فَلَمَّا رَأَيْتُ ذَالِكَ اَهْلَكْتُهُمْ بِاْلأَهْوَاءِ فَهُمْ يَحْسَبُوْنَ أَنَّهُمْ مُهْتَدُوْنَ فَلاَ يَسْتَغْفِرُوْنَهُ .(إبن أبي عاصم).

e.   “Dari Ibnu Abbas. Ia berkata: “Sesungguhnya Rasulullah khutbah dihadapan orang-orang pada waktu haji wada. Beliau bersabda: :Sesungguhnya syetan telah berputus asa untuk disembah di negerimu, akan tetapi ia ridla untuk ditaati dalam hal-hal selain itu dari apa-apa yang kamu anggap sepele. Maka berhati-hatilah kamu. Sesungguhnya aku telah meninggalkan sesuatu bagimu, jikalau kamu berpegang teguh dengannya, maka kamu tidak akan sesat selamanya, (yaitu) Kitab Allah dan Sunnah Nabi-Nya”. (H.R. Al-Hakim; At-Targhib 1 : 60)

‌ه.       عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَطَبَ النَّاسَ فِى حَجَّةِ الْوَدَاعِ فَقَالَ : إِنَّ الشَّيْطَانَ قَدْ يَئِسَ اَنْ يُعْبَدَ بِاَرْضِكُمْ وَلَكِنْ رَضِىَ اَنْ يُطَاعَ فِيْمَا سِوَى ذَلِكَ مِمَّا تُحَاقِرُوْنَ مِنْ اَعْمَالِكُمْ فَاحْذَرُوْا اَنِّىْ قَدْ تَرَكْتُ فَيْكُمْ مَا اِنِ اعْتَصَمْتُمْ بِهِ فَلَنْ تَضِلُّوْا اَبَدًا, كِتَابَ اللهِ وَسُنَّةَ نَبِيِّهِ. (الحاكم – الترغيب 1 : 60)

f.    Dan tidaklah patut bagi laki-laki mukmin dan tidak pula bagi perempuan mukmin, apabila Allah dan rasulNya telah menetapkan suatu ketetapan akan ada lagi bagi mereka pilihan yang lain tentang urusan mereka. Dan siapa yang mendurhakai Allah dan RasulNya, maka sungguh dia telah sesat dengan kesesatan yang nyata. (Q.s. Al Ahzab : 36)

‌و.     وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلاَ مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُوْنَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَّعْصِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلاَلا مُّبِيْنًا. (الأحزاب : 36)

g.   “ Sesungguhnya amal yang diterima itu memiliki dua syarat; pertama : hendaklah ikhlash karena Allah semata. Kedua : hendaklah benar, cocok (sesuai) dengan syari’at, apabila keadaannya ikhlash akan tetapi tidak benar, maka tidak akan diterima”.(Tafsir Ibnu Katsir 1 : 155).


‌ز.     إِنَّ لِلْعَمَلِ الْمُتَقَبَّلِ شَرْطَيْنِ : اَحَدَهُمَا أَنْ يَكُوْنَ خَالِصًا ِللهِ وَحْدَهُ وَاْلآَخَرَ أَنْ يَكُوْنَ صَوَابًا مُوَافِقًا لِلشَّرِيْعَةِ ، فَمَتَى كَانَ خَالِصًا وَلَمْ يَكُنْ صَوَابًا لَمْ يُتَقَبَّلْ . (تفسير إبن كثير 1 : 155).
Wallahu ‘Alam

1 komentar:

  1. Bagus banget dech blognya..... kalau boleh saran sih.... covernya kok rambut berjilbabnya masih nampak.... kan seharusnya tidak boleh nampak walau sehelai rambutpun... ):

    BalasHapus