Entri Populer

Senin, 05 Maret 2012

IKHTILAF (Bag-1)


 

A.   Ahkam Asy-Syar’i


1.  Pengertian dan Pembagian Hukum

 

Ahkam adalah bentuk jama’ dari hukm. Menurut bahasa, hukum adalah :
إِثْبَاتُ شَيْئٍ عَلَى شَيْئٍ أَوْ نَفْيِهِ عَنْهُ .
“  Menetapkan sesuatu terhadap sesuatu atau meniadakan sesuatu daripadanya”.

Hukum ditetapkan sesuai dengan yang menetapkan. Ada yang ditentukan oleh agama, akal dan juga oleh adat.
Hukum yang diatur oleh agama disebut hukum syara’; yaitu keputusan yang diatur oleh Allah dan Rasul-Nya (Shahibu al-Syari’) untuk seluruh manusia mukallaf yang bersifat tuntutan atau pilihan.

Hukum Syara’ terbagi lima :


1.1  Ijab, yaitu hukum yang bersifat tuntutan yang keras untuk dilakukan dan perbuatannya disebut Wajib;
1.2    Nadb, yaitu hukum yang bersifat tuntutan yang tidak keras untuk dilakukan dan perbuatannya disebut Mandub;
1.3   Tahrim, yaitu hukum yang bersifat tuntutan agar ditinggalkan dengan tuntutan yang keras dan perbuatannya disebut Haram;
1.4   Karahah, yaitu yaitu hukum yang bersifat tuntutan agar ditinggalkan dengan tuntutan yang tidak keras dan perbuatannya disebut Makruh;
1.5   Ibahah, yaitu hukum yang bersifat pilihan, tidak dilarang untuk dilakukan dan tidak salah bila ditinggalkan. Perbuatannya disebut Mubah, Halal atau Jaiz.

Dilihat dari hukum syara’, maka seluruh aspek kehidupan manusia tidak akan ada yang terlepas dari kelima hukum di atas.
Para Ulama dituntut untuk memberi kepastian hukum dalam semua perilaku kehidupan manusia, baik dalam persoalan-persoalan yang pernah terjadi dari semenjak zaman dahulu maupun persoalan-persoalan yang baru ada di zaman sekarang, seperti masalah donor darah, bayi tabung, transplantasi, transeksual, dan masalah – masalah kontemporer lainnya.

2.  Sumber Hukum


Tidak ada perselisihan dikalangan para Ulama Islam, bahwa sumber hukum syara’ itu adalah Al-Quran dan As-Sunnah. Setiap Muslim dituntut untuk menerima ketentuan-ketentuan dari Al-Quran dan As-Sunnah secara kaffah.

2.1   Al-Quran
Al-Quran ialah kitab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. yang ditulis dalam mushhaf yang diriwayatkan sampai kepada kita dengan jalan yang mutawatir, tanpa ragu. (Al-Wajiz : 152).

Dilalah Al-Quran terhadap Hukum

Al-Quran turun kepada Nabi Muhammad saw. tanpa ada keraguan, proses turunnya Al-Quran disebut Qhath’iyyu al-Wurud; pasti dan meyakinkan dari segi periwayatannya, karena sampai kepada kita dengan jalan yang mutawatir. Namun dilalah al-Quran terhadap hukum ada dua, yaitu Qath’iyyu ad-Dilalah dan Zhanniyyu ad-Dilalah.

Qath’iyyu ad-Dilalah yaitu lafazh-lafazh al-Quran yang tidak memberi kemungkinan arti lain, tetapi hanya ada satu pengertian saja. Seperti ayat :
قَالَ اللهُ تَعَالَى : اَلزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوْا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ .....(النّور :2)
Allah SWT. berfirman ,” Perempuan yang berzinan dan laki-laki yang berzinan, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera”. (QS. An-Nur : 2).

Ayat ini dengan tegas menyetakan bahwa hukuman bagi yang melakukan zina adalah didera sebanyak 100 kali.

Dzanniyyu ad-Dilalah yaitu lafazh-lafazh al-Quran yang memberikan kemungkinan beberapa arti dan tidak mungkin menunjukkan kepada satu pengertian yang pasti. Seperti ayat :
قَالَ اللهُ تَعَالَى : وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلاَثَةَ قُرُوْءٍ . (البقرة : 228)
Allah SWT. berfirman,”Wanita-wanita yang dithalaq, hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’”. (QS. Al-Baqarah : 228).

Pengertian quru’ dalam ayat ini bisa diartikan “ suci “ dan juga diartikan “ haidh “.
Timbulnya perbedaan pendapat senantiasa ada dalam hal-hal yang bersifat dzanniyyu ad-Dilalah. Oleh karena itu diperlukan qarinah-qarinah untuk menguatkan salah satu arti yang dimaksud. Adapun hal-hal yang bersifat Qath’iyyu ad-Dilalah sama sekali tidak ada perbedaan pendapat yang berarti.

2.2   As-Sunnah
As-Sunnah adalah apa-apa yang datang dari Nabi saw. selain al-Quran, baik berupa ucapan, perbuatan serta sikap diam (taqrir) Nabi saw.

Kehujjahan As-Sunnah

Para Ulama telah sepakat bahwa As-Sunnah dapat dijadikan hujjah (alasan) dalam menentukan hukum. As-Sunnah dapat berfungsi seperti al-Quran. Bisa menentukan hukum halal dan haram, wajib atau sunah, dan lain sebagainya.
Allah SWT. berfirman  :
قَالَ اللهُ تَعَالَى :.... وَمَا آَتَاكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوْهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوْا .... (الحسر :7)
“ … apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah… “ (QS. Al-Hasyr : 7).

Sabda Nabi saw. :
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : اَلاَ وَإِنِّي أُوْتِيْتُ الْقُرْآَنَ وَمِثْلَهُ مَعَهُ . (رواه أبو داود)
“Ingat ! Bahwa aku diberi al-Quran dan yang seperti al-Quran (As-Sunnah)”. (HR. Abu Daud).

Kedudukan As-Sunnah Terhadap Al-Quran

Kedudukan As-Sunnah terhadap al-Quran dari segi kandungan hukum mempunyai tiga fungsi :
1.   As-Sunnah berfungsi sebagai Ta’qidan hukum-hukum yang telah ada dalam al-Quran. Seperti ; perintah mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, larangan syirik, riba, dan yang lainnya.
2.   As-Sunnah berfungsi sebagai Tafshil/Tabyin terhadap ayat-yat yang masih Mujmal, Takhsis terhadap ayat-ayat yang ‘Am atau Taqyid terhadap ayat-ayat yang Muthlaq.
Ayat-ayat al-Quran yang belum jelas petunjuk pelaksanaannya, kapan dan bagaimana, dijelaskan dan dijabarkan dalam As-Sunnah. Seperti perintah shalat dalam al-Quran kemudian dijabarkan dengan As-Sunnah. Nabi saw. bersabda :
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : .... صَلُّوْا كَمَا رَأَيْتُمُوْنِي أُصَلِّى.(رواه البخارى)
“ ……Shalatlah kamu seperti kalian melihat (mengetahui berdasarkan ilmu) aku shalat”. (HR. Al-Bukhari).
Tentang perintah haji, dijelaskan dalam hadits :
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :.... خُذُوْا عَنِّي مَنَاسِكَكُمْ .(رواه البيهقي)
“ Ambillah oleh kalian dariku tata cara manasik haji”. (HR. Al-Baihaqiy).

3.   As-Sunnah berfungsi sebagai penetap hukum atau syari’at yang tidak ditegaskan atau tidak disebutkan dalam al-Quran. Seperti syari’at ‘Aqiqah dan mengurus jenazah. Keduanya ditetapkan berdasarkan sunnah Nabi saw.

Kedudukan As-Sunnah Dalam Menetapkan Hukum Islam

Sebagaimana halnya al-Quran, dilalah As-Sunnah terhadap hukum juga ada dua; Qath’iyyu ad-Dilalah dan Zhanniyyu ad-Dilalah.
As-Sunnah yang Qath’iyyu ad-Dilalah ialah ketika lafzhnya tidak mengandung beberapa makna. Seperti Sabda Nabi saw. :
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : فِى خَمْسٍ مِنَ اْلإِبِلِ شَاةٌ. (رواه البخارى)
“ Dalam setiap lima ekor unta, (Zakatnya) satu ekor kambing”. (HR. Al-Bukhari).

Sementara As-Sunnah yang Zhanniyyu ad-Dilalah ialah ketika lafazhnya mengandung beberapa makna. Seperti sabda Nabi saw. :
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لاَ صَلاَةَ إِلاَّ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ . (رواه البخارى)
“ Tidak sah shalatnya kecuali dengan membaca al-Fatihah”. (HR. Al-Bukhari).

Para ulama dalam memahami hadits ini, berbeda pendapat. Jumhur ulama memahami bahwa maksud hadits tersebut dengan arti “tidak sah shalat”. Sementara Hanafiyyah berpendapat “tidak sempurna shalat”.


LINK TERKAIT  : ikhtilaf-bag-2
ikhtilaf-bag-3.  ikhtilaf-bag-4

  ikhtilaf-bag-5
ikhtilaf-bag-6


ikhtilaf-bag-7







Tidak ada komentar:

Posting Komentar