A. Ahkam Asy-Syar’i
1. Pengertian dan
Pembagian Hukum
Ahkam adalah bentuk
jama’ dari hukm. Menurut bahasa, hukum adalah :
إِثْبَاتُ شَيْئٍ
عَلَى شَيْئٍ أَوْ نَفْيِهِ عَنْهُ .
“ Menetapkan
sesuatu terhadap sesuatu atau meniadakan sesuatu daripadanya”.
Hukum ditetapkan sesuai dengan yang menetapkan. Ada yang ditentukan oleh
agama, akal dan juga oleh adat.
Hukum yang diatur oleh agama disebut hukum syara’; yaitu
keputusan yang diatur oleh Allah dan Rasul-Nya (Shahibu al-Syari’) untuk
seluruh manusia mukallaf yang bersifat tuntutan atau pilihan.
Hukum Syara’ terbagi
lima :
1.1 Ijab, yaitu hukum yang bersifat tuntutan yang keras untuk
dilakukan dan perbuatannya disebut Wajib;
1.2 Nadb,
yaitu hukum yang bersifat tuntutan yang tidak keras untuk dilakukan dan
perbuatannya disebut Mandub;
1.3
Tahrim, yaitu hukum yang bersifat tuntutan agar ditinggalkan
dengan tuntutan yang keras dan perbuatannya disebut Haram;
1.4
Karahah, yaitu yaitu hukum yang bersifat tuntutan agar ditinggalkan
dengan tuntutan yang tidak keras dan perbuatannya disebut Makruh;
1.5
Ibahah, yaitu hukum yang bersifat pilihan, tidak dilarang untuk
dilakukan dan tidak salah bila ditinggalkan. Perbuatannya disebut Mubah,
Halal atau Jaiz.
Dilihat dari hukum syara’, maka seluruh aspek kehidupan manusia tidak
akan ada yang terlepas dari kelima hukum di atas.
Para Ulama dituntut untuk memberi kepastian hukum dalam semua perilaku
kehidupan manusia, baik dalam persoalan-persoalan yang pernah terjadi dari
semenjak zaman dahulu maupun persoalan-persoalan yang baru ada di zaman
sekarang, seperti masalah donor darah, bayi tabung, transplantasi, transeksual,
dan masalah – masalah kontemporer lainnya.
2. Sumber Hukum
Tidak ada perselisihan dikalangan para Ulama Islam, bahwa sumber hukum
syara’ itu adalah Al-Quran dan As-Sunnah. Setiap Muslim dituntut untuk menerima
ketentuan-ketentuan dari Al-Quran dan As-Sunnah secara kaffah.
2.1 Al-Quran
Al-Quran ialah kitab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. yang
ditulis dalam mushhaf yang diriwayatkan sampai kepada kita dengan jalan yang mutawatir,
tanpa ragu. (Al-Wajiz : 152).
Dilalah Al-Quran terhadap Hukum
Al-Quran turun kepada Nabi Muhammad
saw. tanpa ada keraguan, proses turunnya Al-Quran disebut Qhath’iyyu
al-Wurud; pasti dan meyakinkan dari segi periwayatannya, karena sampai
kepada kita dengan jalan yang mutawatir. Namun dilalah al-Quran terhadap hukum
ada dua, yaitu Qath’iyyu ad-Dilalah dan Zhanniyyu
ad-Dilalah.
Qath’iyyu ad-Dilalah yaitu lafazh-lafazh
al-Quran yang tidak memberi kemungkinan arti lain, tetapi hanya ada satu
pengertian saja. Seperti ayat :
قَالَ اللهُ تَعَالَى
: اَلزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوْا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ
جَلْدَةٍ .....(النّور :2)
Allah SWT. berfirman ,” Perempuan yang berzinan dan laki-laki yang
berzinan, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera”. (QS.
An-Nur : 2).
Ayat ini dengan tegas menyetakan bahwa hukuman bagi yang melakukan zina
adalah didera sebanyak 100 kali.
Dzanniyyu ad-Dilalah yaitu lafazh-lafazh
al-Quran yang memberikan kemungkinan beberapa arti dan tidak mungkin
menunjukkan kepada satu pengertian yang pasti. Seperti ayat :
قَالَ اللهُ تَعَالَى
: وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلاَثَةَ قُرُوْءٍ . (البقرة
: 228)
Allah SWT. berfirman,”Wanita-wanita yang dithalaq, hendaklah menahan
diri (menunggu) tiga kali quru’”. (QS. Al-Baqarah : 228).
Pengertian quru’ dalam ayat ini bisa diartikan “ suci “ dan juga
diartikan “ haidh “.
Timbulnya perbedaan pendapat senantiasa ada dalam hal-hal yang bersifat
dzanniyyu ad-Dilalah. Oleh karena itu diperlukan qarinah-qarinah untuk
menguatkan salah satu arti yang dimaksud. Adapun hal-hal yang bersifat
Qath’iyyu ad-Dilalah sama sekali tidak ada perbedaan pendapat yang berarti.
2.2 As-Sunnah
As-Sunnah adalah apa-apa yang datang dari Nabi saw. selain al-Quran,
baik berupa ucapan, perbuatan serta sikap diam (taqrir) Nabi saw.
Kehujjahan As-Sunnah
Para Ulama telah sepakat bahwa
As-Sunnah dapat dijadikan hujjah (alasan) dalam menentukan hukum. As-Sunnah
dapat berfungsi seperti al-Quran. Bisa menentukan hukum halal dan haram, wajib
atau sunah, dan lain sebagainya.
Allah SWT. berfirman :
قَالَ اللهُ تَعَالَى
:.... وَمَا آَتَاكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوْهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ
فَانْتَهُوْا .... (الحسر :7)
“ … apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang
dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah… “ (QS. Al-Hasyr : 7).
Sabda Nabi saw. :
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : اَلاَ وَإِنِّي أُوْتِيْتُ الْقُرْآَنَ
وَمِثْلَهُ مَعَهُ . (رواه أبو داود)
“Ingat ! Bahwa aku diberi al-Quran dan yang seperti al-Quran
(As-Sunnah)”. (HR. Abu Daud).
Kedudukan As-Sunnah Terhadap Al-Quran
Kedudukan As-Sunnah terhadap al-Quran dari segi kandungan hukum
mempunyai tiga fungsi :
1. As-Sunnah berfungsi sebagai Ta’qidan hukum-hukum yang
telah ada dalam al-Quran. Seperti ; perintah mendirikan shalat, mengeluarkan
zakat, larangan syirik, riba, dan yang lainnya.
2. As-Sunnah berfungsi sebagai Tafshil/Tabyin terhadap ayat-yat
yang masih Mujmal, Takhsis terhadap ayat-ayat yang ‘Am
atau Taqyid terhadap ayat-ayat yang Muthlaq.
Ayat-ayat al-Quran yang belum jelas petunjuk pelaksanaannya, kapan dan
bagaimana, dijelaskan dan dijabarkan dalam As-Sunnah. Seperti perintah shalat
dalam al-Quran kemudian dijabarkan dengan As-Sunnah. Nabi saw. bersabda :
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : .... صَلُّوْا كَمَا رَأَيْتُمُوْنِي
أُصَلِّى.(رواه البخارى)
“ ……Shalatlah kamu seperti kalian melihat (mengetahui berdasarkan ilmu)
aku shalat”. (HR. Al-Bukhari).
Tentang perintah haji, dijelaskan dalam hadits :
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :.... خُذُوْا عَنِّي مَنَاسِكَكُمْ .(رواه
البيهقي)
“ Ambillah oleh kalian dariku tata cara manasik haji”. (HR.
Al-Baihaqiy).
3. As-Sunnah berfungsi sebagai penetap hukum atau syari’at yang
tidak ditegaskan atau tidak disebutkan dalam al-Quran. Seperti syari’at ‘Aqiqah
dan mengurus jenazah. Keduanya ditetapkan berdasarkan sunnah Nabi saw.
Kedudukan
As-Sunnah Dalam Menetapkan Hukum Islam
Sebagaimana halnya al-Quran, dilalah As-Sunnah terhadap hukum juga ada
dua; Qath’iyyu ad-Dilalah dan Zhanniyyu ad-Dilalah.
As-Sunnah yang Qath’iyyu ad-Dilalah ialah ketika lafzhnya tidak
mengandung beberapa makna. Seperti Sabda Nabi saw. :
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : فِى خَمْسٍ مِنَ اْلإِبِلِ شَاةٌ. (رواه
البخارى)
“ Dalam setiap lima
ekor unta, (Zakatnya) satu ekor kambing”. (HR. Al-Bukhari).
Sementara As-Sunnah yang Zhanniyyu ad-Dilalah ialah ketika lafazhnya mengandung
beberapa makna. Seperti sabda Nabi saw. :
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لاَ صَلاَةَ إِلاَّ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ .
(رواه البخارى)
“ Tidak sah shalatnya kecuali dengan membaca al-Fatihah”. (HR.
Al-Bukhari).
Para ulama dalam memahami hadits ini, berbeda pendapat. Jumhur ulama
memahami bahwa maksud hadits tersebut dengan arti “tidak sah shalat”.
Sementara Hanafiyyah berpendapat “tidak sempurna shalat”.
LINK TERKAIT : ikhtilaf-bag-2
ikhtilaf-bag-3. ikhtilaf-bag-4
ikhtilaf-bag-5
ikhtilaf-bag-6
ikhtilaf-bag-7
LINK TERKAIT : ikhtilaf-bag-2
ikhtilaf-bag-3. ikhtilaf-bag-4
ikhtilaf-bag-5
ikhtilaf-bag-6
ikhtilaf-bag-7
Tidak ada komentar:
Posting Komentar